Opini

Darurat Kesehatan dan Kepatuhan Masyarakat

Situasi virus korona (covid 19) terkini di Indonesia yang positif 1.046 orang, sembuh 46 orang, dan meninggal 87 orang (covid19.go.id, 27 Maret 2020).Untuk menekan penyebaran virus korona tersebut, menkopolhukam telah meminta aparat untuk menindak tegas terhadap pelanggar kebijakan pemerintah tentang larangan membuat pengumpulan atau kerumunan orang. Sejalan dengan itu, Kapolri telah pula mengeluarkan maklumat tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19).

Tindakan Menkopolhukam dan Kapolri tersebut tentu saja tidak terlepas dari kebijakan Presiden Jokowi yang menerapkan social distancing dalam menghadapi pandemi korona. Kebijakan social distancing tersebut tersebut menjadi suatu keniscayaan dalam rangka mencegah semakin meluasnya penyebaran virus korona. Sebab, menjaga keselamatan rakyat dari penyebaran virus korona agar tidak menelan korban jiwa yang lebih banyak lagi merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Social Distancing

Penetapan social distancing tersebut seyogianya tidak perlu Presiden yang mengeluarkannya tetapi cukup dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Dikatakan demikian karena kewenangan tersebut secara atributif telah diberikan kepada Menteri Kesehatan melalui ketentuan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK). Namun, tentu saja kebijakan yang langsung diambil oleh Presiden tidak kemudian bermasalah secara yuridis mengingat ia memang memiliki kekuasaan sebagai penanggung jawab tertinggi dalam rangka menjaga keselamatan, keamanan, dan kesejateraan rakyat berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUD 1945 tersebut, Presiden telah menerapkan prinsip keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex) sebagai dasar dalam penetapan social distancing di Indonesia.

Kebijakan yang popular dengan istilah Social distancing tersebut sebenarnya dalam UU KK disebut sebagai “pembatasan sosial berskala besar”. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 11 UU KK menentukan bahwa “Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.

Social distancing merupakan salah satu dari empat tindakan mitigasi yang dapat diambil oleh Pemerintah dalam rangka mengurangi risiko pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Selain social distancing, tiga tindakan mitigasi lainnya yang dapat diterapkan oleh pemerintah dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU KK adalah karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.Dalam kasus pandemi korona, pemerintah baru menerapkan social distancing saja, sedangkan tiga jenis tindakan mitigasi lainnya sampai saat ini belum diterapkan. 

Sejauh ini, social distancing dilaksanakan dengan cara meliburkan sekolah, sistem kuliah daring, bekerja dari rumah (work from home), pembatasan kegiatan keagamaan seperti sholat jum’at misalnya, serta pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang dan menimbulkan kerumunan. Peliburan sekolah dan bentuk-bentuk pembatasan tersebut merupakan tindakan minimal yang memang harus dilakukan pemerintah ketika memberlakukan social distancing sebagamana telah diamanahkan dalam Pasal 59 ayat (3) UU KK. Bersamaan dengan pembatasan-pembatasan tersebut, pemerintah telah pula menerapkan isolasi terhadap orang yang telah positif terjangkit virus korona. Pasal 1 angka 7 UU KK menyatakan bahwa “Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan”. 

Social distancing tersebut tentu saja berbeda dengan karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. Social distancing tidak menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang yang terdampak kebijakan tersebut, sedangkan tindakan karantina baik karantina rumah, karantina rumah sakit, maupun karantina wilayah menimbulkan tanggung jawab bagi pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang-orang yang sedang dikarantina.

Kepatuhan

Social distancing yang telah dipilih oleh Presiden sebagai sebuah keputusan dalam rangka melaksanakan tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan publik tersebut, secara moral wajib kita patuhi bersama. Kepatuhan terhadapnya bukan hanya karena takut akan ditindak oleh aparat tetapi jauh melampaui itu ia sebagai wujud nyata dari tanggung jawab setiap warga negara yang telah bersepakat untuk hidup bernengara dalam mencapai tujuan bersama berdasarkan Konstitusi, UUD 1945. 

Lebih dari itu, kebijakan Pemerintah yang hanya sebatas menerapkan social distancingtentunya telah diambil berdasarkan serangkaian pertimbangan yang terukur dan mendalam demi keselamatan rakyat. Pertimbangan tidak hanya epidemiologis semata tetapi pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti pertimbangan efektifitas, ekonomi, sosial, budaya, dukungan sumber daya, besarnya ancaman, dan keamanan tentunya telah diperhatikan pula berdasarkan perintah Pasal 49 ayat (2) UU KK. 

Ketepatan pertimbangan yang telah dijadikan sebagai dasar oleh Pemerintah dalam menjatuhkan pilihan pada social distancing sangat penting untuk kita yakini dan dukung bersama. Social distancing perlu kita yakini sebagai sebuah pilihan yang tepat sebab Pemerintah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap untuk melakukan kajian secara komprehensif dalam mengambil suatu kebijakan. Lengkapnya instrumen pemerintahan berupa sarana dan prasarana tersebut berfungsi dalam rangka mendukung sumber daya manusia yang berada di tubuh Pemerintah dalam memadukan berbagai keilmuan dan keahliannya masing-masing untuk mengambil sebuah keputusan, yaitu social distancing.

Lagipula kebijakan tersebut kemudian telah didukung pula dengan berbagai bantuan sosial yang akan digelontorkan oleh Pemerintah. Bantuan sosial ini sebagai sebuah bukti tentang itikad baik Pemerintah untuk melakukan penyelamatan bagi setiap warga negara. Kebijakan pemberian bantuan sosial ini setidaknya akan menjadi sedikit obat ampuh bagi masyarakat yang sedang dihantui oleh ancaman virus korona terhadap perekonomian (penghasilan) mereka. Ancaman terhadap perekonomian ini mungkin saja jauh lebih mengerikan daripada ancaman kesehatan bagi warga masyarakat yang hidupnya hanya tergantung pada pekerjaan dan penghasilan harian. Dengan itikad baik yang telah ditunjukkan Pemerintah tersebut, masihkan kita ragu, tidak percaya, dan tidak akan patuh pada kebijakan social distancing?!

Kepatuhan pada kebjakan social distancing merupakan kebaikan bersama bagi kita untuk menghambat semakin meluasnya penularan virus korona. Abainya kita terhadap kebijakan tersebut, sama halnya dengan memberi kesempatan kepada virus korona untuk terus merangsek masuk ke setiap sudut negeri ini. Apabila kemungkinan terburuk itu terjadi, maka bukan tidak mungkin pemerintah harus meningkatkan kebijakannnya menjadi karantina wilayah yang popular dengan sebutan lockdownLockdown tentu saja tidak lagi memberikan ruang gerak yang luasbagi masyarakat untuk beraktivitas sehingga menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggung dan memenuhi semua kebutuhan dasar warganya yang sedang di-lockdown, pertanyaannya adalah mampukah perekonomian negara kita saat ini untuk memikul tanggung jawab itu?!

Namun, kepatuhan untuk melaksanakan kebijakan social distancing tidak bermakna tertutupnya ruang kritik secara ilmiah oleh publik. Kritik merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah negara yang demokratis yang dapat berfungsi dan digunakan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan bagi kebijakan pemerintah. Kritik secara ilmiah dengan berbagai perspektif sesuai dengan keilmuan, keahlian, dan kapasitas masing-masing warga tentu saja berbeda dengan kritik tanpa didasari keilmuan yang dapat dengan mudah kita temui bertebaran di berbagai media sosial saat ini. Bahkan tidak sedikit kritik jenis terakhir ini bersifat provokatif yang alih-alih berkontribusi untuk memperbaiki keadaan tetapi justru sebaliknya ia berkontribusi dalam menciptakan keadaan semakin keruh dan mencekam.

Kritik, pendapat, dan/atau solusi yang tidak sesuai dengan bidang keilmuan dan kapasitas orang yang menyampaikannya tersebut mengingatkan saya pada dawuh salah satu guru saya, “Kicau burung tak sesuai jenisnya”. Tentu saja masyarakat tidak pernah bermimpi untuk membaca dan mendengarkan ulasan dari seorang sarjana hukum seperti saya tentang virus korona berikut mutasinya serta preskripsi dalam mencegah dan mengobati orang yang telah terjangkit virus tersebut. Akhirnya saya berharap tulisan ini tidak terkategorikan sebagai kicau burung yang tak sesuai dengan jenisnya, semoga!

*Tulisan ini sebelumnya telah terbit di kolom opini Koran Sindo Edisi 14 April 2020

Oleh: Adam Muhshi, Pengurus LTNNU Cabang Jember, Mahasiswa Program S3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *