NU Women: Peran dan Kesamaan
Maraknya gejolak penyuaraan kesetaraan gender di seluruh dunia semenjak abad ke-20 bahkan tidak terhitung lagi buku dan kitab yang membahas hal demikian. Banyak penyuaraan dari tokoh bahkan ruang dari pemerintahan untuk memberikan ruang bagi perempuan sama-sama terlibat di bangku bersama dengan kaum pria.
Hal yang tidak aneh memang jika pemberian ruang ini bukan tanpa sebab dan tujuan yang jelas. Mungkin jika dibaca dari tujuanya apa, jawabanya mungkin tergantung dari negara dan siapa yang berpendapat, akan tetapi latar belakangnya adalah satu yaitu samanya derajat antara perempuan dengan laki-laki.
Meniadakan emansipasi kepada perempuan sejak pra revolusi indrustri yang menganggap perempuan hanya sebagai tempat pelampiasan hasrat dan pekerja dapur. Ruang bagi perempuan kini telah terbuka, bahkan manisnya semua tingkat pendidikan dan publik tidak dibatasi untuk dirasakan oleh perempuan.
Begitu pula Nahdatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi terbesar keagaamaan di dunia dan nomer wahid di Indonesia, juga tidak menyamping tangankan adanya peran penting dari perempuan. Salah satu bukti besarnya adalah pembentukan beberapa ormas di bawah naungan NU yang secara khusus ditunjukan dan diisi oleh kaum Muslimat.
Melalui keputusan yang tersurat, PBNU No. 574/U/Peb, tertanggal 26 Robi’ut Tsani 1369 atau14 Februari 1950 di Surabaya yang misi berdirinya ini telah dibentuk sejak tahun 1946 di Mojokerto, maka resmilah Organisasi Otonom Muslimat Muda Nauhdatul Ulama (Fatayat), yang kemudian lahirlah organisasi otonom seperti Ikatan Pelajar Putri Nauhdatul Ulama (IPPNU) di tahun 1953 yang ditunjukan bagi Muslimat NU yang masih mengenyam bangku sekolah.
Organisasi yang beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah ini memang tidak mengenyampingkan terhadap kemauan dan kontribusi besar dari para Muslimat khususnya di bidang sosial kemasyarakatan dalam dakwah dan muawanah sesama muslim, terlebih ikut andilnya perempuan dalam keorganisasian akan memudahkan jangkauan kepada kaum Muslimat. NU Memandang sama antara laki-laki dan perempuan dengan catatan berperannya perempuan tidak menyeleweng dari rel syariat yang ditentukan.
KH. Misbahus Salam dalam salah satu ceramahnya juga menyampaikan, perempuan dan laki-laki sama dalam satu tingkatan di hadapan Tuhan. Kesamaan tersebut didasarkan bahwa sama ratanya perempuan dan laki-laki dalam beban taklif syariat, yang berbeda hanyalah proporsi dan komposisi di dalamnya, sehingga luas bagi perempuan berorganisasi dan perperan sebagaimana laki-laki.
Maka jelaslah sudah, kesetaraan gender juga digaungkan sendiri dalam tubuh Nauhdatul Ulama secara menyeluruh di setiap tingkatan muslimat terlebih bagi yang bercita-cita besar untuk menyebarkan gelora dakwah dan mensejahtrekan umat tak ada batasan bagi perempuan dan laki-laki untuk sama-sama bereperan asalkan tidak akan menyeleweng dari aturan syariat yang ditentukan.
Editor: Wildan Miftahussurur