Opini

Omnibus Law Harus Bernyawa Antikorupsi

Omnibus law semakin hangat diperbincangkan sejak bergulir di publik. Ada dua peraturan omnibus law yang diwacanakan, yakni Cipta Lapangan Kerja dan Pajak.

Dunia saat ini begitu cepat berubah sehingga diperlukan keputusan yang cepat pula, khususnya di bidang ekonomi. Kesempatan pertumbuhan ekonomi akan hilang tanpa ada percepatan perubahan. Sementara itu regulasi yang ada dinilai membelenggu dan tumpang tindih. Omnibus law diharapkan menjadi solusi untuk menyederhanakan regulasi yang menghambat investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, yang ramai diperbincangkan justru berbalik arah, fokus pada rumusan salah ketik dalam draf Pasal 170 ayat 1 Bab XIII RUU Omnibus Cipta Kerja. Pasal ini merumuskan kepala negara memiliki kewenangan mencabut undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP) dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja. Pengaturan ini bukan saja kontraproduktif atau bahkan bisa menimbulkan prasangka, ada batu di balik udang omnibus law.

Bagaimanapun, sesalah-salahnya pengetikan sebuah draf, merumuskan kewenangan mencabut UU melalui PP sangat keterlaluan karena melanggar dua hal: 

pertama asas contrarius actus bahwa perubahan terhadap ketentuan peraturan perundangan hanya dapat dilakukan melalui peraturan yang sama tingkatannya. Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 jo Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa hierarki PP berada di bawah UU.

Kedua, kewenangan kepala negara mengamendemen UU di luar kondisi kedaruratan sama halnya mengubah Indonesia dari negara “republik”. Pendiri bangsa memilih bentuk negara republik adalah dengan kesadaran untuk memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara dalam berbagai organ negara. Itu semua untuk menghindarkan dari penumpukan kekuasaan. Penumpukan kekuasaan memudahkan otoritarian dan koruptif.

Omnibus law merupakan konsep konsolidasi beberapa peraturan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan menjadi satu. Tujuannya adalah harmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi, perapian, dan konsistensi. Sisi positif yang diharapkan dengan omnibus law ini adalah perampingan dalam satu bentuk peraturan, tidak perlu banyak regulasi yang perlu kita buka, cukup satu. Juga kepastian hukum dan kejelasan dalam satu materi serta penyederhanaan pemangku kepentingan yang diharapkan lebih efisien dan efektif.

Konsep ini umumnya muncul di negara-negara yang menganut sistem common law seperti Amerika. Pada 1967 rancangan metode ini menjadi populer. Saat itu Menteri Hukum Amerika Serikat Pierre Trudeau mengenalkan Criminal Law Amendement Bill. Isinya mengubah undang-undang hukum pidana dan mencakup banyak isu. Selanjutnya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura ikut mengembangkannya.

Akar Sengkarut 

Omnibus law adalah proyek regulasi yang besar. Dalam sistem hukum kontinental mengosolidasi banyak peraturan ke dalam satu peraturan tentu perlu kehati-hatian ekstra, pendekatannya multistakeholdersOmnibus law sebagai upaya menata kembali sistem hukum perlu perunutan dari akar masalahnya. Akar masalah tersebut minimal dua hal.

Pertama, tuntutan kespesialan peraturan. Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, tuntutan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk kian detail mendekati kespesialan materi merupakan keniscayaan. Hukum yang umum menimbulkan abstraksi yang umum sehingga tidak dapat mendekati objek secara tepat.

Hal inilah yang mendorong setiap hal tidak bisa diatur secara umum karena tidak mampu mendekati secara tepat. Pengaturan semakin detail mendekati kespesialan akan meningkatkan derajat keadilannya. Hal itulah yang mengakibatkan perkembangan perundang-undangan semakin spesialis karena semakin teknis. Kecenderungan spesialisasi tersebut diikuti pula dengan kespesialan organ pelaksananya.

Alhasil mereka menjadi multistakeholders yang menangani tindakan pemerintahan sehingga perkembangan spesialisasi peraturan ini yang niatannya untuk semakin mendekati kespesialan objektif perlu dikoridori sistematisasinya dengan sistem hukum yang lebih makro. Karena kespesialan peraturan yang tidak tersistematisasi dalam sistem hukum yang makro akan menimbulkan rusaknya sistematisasi hukum nasional. Hukum yang sektoral yang tidak terjaga sistematisasinya cenderung menimbulkan parsialitas dan kontradiksi yang berujung pada ketidakpastian hukum.

Kedua, norma UU yang terlalu abstrak memerlukan peraturan teknis pelaksana yang tidak lagi terkontrol sistematisasinya. Ada kebutuhan fleksibilitas UU yang karenanya penyusunan norma UU diatur agak umum sehingga peraturan teknisnya dimandatkan pada peraturan teknis. Sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaan UU diatur dengan PP dan peraturan presiden (perpres), PP diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri, lalu peraturan menteri diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah provinsi. Lebih lanjut peraturan daerah provinsi diatur dalam peraturan daerah kabupaten/kota.Dengan demikian norma UU sampai pada pelaksanaan akan mengalami proses reproduksi yang panjang dan timbullah deviasi dalam rantai peraturan teknis yang semakin lebar. Dengan begitu norma tersebut atas dasar kespesialan materi memerlukan UU khusus. Pun atas dasar jenjang reproduksi norma yang panjang juga menimbulkan deviasi antara norma dan pelaksanaan yang semakin melenceng.

Keragaman peraturan dan derajat deviasi peraturan pelaksana bukan saja punya pengaturan masing-masing, tetapi kadang saling kontradiktif dan mengunci. Alhasil proses perizinan menjadi jamak dengan syarat dan ketentuan di tiap perizinan terpisah. Kadang syarat dan ketentuannya sama, tetapi hasilnya bisa berbeda-beda. Kondisi ini sesungguhnya yang dikeluhkan investor:

Ketidakjelasan syarat dan ketentuan, biaya dan waktu. Kompleksitas syarat dan prosedur yang beragam untuk suatu izin usaha inilah yang kadang memunculkan “makelar” perizinan atau bahkan “jalur tikus” perizinan yang cenderung koruptif. Korupsi hanya bisa tumbuh dalam kondisi ketidakpastian hukum. Sebaliknya jika syarat dan ketentuan serta waktu dan biaya perizinan jelas dan tegas, dipastikan korupsi akan mati dengan sendirinya.

Merampingkan peraturan dalam program omnibus law sebagai upaya merapikan peraturan perundang-undangan agar berkepastian hukum, mengefisienkan syarat dan prosedur, serta memperjelas biaya dan waktu sesungguhnya merupakan bagian dari agenda besar pencegahan korupsi. Dalam layanan pemerintahan yang berkepastian, fair, transparan, dan akuntabel, dipastikan tidak akan ada celah korupsi. Sebaliknya dalam ketidakpastian layanan publik cenderung tumbuh subur perilaku korupsi.

Urgensi Antikorupsi

World Economic Forum menempatkan korupsi dengan skor tertinggi sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia dari 16 faktor lainnya. Karena itu omnibus law harus dirumuskan dengan semangat antikorupsi. Semangat antikorupsi dalam omnibus law dapat diimplementasi antara lain, pertama, pelibatan dan transparansi. Pastikan semua stakelholders tidak ada yang tertinggal. Bersama memang ribet, tetapi ini untuk kepentingan bersama sehingga kebersamaan adalah keharusan.

Kedua, konsolidasi prosedur dan syarat perizinan yang cenderung berlapis, bahkan berulang. Ketiga, konsolidasi aparat yang berwenang dengan menghilangkan tumpang tindih dan kekaburan dengan tetap menjaga adanya pengawasan (check and balance dan bukan pemusatan kewenangan yang uncontrol). Keempat, kepastian prosedur, biaya, dan waktu. Itulah omnibus law dengan perspektif antikorupsi. Tanpa perspektif antikorupsi regulasi ini tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.

Omnibus law ramah investasi adalah yang berkepastian hukum. Hukum yang berkepastian niscaya membuat korupsi sirna dan masyarakat serta investor pun tenang. Itulah suasana hukum yang diharapkan masyarakat, pekerja, dan investor. Pekerja tidak meminta lebih, pun pengusaha tidak butuh dimanja. Mereka hanya butuh satu kepastian hukum.

*Tulisan awal diterbitkan secara daring oleh SINDONEWS.com

Oleh : Dr. H. Nurul Ghufron, Ketua Mahasiswa Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (MATAN-NU) Jember & Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *