Sosok

Al-Ghazālī dan Ilmu Hadis

“Masa ya, al-Ghazālī itu kurang mendalami Qur’an dan Hadis?” Pertanyaan ini saya terima setelah sejumlah teman membaca, dan terlibat diskusi panas, perihal Arifin Nugroho, pemandu program keislaman ‘Khalifah’ di Trans7, yang dituduh memberikan komentar merendahkan bahwa al-Ghazālī kurang mendalami Qur’an dan Hadis. Reaksi saya yang memang malas nonton televisi hanya menggoogling ‘Arifin Nugroho’ dan ‘al-Ghazali’ dan menemukan banyak tautan yang berisi berita, kritikan, hujatan dan sebagainya.

Benarkah al-Ghazālī itu kurang mendalami Qur’an dan Hadis? Kalau kita memaknai pernyataan Arifin Nugroho itu berarti bahwa al-Ghazālī bukan seorang ulama yang ahli mengenai Qur’an dan Hadis, deskripsi ini tentu saja sangatlah amat tidak akurat. Seorang ulama Muslim yang menulis tidak kurang dari 400 buku tentang pelbagai disiplin ilmu keislaman mulai dari fikih, usul fikih, teologi, filsafat, hingga tasawuf, tidak akan mungkin dipandang ‘kurang mendalami’ Qur’an maupun Hadis. Beberapa di antara karya al-Ghazālī yang paling menarik dan terkenal termasuk dalam genre tafsir Qur’an (dan syarahan terhadap Hadis), seperti Mishkāt al-Anwār, yang merupakan tafsiran filosofis terhadap ‘ayat cahaya’ (QS 24: 35) dan Hadis tentang ‘Tabir’. Begitu pula al-Qisṭās al-Mustaqīm—yang membicarakan logika dalam Qur’an—dan Jawāhir al-Qur’ān, yang merupakan salah satu parafrase karya utamanya, Iḥyā’  ‘Ulūm al-Dīn. Salah satu karyanya yang diyakini hilang adalah Yāqūt al-Ta’wīl fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm yang menurut perkiraan Maurice Bouyges terdiri dari 40 jilid.

Al-Ghazālī juga menulis sejumlah buku daras tentang usul fikih—yang paling terkenal adalah al-Mankhūl min Ta‘līqāt al-Uṣūl dan al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl—yang juga dengan fasih membicarakan kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam berikut tingkatan-tingkatan kekuatannya yang diukur berdasarkan isnād atau mata rantai transmisinya. Saat al-Ghazālī diangkat menjadi guru besar di Madrasah Niẓāmiyyah—dua kali: pertama di Baghdad dan kali keduanya di Nishapur—salah satu peran yang harus ia emban adalah memberikan fatwa tentang berbagai persoalan hukum Islam kepada kaum Muslim yang membutuhkan, yang tentu saja, membutuhkan keahlian tentang Qur’an dan Hadis, di samping metode penggalian hukum (istinbāṭ) dari keduanya. Lebih-lebih bila kita percaya bahwa sang Ḥujjat al-Islām adalah seorang mujtahid mumpuni—ia sendiri, dalam salah satu surat pribadinya, mengklaim bahwa ia “tak pernah mengikuti Imam [mazhab] yang mana pun.” Kita mestinya bertanya-tanya, dapatkah al-Ghazālī dipandang sebagai seorang mujtahid bila ia kurang mendalami Qur’an dan Hadis?

Walaupun demikian, saya tertarik mendiskusikan asal-muasal deskripsi Arifin Nugroho tersebut. Menurut saya, pernyataan Nugroho merupakan salah satu contoh pembacaan khazanah Islam masa lalu yang parsial dan abai terhadap konteks. (Tentu saja, kita tidak bisa berharap mendapatkan informasi yang mendalam dan utuh dari media massa.) Mari kita kutip pernyataannya yang banyak dikritik itu: “… Hanya memang kalau kita lihat, beberapa pendapat ahli sejarah mengatakan, ada sedikit yang kurang dari beliau adalah, beliau kurang mendalami al-Qur’an dan Hadis, maka subhanallah kalau lihat perjalanan beliau setelah dari Damaskus, setelah dari Damaskus pulang ke kampung halaman beliau di Tus, beliau justru di sini memperdalam dua kitab, Sahihain, Bukhari dan Muslim.” Dari mana ia mendapatkan informasi-informasi ini?

* * *

Salah satu cara praktis yang kerap kita pilih saat ingin mengenal kisah hidup seorang ulama di masa klasik Islam adalah dengan membuka-buka kamus biografi ulama atau tokoh terkemuka, yang dikenal sebagai literatur ṭabaqāt. Di dalam masing-masing entri literatur ṭabaqāt kita akan mendapatkan narasi yang sudah dimampatkan mengenai hayat dan karya setiap ulama. Narasinya biasanya kering dan hambar. Yang diceritakan cuma nama lengkap dan silsilahnya, tanggal lahir, guru-gurunya, karya-karyanya, hingga ditutup dengan tahun wafatnya. Sangat tidak memuaskan. Literatur ṭabaqāt biasanya juga ditulis dalam konteks tradisi keilmuan, profesi atau afiliasi mazhab tertentu, sehingga kita akan berjumpa dengan kitab ṭabaqāt para ahli bahasa, ilmuwan, filosof, atau himpunan biografi para ulama Mālikī, Ḥanafī, Ḥanbalī hingga Shāfi‘ī. Dengan sendirinya, informasi yang dihimpun dalam masing-masing kitab ṭabaqāt hanyalah yang relevan dengan tujuan si penulis. Informasi yang dihimpun dalam ṭabaqāt ulama Shāfi‘ī tentu hanya akan menekankan silsilah keilmuan fikih Shāfi‘ī dan cenderung meminggirkan isu-isu teologis atau filosofis misalnya. Singkat kata, kita tidak bisa berharap mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh tentang seorang tokoh dari literatur ini. Akan tetapi, terlepas dari (atau di samping) kelemahan-kelemahan di atas, literatur ṭabaqāt sebenarnya ditulis dalam konteks polemik dan kontestasi pemikiran yang kompleks juga. Di balik narasi “hambar” dan “kering” yang sering kita temui, sebenarnya terselip pergulatan pemikiran dan perebutan otoritas yang hanya bisa kita selami bila kita mengenal dengan baik konteks sosial dan politik teks-teks yang bersangkutan. Bahkan narasi kehidupan seorang ulama pun diperebutkan dan bisa dipolesi di sana-sini seturut dengan kepentingan para penulis yang mendukung atau menentang pemikirannya.

Figur-figur kontroversial seperti al-Ghazālī atau Ibn ‘Arabī, misalnya, kisah hidupnya akan dituturkan dengan cara yang berbeda oleh penulis-penulis biografi bergantung pada apakah si penulis adalah pembela atau penentangnya. Ketidakmampuan untuk menyadari secara kontekstual literatur ṭabaqāt hanya akan membuat kita mencomot teks atau informasi secara serampangan di luar konteksnya. Hasilnya adalah misinformasi yang sungguh fatal.

Cerita Arifin Nugroho bahwa al-Ghazālī mempelajari kitab Hadis al-Bukhārī dan Muslim di akhir hayatnya mengingatkan saya pada narasi ‘Abd al-Ghāfir al-Fārisī, yang tiada lain adalah penulis biografi al-Ghazālī yang pertama. Al-Fārisī menulis biografi al-Ghazālī dalam kitab sejarahnya yang sudah hilang, al-Siyāq li-Tārīkh Naysābūr. Ia menyusun biografi tersebut setelah bertemu dan mewawancarai sang ujjat al-Islām. Dari sini, banyak orang berasumsi bahwa narasi al-Fārisī lumayan akurat karena ia mendapatkan informasi langsung dari sumber pertama. Mungkin karena alasan ini, banyak tulisan tentang hayat dan karya al-Ghazālī yang ditulis oleh para sejarawan di masa belakangan, mulai dari Ibn ‘Asākir hingga Tāj al-Dīn al-Subkī, langsung mengkopas begitu saja narasi al-Fārisī. Termasuk mungkin, yang dijadikan sebagai acuan oleh Arifin Nugroho.

Karena tulisan ‘Abd al-Ghāfir al-Fārisī yang utuh telah hilang, kita harus mengandalkan rekaman tulisannya pada literatur abaqāt yang ditulis oleh para ulama di masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini, saya akan menggunakan teks yang direproduksi oleh Tāj al-Dīn al-Subkī dalam Ṭabaqāt al-Shāfi‘iyyah al-Kubrā. Selengkapnya, narasi al-Fārisī itu adalah sebagai berikut: “Di akhir hidupnya, ia (al-Ghazālī) beralih mendalami Hadis [Nabi] al-Muṣṭafā, dengan cara belajar (mujālasah) kepada para ahlinya dan mengkaji dua kitab aḥīḥ, karya al-Bukhārī dan Muslim … Seandainya saja ia memiliki cukup umur, ia pasti bisa mendahului semua orang dalam disiplin ini dalam waktu singkat.” Al-Fārisī sendiri kemudian menambahkan bahwa al-Ghazālī “telah mendalami Hadis jauh di masa mudanya (lā shakk annahu sami‘a al-aḥādīth fī l-ayyām al-māḍiyah). Namun ia kembali sibuk mempelajarinya di akhir hidupnya. [Sayangnya,] ia tidak punya kesempatan menuturkan (wa lam tattafiqlahu al-riwāyah) [Hadis kepada orang lain].”

Di masa hidupnya, al-Ghazālī adalah figur yang kontroversial. Terutama setelah ia merilis dan mengajarkan karya utamanya, Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn di Nishapur, ia menerima serangan dan fitnah bertubi-tubi dari musuh-musuhnya. Antara lain, ia dituduh menyelipkan ajaran-ajaran Ibn Sīnā dan Ikhwān al-Ṣafā dalam karyanya; dan bahwa ia tidak pantas lagi disebut Muslim karena mengajarkan filosofi cahaya yang mirip-mirip dengan ajaran agama Majusi dalam Mishkāt al-Anwār. Saat kampanye-kampanye keji ini tidak berhasil menarik perhatian penguasa, musuh-musuh al-Ghazālī kemudian beralih mempermasalahkan elemen-elemen tertentu dalam karyanya yang bisa membangkitkan perhatian penguasa atau para ulama yang lain. Dibuatlah tuduhan bahwa al-Ghazālī pernah menghina pendiri mazhab Ḥanafī, Abū Ḥanīfah, agar Sanjar, penguasa Saljuq waktu itu yang bermazhab Ḥanafī, memanggil dan menghukum al-Ghazālī. Begitu pula, mereka pun mempersoalkan terselipnya Hadis-hadis lemah atau palsu di dalam Iḥyā’.

Terselipnya Hadis-hadis lemah sebenarnya bukan isu utama yang menyibukkan al-Ghazālī di masa hidupnya. Walaupun demikian, ‘Abd al-Ghāfir al-Fārisī tampaknya menganggap penting isu ini sehingga merasa perlu menyelipkan pembicaraan tentang isu ini dalam biografi yang ia tulis. Poin yang ingin ia sampaikan kelihatannya cukup terang: al-Ghazālī bukan seorang muḥaddith, ulama penutur Hadis yang membaktikan seluruh hidupnya secara profesional untuk meriwayatkan Hadis Nabi dari satu generasi ke generasi yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazālī pernah mempelajari Hadis Nabi, entah di masa mudanya, atau di akhir hidupnya. Namun, satu hal yang pasti, menurut al-Fārisī, al-Ghazālī  tidak dapat mencantumkan namanya sebagai penutur Hadis karena ia tidak memiliki kesempatan mengajarkan Hadis-hadis yang ia pelajari kepada orang lain. Narasi ‘Abd al-Ghāfir al-Fārisī ini—bila memang dibaca oleh Arifin Nugroho, atau ia membaca sumber lain mengutip narasi al-Fārisī—hanya menyinggung Hadis. Kesalahan Nugroho adalah bahwa ia menyimpulkan dari narasi bahwa al-Ghazālī mempelajari karya al-Bukhārī dan Muslim di akhir hayatnya sebagai bukti bahwa sang Ḥujjat al-Islām kurang mendalami Hadis. Dan bukan cuma Hadis, tapi Qur’an juga! Ia abai terhadap penjelasan al-Fārisī bahwa al-al-Ghazālī “telah mendalami Hadis jauh di masa mudanya.” Tanpa menyadari konteks polemik dan apologi yang terselip dalam narasi al-Fārisī, Nugroho berdeduksi bahwa informasi tentang al-Ghazālī yang mendalami Hadis di akhir hayatnya merupakan bukti bahwa ia belum sempat mendalami Hadis di masa muda.

Sebenarnya, pertanyaan mengapa al-Ghazālī menyelipkan Hadis-hadis lemah atau palsu di dalam Iyā  cukup misterius. Masih perlu kita kaji lebih jauh. Pendapat bahwa hal itu dilatarbelakangi oleh kurangnya penguasaan al-Ghazālī terhadap ilmu Hadis saya kira tidak dapat diterima dan saya pikir merupakan solusi yang terlalu dangkal. Saya hanya bisa berspekulasi bahwa concern al-Ghazālī—sebagai seorang Sufi—saat menulis Iyā, adalah kebenaran ruhani sementara para ahli Hadis adalah para sejarawan yang concern utamanya adalah kritisisme sejarah. Bagi seorang Sufi, dalam spekulasi saya, pernyataan Hadis “Carilah ilmu walaupun hingga ke Cina” adalah sahih dan secara ruhani adalah benar, walaupun mungkin secara historis Hadis ini dapat kita pertanyakan. Seperti Ibn ‘Arabī, al-Ghazālī mungkin akan mengatakan: “Hadis ini benar secara ruhani, tapi lemah menurut isnād-nya.”

‘Abd al-Ghāfir al-Fārisī menulis biografi al-Ghazālī di bawah bayang-bayang kritisisme bertubi-tubi ini. Ia tentu merasa perlu membela Sufi kelahiran Ṭūs ini sepatah dua patah kata. Dalam konteks inilah, ia kemudian membangun narasi tentang akhir hidup al-Ghazālī yang diisi dengan mengkaji Hadis, bukan sekadar kitab Hadis, tapi karya al-Bukhārī dan Muslim. Seakan hal ini masih belum cukup, al-Fārisī kemudian menambahkan, “Seandainya saja ia memiliki cukup umur, ia pasti bisa mendahului semua orang dalam disiplin ini dalam waktu singkat.” Nada apologetiknya terasa sekali. Dan bukan saja di tangan para pembelanya kisah hidup al-Ghazālī mengandung elemen apologetik. Biografi al-Ghazālī yang ditulis oleh ‘musuh-musuh ideologis’-nya, para ulama ahl al-Ḥadīth yang tradisionalis, yang cenderung enggan mempelajari ilmu-ilmu rasional seperti kalām dan falsafah, pun membangun narasinya sendiri. Mereka bertutur bahwa di akhir hayatnya al-Ghazālī menyesal telah mempelajari ilmu-ilmu rasional dan kemudian beralih meyakini ajaran al-salaf al-ṣāliḥ tentang akidah. Yang mana di antara kedua narasiini yang benar? Wa Allahu a‘lam. Saya hanya bisa berharap bahwa informasi-informasi semacam ini tidak dipahami mentah-mentah dan diterima di luar konteksnya. Karena memang, kesalahannya akan sangat fatal!

Oleh : Muhammad Ma’mun, Divisi Riset LTN-NU Jember dan Pengasuh Pesantren Al-Falah, Silo – Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *