KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi: Ideolog Imam al-Ghazali dalam Islam Nusantara
Almaghfurlah KH. Mukhtar Syafa’at dikenal sebagai ulama Banyuwangi pengagum Imam al-Ghazali. Kitab Ihya Ulumiddin, yang ditulis ulama mujtahid terkenal Mazhab Syafi’i ini, menjadi bacaan wajib yang diajarkan oleh pendiri Pesantren Blokagung, Genteng, Banyuwangi ini.
Beliau dikenal ilmu tasawwufnya tinggi,dan paling senang mengkaji juz tiga Kitab Ihya, sehingga dikaui sebagai tokoh ulama sepuh yg bisa menjabarkan dgn luas makna dan nilai2 kitab Ihya al-Ghazali.
Ada apa sebetulnya dengan Imam al-Ghazali? Dan mengapa Kitab Ihya Ulumiddin?
KH. Mukhtar Syafa’at tentu tidak sendiri. Ada banyak ulama di Indonesia ini yang merupakan pecinta Imam al-Ghazali dan kitab Ihya-nya. Bahkan mereka menjadi ideolognya Islam Nusantara dari warisan ilmunya Imam al-Ghazali. Sejak Islam masuk ke Nusantara, terutama sejak masa Wali Songo di abad 14 hingga 16, kitab Ihya sudah dikenal dan menjadi bacaan favorit. Terutama untuk mengisi karakter Islam Nusantara berbasis Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) yang dibangun oleh para Wali Songo.
Para Wali Songo menulis kitab-kitab Aswaja dari yang simpel (tentang dasar-dasar tauhid dan syariat) hingga yang njelimet (seperti teks-teks suluk maupun ajaran-ajaran tasawuf kelas tinggi). Substansi ke-Aswaja-an tulisan-tulisan Wali Songo tersebut tergambar jelas dalam teks-teks suluk Sunan Bonang, dan sejumlah teks-teks cerita (seperti cerita Jaka Seulawah dan Bima Ngaji) yang diadaptasi dari ajaran-ajaran Wali Songo.
Otoritas al-Imam al-Ghazali selalu muncul menjadi penentu dalam segenap perbincangan tentang masalah-masalah keagamaan, dari yang sifatnya mendasar, seperti masalah keimanan dan tauhid, hingga soal-soal pelik dalam ilmu tasawuf dan suluk. Misalnya ada satu teks yang disalin sekitar abad 16 di atas pelepah daun lontar dan satunya lagi di atas kertas rakyat (dluwang gendong) – kemudian diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh orientalis Belanda, G.W.J. Drewes. Pada kedua teks Jawa kawi itu ada rujukan ke kitab Ihya Ulumuddin.
Sebelum Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari mengadopsi nama Imam al-Ghazali (selain Imam al-Junaid) sebagai kiblat mazhab tasawuf dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama pada 1926, nama al-Imam al-Ghazali dan kitab Ihya-nya menjadi rujukan dalam setiap pembicaraan dan perdebatan tentang masalah-masalah tasawuf di Nusantara. Mulai dari Serat Centhini dari abad 17 hingga dalam satu teks terjemah bahasa Jawa dari abad 18 atas Kitab Fathurrahman karya Syekh Zakariya al-Anshari.
Bahkan nama beliau menjadi otoritas menentukan dalam menengahi aliran-aliran tasawuf yang saling berseberangan di Nusantara. Ini misalnya kita lihat dalam Koleksi 149 Naskah Ulama Banten Tahun 1890 yang tersimpan dalam Perpustakaan Leiden hingga kini (teks-teks kode LOr 5591 hingga LOr 5739).
Ada satu signifikansi atau ahammiyah dari pengolahan ilmu tasawuf ini dari basis karya-karya al-Imam al-Ghazali ini dan dialognya dengan teks-teks wahdatul wujud.
Pertama, bagi pemula atau kalangan awam dalam ilmu ini, yang dipentingkan adalah pengenalan dasar untuk mempelajari ilmu akhlaq, etika atau moralitas. Untuk itu karya-karya al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin dan teks-teks adaptasinya di Nusantara menjadi bacaan wajib. Dalam Koleksi Ulama Banten ini, karya Syekh Abdushshamad al-Palimbani, Sairu-s-Salikin ila Ibadat Rabbil-alamin(teks LOr 5740 yang disalin dari Aceh), adalah teks adaptasi Islam Nusantara atas Kitab Ihya yang paling terkenal.
Kedua, menjadi acuan dalam pengolahan ilmu-ilmu atau konsep-konsep baru dalam fiqih, seperti Kiai Sahal Mahfudh yang merumuskan “fiqih sosial” atau sebagai bahan untuk penyusunan teks baru berisi pengajaran moral atau akhlaq, seperti teks Suluk Sujinah(LOr 5592) yang ditulis dalam bentuk tembangbaris-berbaris antara aksara Arab pegon dan aksara Jawa.
Ketiga, kutub mu’tabarah dari al-Imam al-Ghazali ini dijadikan bahan polemik dengan paham-paham lainnya, terutama dengan paham wujudiyah atau martabat tujuh di Nusantara.
Berikut adalah strategi yang dipakai kalangan santri-ulama pesantren dalam mengolah ilmu tasawuf dari basis polemik dengan Ibnu Arabi dan kalangan pendukung paham wujudiyah ini. Strategi ini tercermin dalam Koleksi Ulama Banten naskah LOr 5660 yang memuat himpunan teks-teks tasawuf dalam bahasa Arab dan bahasa Jawa. Himpunan teks-teks dalam naskah ini bukanlah teks-teks mati, bukan pula penggalan-penggalan yang tidak punya riwayat hidup yang menghubungkan satu dengan lainnya.
Bisa dikatakan naskah LOr 5660 adalah sebuah kisah tentang jaringan teks-teks pesantren yang saling berinteraksi secara intertekstualitas, yang saling berdialog antara satu dengan lainnya, dalam beragam kutipan, ide hingga paham yang berlawanan sekalipun! Ini menunjukkan bahwa kalangan pesantren di Banten tidak berkepentingan membakar teks-teks wujudiyah seperti yang terjadi di Aceh di masa Syekh Nuruddin ar-Raniri abad 17.
Mari kita ikuti strategi-strategi tersebut untuk melihat bagaimana Imam al-Ghazali menjadi menentukan dalam Islam Nusantara:
Pertama, konsolidasi pandangan-pandangan Aswaja, dengan rujukan utama pada al-Imam al-Ghazali dan adaptasinya di Nusantara. Ini ditunjukkan dalam keberadaan teks Syekh Abdurra’uf Singkel (di abad 11/17) yang menulis Lubb al-Kasyf wal-Bayan lima Yarahu-l-Muhtadar bil-‘Ayan(teks LOr 5660[1]).
Kedua, ketika ada pertentangan antara ulama Aswaja dan paham wujudiyah, maka diperjelas melalui rujukan kepada kitab-kitab yang bisa memahami persoalan tersebut dengan baik. Ada teks dari Syekh Zakariya al-Anshari (w. 926/1520),Ta’rif Ghalib wa Tadawalatha ash-Shufiya al-Muhaqqiqun mina-l-Alfaz (LOr 5660[8]), yang memperjelas posisi masing-masing kalangan sufi, termasuk bahasa-bahasa yang mereka pakai yang kebanyakan sering disalahpahami.Ada pula teks Syekh Ibrahim al-Kurani (w. 1101/1690), al-Maslak al-Jali fi Hukm Syath al-Wali, sekitar 1089 H (LOr 5660[2]), yang mendudukkan masalah wujudiyah secara lebih proporsional, bukan dalam konteks bakar-membakar atau sesat-menyesatkan. Teks ini ditulis sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar soal ini dari Jawa pada 1089 (sekitar tahun 1670-an). Teks ini kemudian disalin oleh Abdullah al-Jawi dari abad 18 (sekitar 1770-an), yang sanadnya memiliki nama Syekh Ibrahim al-Kurani ini. Selain itu, untuk memperkuat argumen di atas, disertakan pula komentar Syekh al-Qushashi (w. 1071/1660), gurunya al-Kurani, teks LOr 5660(9), terhadap buku al-Jili di atas; dan teks dari Syekh Ibn ‘Allan ash-Shidqi berjudul Raf’u-l-Hijab ‘an Araisi al-Khamsah al-Abwab yang ditulis berdasarkan permintaan Sultan Banten, Abu al-Ma’ali Ahmad bin Abi al-Mafakhir Abdul Qadir dari abad 17.
Ketiga, sebagai pengimbang dan untuk memahami langsung teks-teks wujudiyah ini – setelah mendapat bekal pemahaman seperti di atas –mulai disertakan teks-teks Ibnu Arabi dan muridnya, al-Jili. Yaitu teks LOr 5660(3) Kitab Kunh ma la Budda minhu dan teks LOr 5660[4a] yang merupakan kutipan dari teks al-Jili, al-Insan al-Kamil, tentang makna “al-wujud”. Keduanya disalin oleh Abdullah al-Jawi, disertai terjemahan dalam bahasa Jawa, untuk membantu memahami teks-teks berat tersebut. Disertakan pula teks LOr 5660[7] berjudul Syarh al-Baytayn yang merupakan komentar atas dua syair Ibnu Arabi, “Kunna hurufan ‘aliyatan”. Penulis komentar ini adalah Mu’ayyad al-Ganadi, murid al-Qunawi (w. sekitar 690/1291).
Keempat, disertakan pula fragmen dan teks-teks Syekh Syamsuddin Sumatrani asy-Syafi’i (w. 1039/1630), Jawharu-d-Daqaiq dan Kitabu-l-Harakah (LOr 5726). Ini untuk melihat sejauhmana proses kontekstualisasi paham Wujudiyah dalam konteks Islam Nusantara sebagaimana ditunjukkan oleh salah seorang murid Sunan Bonang ini.
Kelima, disertakan pula beberapa teks yang menjadi peringatan agar menjaga kehati-hatian dan tidak mudah terpeleset dalam memahami teks-teks wujudiyah. Seperti teks LOr 5690(10a) yang berisi ucapan-ucapan Imam as-Safari (identitas tidak dikenal atau nama fiktif) tentang kaum Rawafid, yang merupakan orang-orang yang tergelincir dalam kesesatan dalam memahami wujudiyah.
Proses dialogisasi ini plus adanya warning untuk hati-hati kemudian memunculkan sejumlah teks-teks dalam bahasa-bahasa Nusantara, merupakan penjabaran dari strategi-strategi tekstual kalangan pesantren dalam menempatkan posisis Imam al-Ghazali. Misalnya dalam teks LOr 5608 berisi catatan dan fragmen tentang tasawuf, bahasa Jawa dan sunda pego di atas kertas dluwang. Juga LOr 5609 yang berisi catatan tentang tasawuf dalam bahasa Jawa, sebagian dalam bahasa Sunda, Melayu dan Arab. Isinya mengenai “insan kamil”, tentang sifat-sifat Tuhan, dan tentang ungkapan “man ‘arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”. Dalam strategi-strategi pengolahan pengetahuan ini pula, ada naskah di luar dari Koleksi Ulama Banten ini, yang berjudul Suluk Acih [Aceh] atau Kitab Akya Ngulumudin, dengan teks kode PW.130, disalin pada Jumat, 7 Rabiul Awal Je 1742 (18 Februari 1815). Isinya tentang wejangan ilmu yang diterima oleh Sunan Kalijaga dengan berdasar dari ilmu al-Imam al-Ghazali.
Perhatikan, nama teksnya mengambil ilham dari judul kitab Ihya.
Teks terakhir yang ditulis kakeknya Ronggowarsito ini merupakan teks menarik. Ia betul-betul menunjukkan karakter Islam Nusantara dalam menempatkan Imam al-Ghazali dalam posisi strategis. Yakni bagaimana ilmu al-Ghazali diolah untuk kemudian menjadi ilmunya Sunan Kalijaga. Apapun produk akhir dari pengolahan pengetahuan kesufian atau tasawuf ini, apapun alirannya, pada akhirnya toh akan kembali kepada al-Imam al-Ghazali melalui warisan Sunan Kalijaga. Lebih jauh lagi, perbincangan apapun tentang wujudiyah, martabat tujuh atau paham-paham yang terkait, tidak akan bisa mengabaikan jejak-jejak sang imam dan sang sunan hingga kemanapun!
Selain sebagai teks otoritatif dalam pembahasan ilmu tasawuf Islam Nusantara, Imam al-Ghazali dan kitab Ihya-nya juga menjadi rujukan penting dalam pembahasan ilmu politik Islam Nusantara. Ada karya Imam al-Ghazali berjudul at-Tibru-l-Masbuk fi Nashihati-l-Muluk. Versi bahasa Arab dikerjakan oleh Ali Mubarak bin al-Mawhub al-Lahmi al-Adili (paruh kedua abad 6/12) dari teks asli yang ditulis dalam bahasa Persia.
Kitab at-Tibru-l-Masbuk ini, baik dalam versi Persia maupun Arab, sama-sama mengilhami kemunculan karya-karya ilmu politik dan etika kekuasaan di lingkungan pesantren di Nusantara. Seperti Taju-s-Salatin (yang disalin oleh Bukhari al-Johori atau al-Jawhari di Aceh pada 1603), Tajul Muluk atau Mahkota Raja-raja, Sulalatus-Salathin (kemudian dikenal Sajarah Melayu), Serat Nawawi (satu versi dalam bahasa Jawa disalin pada tahun 1817 di Surakarta), hingga Bustanu-s-Salathin (yang ditulis oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri).
Kitab Ihya adalah teks penting pula selain at-Tibru-l-Masbuk dalam referensi ilmu politik Islam Nusantara yang dipelajari anak-anak bangsa ini. Seperti dituturkan dalam naskah babadnya, Babad Diponegoro, sejak kecil Pangeran Diponegoro sudah ngaji kitab ini dan menjadi inspirasi melawan Kompeni Belanda hingga meledak Perang Jawa (1825-1830).
Kitab Ihya menjadi inspirasi kemunculan teks-teks Ramalan Jayabaya (dan teks-teks turunannya seperti Serat Centhini) yang banyak menggunakan analisis psikologis untuk menggambarkan realitas sosial-politik di masa depan. Seperti bahasa-bahasa angkara-murka, nafsu, dan tamak (seperti kalimat “[ang]kara murka ratunipun”). Perhatian tentang kualitas jiwa atau suasana hati seseorang dan kelompok manusia ini dipengaruhi oleh karya-karya Imam al-Ghazali. Angkara-murka, nafsu, tamak, raksu terhadap dunia, itu disebut masalah penyakit hati yang merusak (muhlikat). Perkara personal akan membawa dampak dalam masalah relasi kekuasaan politik dan kewarganegaraan. Seperti ditemukan dalam kitab Ihya Ulumiddin dan Nashihatu-l-Muluk. Penulis-penulis teks Jayabaya dan turunannya tahu betul soal penyakit hati dalam pribadi-pribadi manusia, yang bisa menjadi penyakit sosial-politik yang bisa merusak tatanan politik yang ideal.
Ini yang mereka pelajari dari kitab-kitab Imam al-Ghazali ini. Dari analisis psikologi sosial-politik ini, teks-teks Jayabaya kemudian memperkaya diskusi-diskusi tematik ilmu politik pesantren soal kekuasaan. Seperti masalah basis legitimasi penguasa, soal kewenangan dan pembatasannya, tema etika dan kritik kekuasaan, soal prinsip pengaturan dan kesepakatan politik-kenegaraan bersama, hingga berupa analisis ekonomi-politik tentang tanda-tanda kekuasaan yang adil dan yang zalim.
Karya-karya Imam al-Ghazali juga memberi fondasi intelektual bagi bangunan ilmu politik Nusantara. Fondasi ini membenarkan para ulama kita merumuskan satu bentuk negara yang berdasarkan keadilan dan kemaslahatan (dulu disebut Jumhuriyah al-Indonesiyah kemudian menjadi NKRI), bukan pada bentuk formal “negara Islam” atau “daulah Islamiyah”. ….
Dengan kecintaannya kepada ilmunya Imam al-Ghazali dan kitab Ihya-nya, KH. Mukhtar Syafa’at ikut memperkaya khazanah keilmuan Islam Aswaja atau Islam Nusantara di Indonesia. Semoga warisan beliau tetap dilanjutkan oleh anak-anak dan cucu beliau serta oleh generasi muda kita.
Allah yarhamhu…
*Tulisan ini adalah Pengantar Epilog atas buku trilogi pertama Mbah Kiai Syaf’at : Bapak Patriot dan Imam al-Ghazalinya tanah jawa karya Muhammad fauzinuddin faiz.
Oleh : Ahmad Baso, Wakil Ketua PP Lakpesdam-NU & Penulis buku Pesantren Studies dan NU Studies.