Menyeberang dari Tradisi Sendiri: Kritisisme Moderat Kiai Sahal
“Kiai Sahal Mahfudh adalah kiai yang berani ‘menyeberang’ dari tradisinya sendiri.” Azyumardi Azra .
“Saya membandingkan metodologinya Kiai Sahal, Masdar dan teman-teman JIL. Paling tidak di mata saya, [metodologi] Kiai Sahal jauh lebih mantap daripada generasi muda itu.” Ini adalah pengakuan jujur Prof Yasuko Kobayashi dalam emailnya kepada saya pada 4 November 2007. Terus terang, setidaknya sampai sekarang, saya menyetujui pendapat Professor Yasuko ini. Namun, tulisan berikut ini bukan bermaksud memaparkan kekuatan metodologi Kiai Sahal itu. Biarlah ini menjadi bahan kajian Professor Yasuko. Atau silakan Anda membaca buku Michael Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia (2007).
Yang menjadi poin di sini adalah bagaimana Kiai Sahal sampai pada maqam alim-intelektual yang mampu memantapkan metodologi pemikirannya secara sistematis. Salah satu jawaban yang akan saya ajukan di sini adalah karena dia (baca: beliau) berpegang teguh pada kritisisme, terutama kritisisme moderat. Kutipan dari Azyumardi Azra (2002) di atas, bahwa Kiai Sahal adalah kyai yang “berani ‘menyeberang’ dari tradisinya sendiri” tidak mungkin terjadi tanpa sikap kritis dalam dirinya. Tidaklah mengherankan jika, melalui proteksinya, gerakan kritis (pembaruan) yang menyuarakan langgam ijtihad transformatif dalam tubuh NU, seperti gerakan yang dimotori Masdar F. Mas’udi dan kiyai-kiyai muda sejak 1980-an, sebagaimana diungkapkan oleh Martin van Bruinessen, dapat berkembang dengan baik di kalangan pesantren.
Saya mengenal Kiai Sahal mula-mula sebagai seorang alim—mari kita akhiri kesalahkaprahan penyebutan ulama untuk singular—Nahdlatul Ulama (NU) dari tulisan-tulisan dia, dan tulisan-tulisan tentang dia. Sebagai seorang alim NU dia sangat kritis dan mempunyai pengetahuan luas, meskipun dia hanya mengenyam pendidikan pesantren dan tidak pernah menduduki bangku kuliah. Kritis dan berpengetahuan luas inilah yang melekat dalam benak saya, ketika nama Kiai Sahal disebut. Kritisisme dan keluasan pengetahuannya terefleksikan dalam banyak karya dan gagasannya. Namun jangan Anda bayangkan kritisisme Kyai Sahal seperti Sadeq Jalal al-Azm, Nasr Abu Zayd atau Ulil Abshar-Abdalla. Kritisisme Kyai Sahal adalah kritisisme moderat. Dia tidak mau melampaui tabu-tabu agama. Ada rambu-rambu ortodoksi yang masih dia pegang. Inilah yang membuat kritisismenya tidak kontroversial, walaupun bukan berarti tidak mengena dan substansial. Dia menjauhi kontroversi yang menurutnya tidak perlu.
Etos kritisisme Kiai Sahal ini berakar pada tradisi ijtihad menggelora dalam dirinya. Menurutnya ijtihad adalah sebuah “kebutuhan dasar” (Mahfudh 1985a). Karena sebuah kebutuhan dasar, maka dia berupaya melengkapi dirinya dengan prasarat-prasarat keilmuan dan moral untuk dapat memenuhi kebutuhan berijtihad itu. Dia berpendapat bahwa karena fiqh pada dasarnya bersifat ijtihadi, maka suatu ijtihad yang tidak mendatangkan kemaslahatan umum haruslah direvisi. Berijtihad bukan masalah—mengutip istilah yang dipergunakannya—”proklamasi”, berteriak secara heroik bahwa pintu ijtihad tidak tertutup, melainkan melakukan secara praksis ijtihad dengan kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Banyak orang berbicara lantang tentang ijtihad, namun ternyata dia tak pernah berijtihad, hanya bertaqlid kepada tokoh-tokoh lain di masa lampau atau masa sekarang. Ini masalah etika, muru’ah.
Ulama mujtahid yang tawadhu’ takut terhinggapi rasa takabbur. Namun ketawadhu’an Kyai Sahal tidak membuatnya berhenti mempromosikan ijtihad, dengan tetap menghindari takabbur, dan juga melakukan ijtihad. Memang setidaknya ada tiga cara mendukung ijtihad: pertama, mempromosikan bahwa ijtihad belum tertutup, dan berhenti di situ; kedua, melakukan ijtihad tanpa merasa perlu mempromosikannya; dan ketiga, mempromosikan dan sekaligus melakukan ijtihad. Kyai Sahal sepertinya ingin mengkategorikan dirinya dalam tipe kedua. Namun, menurut saya dia masuk dalam tipe ketiga. Tulisannya pada 1985 tentang ijtihad sebagai kebutuhan dan juga gagasan-gagasan dia tentang fiqh sosial, tentang kontekstualisasi fiqh, dan lain-lain, cukup menjadi bukti bahwa dia juga mempromosikan keniscayaan ijtihad itu.
Yang menarik dalam hal ini adalah bahwa dia menyarankan bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai “kepekaan sosial” dan mampu melakukan “analisis sosial” yang bagus. Ini maknanya bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai ilmu-ilmu sosial. Ini yang missing dalam kriteria ijtihad dalam fiqh klasik, setidaknya tidak terungkapkan secara eksplisit. Ini adalah salah satu kritik mendasar dia terhadap praktik ijtihad konvensional yang seringkali hanya bersifat tekstual, dan mengabaikan realitas sosial. Dia tidak memungkiri bahwa secara implisit prasyarat pengetahuan sosial itu memang ada, sebagaimana terjadi pada Imam Syafi‘i dengan Qaul Qadim (pendapat lama) dan Qaul Jadid (pendapat baru)-nya. Namun yang implisit ini perlu dieksplisitkan, dan menjadi prasyarat tambahan bagi para mujtahid.
Tak dipungkiri, Kyai Sahal adalah seorang kyai yang kritis terhadap lingkungan sosialnya. Dia melihat kondisi masyarakat yang berada dalam kemiskinan. Banyak di antaranya karena memang tidak punya modal usaha dan tak jarang di antara mereka sebenarnya sudah bekerja keras. Kemiskinan struktural telah memaksa mereka selalu dalam kemiskinan. Kondisi semacam itu yang menuntutnya untuk terlibat dalam kerja-kerja emansipatoris keswadayamasyarakatan dengan menjadikan pesantrennya sebagai LSM/NGO besar yang peduli kepada masyarakat sekitar, setidaknya secara lebih sistematis dilakukannya sejak 1977. Menurutnya tanpa kerja-kerja pemberdayaan kemaslahatan yang ditawarkan Islam sulit menyentuh realitas. Masyarakat-masyarakat miskin akan tetap miskin, tak terentaskan menjadi lebih makmur.
Paradigma karitatif yang lebih menekankan pemberian “ikan” ketimbang “kail”, menurutnya harus diubah. Masyarakat memang haruslah diberi modal dan diberi pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan modal itu dengan baik agar kemudian mereka dapat membuka usaha-usaha yang mampu menghidupi mereka. Pesantren harus memainkan peran dalam menebar kemaslahatan ini, melampaui lembar-lembar kitab kuning dan melompati dinding-dinding pembatas pesantrennya. Dia menciptakan corak atau malah “madzhab” tersendiri bagi pesantren, yakni madzhab pesantren pemberdayaan masyarakat. Peran pemberdayaan Kyai Sahal ini tak terbantahkan lagi.
***
Berbeda dengan kebanyakan ulama NU, Kyai Sahal juga kritis terhadap ideologi Ahlussunnah wal-Jamaah—yang di kalangan Nahdliyyin akrab disingkat Aswaja. Dia menyarankan agar Aswaja tidak menjadi ideologi yang tertutup. Dia menyarankan agar pengembangan Aswaja melibatkan disiplin keilmuan lain, terutama ilmu sosial, agar Aswaja dapat menjadi ideologi yang rasional, sistematis dan kontekstual sesuai dan seiring dengan transformasi kultural yang sedang berproses. Dengan demikian, Aswaja tidak melulu berkenaan dengan aspek agama, namun juga politik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. (Mahfudh 1985b) Ini adalah humanisasi Aswaja, mengeluarkan Aswaja dari cangkang teologisnya agar lebih kontekstual dengan problem real masyarakat. Tawaran Kyai Sahal yang telah dia kembangkan sejak paruh awal 1980-an ini nampaknya sejalan dengan gagasan Kuntowijoyo tentang “objektivikasi” Islam, agar nilai-nilai Islam menjadi bagian dari nilai-nilai universal yang diakui masyarakat manusia tanpa memandang asal-usul kegamaannya.
Kyai Sahal juga tak segan-segan mengkritik mazhab Syafi‘i, walaupun dia menyatakan tetap dalam bingkai madzhab ini. Kritik mendasar terhadap madzhab Syafii adalah bahwa madzhab ini kurang memperhatikan prinsip maslahah, dan malahan berkutat pada qiyas. Baginya, prinsip maslahah lebih menyentuh kondisi masyarakat sesungguhnya. Dan kemaslahatan inilah yang menuntut pemikiran fiqhiyah yang kontekstual, suatu hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Di sinilah dia belajar kepada madzhab Maliki, terutama kepada Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat. Bahkan, dapatlah dikatakan, bahwa fiqh yang berorientasi pada maslahah ini menjadi inti pemikiran Kiyai Sahal.
Kontekstualisasi fiqh di atas dia kembangkan lebih lanjut melalui Fiqh Sosial, yang pada hakekatnya adalah maslahah-oriented. Ini adalah bentuk kritisisme Kyai Sahal terhadap kecenderungan fiqh yang berkutat pada masalah-masalah ibadah individual. Di kalangan NU dia memang bukan satu-satunya yang mengembangkan fiqh sosial. Yang lainnya adalah KH Ali Yafie. Namun Fiqh Sosial yang dikembangkan keduanya mempunyai perbedaan mendasar. Kyai Ali Yafie sebenarnya mengembangkan Fiqh Sosial Perkotaan, sedangkan Kyai Sahal Fiqh Sosial Pedesaan atau Pemberdayaan. Mungkin karena konteks sosial pengembangan kedua fiqh itu berbeda. Kyai Ali Yafie mengembangkannya di Jakarta, ibu kota negara, pusat kekuasaan dan bisnis, yang deras dengan terjangan arus kapitalisme dan globalisasi. Sedangkan Kyai Sahal mengembangkan Fiqh Sosialnya nun jauh di perkampungan Kajen, Pati, yang jauh dari hiruk-pikuk budaya urban, yang dihidupi oleh para petani dan kaum dhuafa’. Namun Fiqh Sosial Kyai Sahal bukan Fiqh Sosial pasif, determinis dan apatis, sebagaimana “label” pejoratif yang sering dilekatkan kaum developmentalis pada masyarakat desa. Fiqh Sosial Kyai Sahal adalah Fiqh Sosial yang progresif emansipatoris dengan visi keadilan dan kemaslahatan yang kental.
***
Prinsip keadilan dan kemaslahatan ini juga yang nampak dalam “Fiqh Politik” (Fiqh Siyasah) Kyai Sahal. Di sini kritisisme Kyai Sahal juga kentara secara benderang. Dia belajar kepada Sayyidina Ali yang mengatakan: “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan, meskipun ma‘a al-kufri, dan negara itu akan hancur dengan kezaliman, meskipun ma‘al-muslimin.” Meskipun kepala negara itu non-Muslim, kalau didasarkan pada keadilan maka negara itu akan tegak berdiri. Namun, kendatipun diperintah oleh seorang Muslim, tapi jika dia zalim, maka negara itu akan runtuh. Dia pun belajar dari Ibn Taymiyyah yang mengatakan: “Allah akan menegakkan negara yang adil, meskipun (negara) kafir, dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim.” Dan dari Yusuf Qardawi dia belajar bahwa politik yang adil (al-siyasah al-‘adilah) bukan harus “sesuai” dengan syariah, melainkan “tidak bertentangan” dengan Syariah (Mahfudh 1994/2003). Oleh karena itu, Kyai Sahal mengatakan bahwa produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Bahkan menurutnya, diktum-diktum fiqh siyasah yang tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum, seperti menempatkan non-Muslim sebagai warga negara kelas dua, harus mulai diubah. (Mahfudh 2002). Bangunan politik harus didasarkan pada kaidah fiqh yang berbunyi tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin/penguasa harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat). Ini berarti, kedudukan masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin saling mengeksklusikan
Dalam wilayah non-ibadah mahdlah ini (politik), manusia diberikan kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga dapat diterima semua pihak. Namun semua ini, menurutnya, masih harus mengacu kepada prinsip maqasid syari‘ah (tujuan-tujuan syariah) yang meliputi: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam (hifzh al-din). (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat (hifzh al-`aql). (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer (hifzh al-nafs). (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal (hifzh al-mal). (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani (hifzh al-nasl). (Lihatlah betapa kritis dan kreatif Kyai Sahal menginterpretasikan maqasid syariah!). Ini adalah gagasan Fiqh Politik yang cerdas, untuk menanggulangi ketakberdayaan konsep Fiqh Siyasah klasik dominan yang dianggap gagap dalam memasuki konteks negara-bangsa modern. Oleh karena itu, dengan pemikiran politik semacam ini, tidaklah menjadi masalah baginya mendukung keutuhan NKRI, jika NKRI itu merupakan sarana terwujudnya kemaslahatan rakyat.
***
Kritisisme Kyai Sahal bagaimana pun bukanlah kritisisme yang liberal. Jadi jangan berharap dia mendukung liberalisme dan sekularisme agama. Dan Jangan heran kalau Kyai Sahal turut gerah melihat fenomena gerakan-gerakan keagamaan sempalan, yang oleh MUI diberi label “sesat”. Tidak usah terkejut apabila Kyai Sahal mengatakan: “Dari semua penjuru, Islam dikacau. Pihak-pihak yang berkepentingan bisa memanfaatkan penafsiran ajaran Islam untuk kepentingan sesaat.” Memang Kyai Sahal bukan alim-intelektual yang liberal. Jangan pula tercengang apabila Anda mendapati bahwa seakan-akan dia mengembangkan wacana yang kontradiktif dalam NU dan dalam MUI. Kesan semacam ini adalah wajar. NU adalah organisasi keagamaan yang cukup longgar dari segi organisatoris dan pemikiran, walau tetap jelas pula khittah-nya. Kyai di daerah tidak serta-merta tunduk kepada pemimpin di atasnya. Dan juga, wacana yang dikembangkan oleh organisasi tidak selalu menjadi wacana wajib di level bawahnya. Kelenturan ini yang memungkinkan Kyai Sahal—dan kyai-kyai muda lainnya—untuk mengembangkan wacana alternatif yang berbeda. Sedangkan MUI tidaklah demikian. Secara keorganisasian dan pemikiran lebih ketat. Kebijakan dan wacana—misalnya fatwa atau tausiyah—yang dikembangkan oleh lembaga merupakan kebijakan dan wacana yang harus menjadi pegangan para pengurusnya dari pusat sampai daerah. Sebagai ketua umum MUI, tentu saja, Kyai Sahal haruslah mengikuti kebijakan dan wacana resmi organisasi. Dalam organisasi ulama yang pluralistik, terdiri dari perwakilan dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia, Kyai Sahal tidak dapat memaksakan konsep yang dia kembangkan di NU untuk menjadi konsep resmi MUI. Semua konsep dinegosiasikan, dan dari negosiasi itu muncullah konsep yang hegemonik. Seperti kita saksikan bersama, konsep hegemonik dalam MUI justru tidak bernuansa dan berlanggam NU—kendati pun kepemimpinan tokoh NU di dalamnya lebih dari sepuluh tahun. Yang terjadi justru sebaliknya, para ulama NU dalam MUI nampak menjadi lebih puritan. Namun demikian, di tengah puritanisme MUI, Kyai Sahal nampak selalu ingin bersikap moderat. Saat bandul image Kyai Sahal berayun ke kanan, dia memberikan statemen sebaliknya dalam pidato iftitah beliau dalam Munas dan Konbes NU 2006, bahwa “syari’at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal” dan bahwa “NKRI dengan dasar Pancasila sudah merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia”, mengingat kondisi obyektif bangsa Indonesia yang ditakdirkan Allah swt menjadi bangsa yang pluralistik. Argumentasi kemaslahatan menaungi pemikiran itu. Sehingga muncullah kesan bahwa tengah terjadi pergulatan yang sengit antara dua figur: Kyai Sahal NU versus Kyai Sahal MUI. Dan pergulatan itu belum berakhir. Beginilah saya membaca dan mengekspresikan cinta saya kepada Kyai Sahal. Wallahu a‘lam bish-shawab.
*Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dalam antologi buku karya Asrori Karni & Abdul Wasik (eds), Pandu Ulama Ayomi Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiyai Sahal, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007.
Oleh : Dr. Moch Nur Ichwan, MA., Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.