‘Gema’ al-Ghazali dalam Karya-karya Barhebraeus
Gregorius Abu-l-Faraj Bar ‘Ebraya yang biasa dikenal dengan nama Barhebraeus di Eropa, mungkin terdengar tak akrab di telinga kita. Lahir di Malatya pada tahun 1225 dan wafat di Maragha pada tahun 1286, ia adalah seorang pendeta yang diangkat sebagai “Mafrianate Timur,” posisi tertinggi kedua dalam Gereja Ortodoks Syria di abad ke-13. Ia hidup ketika Dunia Islam sedang porak-poranda oleh serangan armada Mongol dan sezaman dengan ilmuwan dan filosof Muslim masyhur, Nashir ad-Din ath-Thusi.
Karena posisinya sebagai pimpinan minoritas Kristen dalam masyarakat Islam, Barhebraeus dituntut tidak hanya untuk mengatur urusan gereja, tapi juga perkara hukum yang dihadapi oleh umatnya. Untuk keperluan ini, ia kemudian menulis ‘Kitab Petunjuk’ (dalam bahasa Syria disebut ‘Ktaba d-huddaye’, atau ‘Nomocanon’ dalam bahasa Yunani). Kata Hidemi Takahashi, yang menulis disertasi tentang Barhebraeus, kitab ini adalah kompilasi hukum terpanjang yang pernah ditulis oleh seorang sarjana Kristen dalam bahasa Syria.
Dari mana Barhebreus menyusun kitab kompilasi hukumnya? Sebagai komunitas minoritas Kristen yang berada dalam kekuasaan kekhalifahan Islam yang tidak mungkin memiliki hubungan dengan aparatus negara, geraja Kristen Ortodoks Syria hanya memiliki kitab rujukan yang sedikit dalam hukum kanon. Kalaupun ada, kitab-kitab rujukan tersebut sudah tidak memadai untuk mengatur persoalan hukum yang dialami oleh umat Kristen di abad ke-13. Barhebraeus harus mencari rujukan di luar tradisi Kristen untuk menyusun kitab ‘Ktaba d-huddaye’.
Kitab apa yang ia pilih sebagai rujukan? Yang mengejutkan, Barhebraeus memilih kitab fikih karangan ulama Muslim kenamaan, Abu Hamid al-Ghazali, sebagai rujukan, yaitu al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi’i dan al-Wasith fi-l-Madzhab. Terutama bab 11 hingga bab terakhir ‘Ktaba d-huddaye’, kata Takahashi, diambil dari bab-bab al-Wajiz dan al-Wasith. Ini berarti kitab hukum Barhebraeus ‘meminjam’ isi kitab babon fikih Syafi’i ini sejak ‘Kitab al-Buyu’ (tentang jual-beli) hingga akhir buku.
Mengapa Barhebraeus memilih al-Ghazali sebagai rujukan utama dalam menulis ‘Ktaba d-huddaye’? Entahlah. Kita mungkin hanya bisa berspekulasi bahwa di abad ke-13 al-Ghazali merupakan salah seorang cendekiawan Muslim yang paling terkemuka dan karya-karyanya merepresentasikan pemikiran Islam yang paling ‘progresif’ dan paling menantang. Dalam kitab sejarahnya, Chronicon, Barhebraus mencatat tarikh kematian al-Ghazali dan menyinggung secara singkat perjalanan hidupnya.
Barhebraeus tak menyembunyikan kekaguman dan penghormatannya kepada sang Hujjat al-Islam. Ia menulis, “Lelaki ini mencela dengan keras kaum Muslimin … karena hanya memperhatikan wudhu dan kebersihan tubuh, dan melupakan kebersihan hati, yang menjadi sumber dosa. Ia menganjurkan zuhud dan kemiskinan, dan mengamalkan ajaran para Bapa Agung dalam karya-karyanya. Karena alasan inilah kami menyebutkan namanya [dalam buku ini].”
Oleh : Muhammad Ma’mun, Divisi Riset LTN-NU Jember dan Pengasuh Pesantren Al-Falah, Silo – Jember.