Abdul Hamied Kholiel: Kiai Wali dari Bangsalsari
Tinggi badannya sedang. Warna kulitnya coklat, sawu mateng. Abdul Hamied, namanya. Seorang kiai kharismatik, yang oleh warga sekitar dikenal sebagai “wali” atau “waliyullah”, dari Bangsalsari, Jember. Di kalangan para santri dan muhibbin-nya, ia sering dipanggil dengan sebutan “Syekh” atau “Pak Syekh”, sebuah gelar kehormatan yang biasanya disematkan kepada seorang yang alim, saleh, dan wiro’i.
Kiai Abdul Hamied tumbuh berkembang di Desa Kedungsuko Bangsalsari. Ia merupakan anak keempat dari pasangan Kiai Kholiel Ghazali dan Nyai Khadijah. Oleh ibunya (Nyai Khadijah), dikandung selama 13 bulan, dan akhirnya lahir pada 12 Juni 1935.
Kiai Kholiel Ghazali hidup sezaman dan berteman karib dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Ketika Kiai Kholiel Ghazali meninggal, pasalnya, Kiai Abdul Hamid Pasuruan datang secara pribadi. Keduanya memang dikenal sama-sama seorang wali. Konon, semula ada seorang santri yang memberi kabar kepada Kiai Abdul Hamid Pasuruan bahwa teman karibnya itu meninggal. Lalu santri tersebut dipersilahkan pulang. Dan begitu sampai di Jember, santri pembawa berita itu kaget, karena ia melihat Kiai Abdul Hamid Pasuruan sudah di lokasi, datang lebih dulu sebelum dirinya.
Tentang Kiai Abdul Hamied (putra Kiai Kholiel Ghazali), nama kecilnya adalah Abdullah, namun entah karena alasan apa, oleh Kiai Kholiel diubah menjadi Abdul Hamied. Masa kecilnya sebagaimana anak-anak kecil lain pada umumnya: main layang-layang di sawah, mencari ikan di sungai, nonton ludruk, dan lain-lain. Kalau pun nakal (beler), tidak sampai menyakiti orang lain. Yang menjaga (momong), bernama Ngatimah. Teman bermain dari kerabatnya sendiri adalah saudara-saudara sepunya, seperti Saunah dan Masfufah.
Sebagai seorang anak kiai, dan anak seusianya, Kiai Abdul Hamied muda pertama kali belajar al-Qur’an (ngaji) kepada Nyai Khadijah, ibunya. Namun tidak berlangsung lama, sebab ia ditinggal wafat ibunya saat masih usia kurang lebih 8 tahun. Ngaji pada hari-hari berikutnya dilanjutkan kepada Kiai Kholiel. Dan sejak kepergian ibunya, Kiai Abdul Hamied muda tinggal bersama Siti Ruqayyah, kakaknya.
Saat Kiai Abdul Hamied memasuki usia remaja, ia mengalami semacam pencarian identitas diri, yang dari sinilah tabir kewaliannya mulai terlihat. Selain Kiai Abdul Hamied seorang wali, sebenarnya ada satu lagi yang dikenal kiai wali di Bangsalsari, yaitu Kiai Abdul Halim Rahman, yang ternyata masih kerabatnya (kakak ipar, suami Siti Ruqayyah). Hanya saja, terdapat perbedaan karakter di antara keduanya, terutama dilihat dari proses pencarian ilmu.
Kiai Abdul Halim Rahman lahir tahun 1917 di Wuluhan, Jember. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Di usia remaja, ia termasuk pencari ilmu yang gigih. Semula mondok di Kebonsadeng, Desa Kemuningsari, Kecamatan Jenggawah, namun hanya sebentar, karena konon tidak betah. Lalu pindah ke pesantren yang diasuh oleh Kiai Kholiel—dahulu dikenal dengan nama “Pondok Tengah”—yang di kemudian hari, ia menjadi menantunya. Setelah itu, Kiai Abdul Halim Rahman modok ke Pesantren Tebuireng, Jombang, selama 4 tahun. Kemudian sempat nyantri ke Pesantren Tremas, Pacitan, selama kurang lebih 6 tahun. Setelah itu mondok ke Pesantren Cemoro, Banyuwangi, tidak lama, kurang dari setahun.
Usia Kiai Abdul Hamied jelas jauh lebih muda daripada Kiai Abdul Halim Rahman. Selisih 18 tahun. Begitu pula dengan pengalaman mencari ilmu dan perjalan spiritual kewalian dari keduanya terlihat beda.
Kiai Abdul Hamied muda pernah mondok di Desa Semboro, di bawah asuhan Kiai Asmuni. Namun belajar di pesantren bagi Kiai Abdul Hamied muda tidak dilakukan secara ajeg, berkomitmen sebagaimana umumnya santri. Itu pun hanya kurang lebih setahun. Kiai Abdul Hamied muda bahkan tidak menetap di pondok, tapi di rumah KH. Ishaq atau Mbah Basar, yang rumahnya tidak jauh dari pondok. Namun demikian, menurut kesaksian Saunah, pengasuhnya, meski Kiai Abdul Hamied muda mondok terbilang sebentar, ia terlihat sudah pandai baca kitab dan pintar banyak hal.
Lebih dari itu, informasi lain, berdasarkan keterangan langsung dari Kiai Abdul Hamied yang diceritakan kepada anak-anaknya, berbanding terbalik dengan informasi awal dari Saunah. Kiai Abdul Hamied muda justru tidak pernah mondok, tapi bisa langsung ngaji (baca kitab). “Beberapa kali diceritakan kepada saya dan saudara-saudara lain, kalau abah tidak pernah mondok dan langsung bisa ngaji (membaca kitab)”, ungkap Gus Najib (putra Kiai Abdul Hamied yang ke-8).
Kiai Abdul Hamied muda sering ziarah ke makam para wali. Yang paling sering ke Demak (Jawa Tengah) dan Batuampar (Pamekasan, Madura). Ziarah yang dilakukan tidak seperti model sekarang, yang sesaat datang dan pergi lagi, tapi minimal 10 hari di lokasi tempat ziarahnya. Dalam perjalanan ziarah ke makam-makan wali, dengan mengendarai sepeda ontel, Kiai Abdul Hamied bahkan pernah 4 tahun.
Pada akhirnya, sebagaimana dikisahkan oleh Gus Najib dan terkonfirmasi juga oleh Gus Hizbi (putra Kiai Abdul Hamied yang ke-9), ketika Kiai Abdul Hamied melakukan mujahadah di makam Sunan Kalijaga, mendengar suworo tanpo rupo (suara tanpa wujud) yang memberi kabar bahwa tujuan Kiai Abdul Hamied muda telah tercapai, yaitu bisa membaca kitab sakmaknane (dengan maknanya), tanpa belajar terlebih dahulu. Kiai Abdul Hamied, ungkap Gus Najib, menambahkan dengan sedikit guyon, “Sayange kok ora jaluk ilmu laduni kubro” (sayangnya kok tidak meminta ilmu laduni kubro).
Kiai Abdul Hamied mengamalkan aurad (bacaan yang dijadikan perantara meminta kepada Allah) dengan cara menghatamkan al-Qur’an. Ia bahkan pernah menghatamkan al-Qur’an saklungguhan (sekali duduk), dari jam 6 pagi hingga jam 2 siang. Amalan Kiai Abdul Hamied ini menurut kesaksiannya, berdasarkan hadis Qudsi di bawah ini:
من شغله القرأنُ وذكرى عن مسأَلتي أعطيته أفضل ما أعطى السّائلين
Arti yang ditulis oleh Kiai Abdul Hamied adalah: ”Sopo-sopo kang ketungkul moco al-Quran lan iling marang ingsun (yakni moco lillahi ta’ala) mengko wong iku senajan ora keburu jaluk-jaluk butuhe opo-opo, iku pesti tak paringi opo-opo kang luwih utomo ngungkuli wong kang jaluk”. Terjemahan ini semula menggunakan Arab Pegon. Dan dalam arti Bahasa Indonesia, sebagai berikut: “Barang siapa sibuk membaca al-Quran dan ingat kepadaku (yakni membaca dengan niat lillahi ta’ala), maka orang itu walaupun belum sempat meminta apa kebutuhannya, pasti Aku beri apa-apa yang lebih utama melebihi orang yang minta”.
Dikisahkan, setelah Kiai Abdul Hamied mendengar suworo tanpo rupo itu, ia konon pernah masuk ke sebuah toko kitab Thoha Mahsun. Melihat semua isi kitab yang ada di dalam toko tersebut, ia merasa telah pernah mengaji semua kitab-kitab itu. “Rasane ati koyo wes tau ngaji” (rasanya hati seperti pernah mengaji), ungkap Gus Najib menirukan abahnya. Akhirnya, setelah Kiai Abdul Hamied mengetahui bisa membaca kitab, ia kemudian sowan (menemui) para kiai untuk memperoleh ijazah, agar dizinkan membaca kitab segala tema di depan para kiai tersebut dan bisa menyambungkan sanad keilmuannya.
Dari penjelasan di atas, tampak berbeda proses pengalaman mencari ilmu antara Kiai Abdul Hamied dengan Kiai Abdul Halim Rahman. Meski pada akhirnya Kiai Abdul Halim Rahman mengalami apa yang dalam terminologi tasawuf disebut mukasyafah (ketersingkapan) berdasarkan “pengalaman-pengalaman spiritual”, tetapi ia terlebih dahulu menempuhnya melalui jalan pendidikan formal atau disebut juga dengan ilmu husuli.
Sementara Kiai Abdul Hamied sebaliknya. Ia dalam proses mencari ilmu tidak dilakukan secara formal, belajar secara ajeg dari kiai ke kiai atau dari pesantren ke pesantren, tetapi justru diajari langsung oleh-Nya, memperoleh anugerah berupa ilmu ladunni, atau disebut juga llmu hudhuri. Baihaqi, santri pertama Kiai Abdul Hamied menyebutnya dengan ungkapan, “Pak Syekh pethuk ilmu teng tengah dalan” (Kiai Abdul Hamied ketemu/dapat ilmu di tengah jalan). Inilah yang membedakan antara Kiai Abdul Hamied dengan Kiai Abdul Halim Rahman, meski dikenal sama-sama sebagai kiai wali.
Baik Kiai Abdul Hamied maupun Kiai Abdul Halim Rahman menurut sejumlah keterangan, sama-sama pernah dibaiat masuk Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) melalui jalur langsung oleh KH. Musta’in Romly, Rejoso Jombang. “Kiai Ta’in Jombang kalau ada acara di Jember selalu menginap di rumah abah”, kenang Gus Hizbi.
Karamah kewalian Kiai Abdul Hamied, sebagai tambahan dalam bidang lain, sebagaimana dikisahkan oleh teman seusianya, para alumni santri, dan anak-anaknya. Bahwa suatu waktu, Kiai Abdul Hamied menurut sejumlah kesaksian, merasa tersinggung atas ulah anak-anak muda kampung, yang menganggap dirinya dan “anak pondokan” pada umumnya tidak akan bisa main sepakbola, karena sering mengkonsumsi intep (kerak nasi yang biasanya gosong). Kiai Abdul Hamied kemudian membentuk tim sepakbola yang diberi nama “Rantai Emas”, dan ia bertindak sebagai kipernya (penjaga gawang).
Alhasil, tim sepakbola “Rantai Emas” tidak pernah kalah. Malam sebelum pertandingan, Kiai Abdul Hamied membentengi diri dengan membaca aurad. Dan saat pertandingan, bola nyaris tidak mau mendekat ke gawang. Kiai Abdul Hamied jadi kiper yang “sakti”. Tim Rantai Emas selalu menang. Bahkan di Kecamatan Tanggul, Tim Rantai Emas tidak diperbolehkan ikut bertanding jika kipernya Kiai Abdul Hamied.
Namun demikian, kepada anak-anaknya, Kiai Abdul Hamied sepertinya tidak mewariskan ilmu laduni, seperti pengalaman-pengalamannya di usia muda, tetapi mendorong mereka untuk menuntut ilmu secara formal, baik di pesantren maupun ke sekolah umum hingga perguruan tinggi. Beberapa anaknya ada yang sampai lulus S2. Hal itu, barangkali, oleh Kiai Abdul Hamied sejak awal memang disiapkan untuk mengembangkan yayasan dan pesantren yang telah lama ia rintis sejak masa Kiai Kholiel Ghazali.
Tentang yayasan dan pesantren tersebut, bermula saat Kiai Abdul Hamied memilih “keluar” dari rumah kakaknya, yaitu Nyai Ruqayyah bersama Kiai Abdul Halim Rahman, dan bertekad ingin menghidupkan Pondok Tengah yang sebelumnya diasuh oleh Kiai Kholiel, ayahnya. Ini terjadi sekitar tahun 1965. Kiai Abdul Hamied kemudian memberi nama pesantren yang semula tidak ada namanya tersebut—hanya dikenal sebagai Pondok Tengah—dengan nama Pesantren Awwalu Ihyai Dari al Almanah (AIDA) atau dikenal juga dengan Pesantren Baniy Kholiel.
Pesantren AIDA kini semakin berkembang pesat. Selain pendidikan khas pesantren, juga memiliki sekolah umum, jenjang Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Juga ada BLKK Yapsis AIDA. Jenjang SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) sengaja tidak dibuka, untuk menghormati SDN yang lokasinya dekat atau bersebelahan dengan komplek sekolah AIDA.
Kiai Abdul Hamied menikah dengan Nyai Muzayyanah binti Sairoji dari desa Cangkring Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Solo, tahun 1963. Bersama Nyai Muzayyanah, Kiai Abdul Hamied dikaruniai 10 anak, yaitu Muhammad Haidar Rohib, Dewi Hurwanani, Huri ‘In Yumiyati (alm.), Huri Wardatun Nihayayati, Ahmad Maimun Murod, Muhammad Idrorun Ni’am (alm.), Ahmad Tajun Nusuki, Muhammad Hubbun Najib, Hizbi Muttahid Ahmad, dan Huri Lailiyatis Sa’adah. Saat berada di Banyuwangi, Kiai Abdul Hamied juga pernah menikah dengan Ummi Kultsum, dan dikaruniai anak bernama Yusri Fuadah.
Kiai Abdul Hamied meninggal tahun 2003, sementara Nyai Muzayyanah meninggal tahun 2009. Keduanya dimakamkan di komplek Pesantren AIDA, yang hingga saat ini, ramai diziarahi oleh tidak hanya para ulumni santri, tapi juga masyarakat umum dari berbagai kota.
Penulis : Ali Usman
Editor : Fauzinuddin Faiz
Humas : Wildan Miftahussurur
MasyaAllah Alhamdulillah.