EnsiklopediaSosok

KH. Umar: Ulama Paket Komplit Asal Jember

Pondok Pesantren Raudltul Ulum Sumberwringin merupakan salah satu pondok pesantren yang tersohor di daerah Jember Utara. Pondok Pesantren ini telah kokoh berdiri bahkan sebelum Revolusi Kemerdekaan tahun 1945. Namun, mungkin masih  jarang didengar, di balik megahnya pesantren ini, berkiprah seorang kiai yang selain berkecimpung dalam keilmuan pendidikan santri, namun juga turut andil dalam berpolitik membesarkan kemerdekaan Indonesia yaitu Kiai Umar; Kiai paket komplet yang dimiliki masyarakat Jember.

Bagi masyarakat Jember, terlebih di Kecamatan Sukowono, nama beliau mungkin sudah tidak asing lagi. Beliau dikenal sebagai sesepuh Nahdatul Ulama di Jawa Timur, khususnya daerah Jember dan Tapal Kuda.

Kiai Umar lahir pada tahun 1904 M, di Desa Suko, Kecamatan Jelbuk, Jember. Beliau merupakan putra sulung 4 bersaudara dari pasangan Kiai Ahmad Ikram dan Nyai Aminah. Kiai Umar bernama asli Abdul Mushowwir. Dalam hal mengaji, Kiai Umar langsung dididik oleh Ayahanda beliau.

Di usia remaja Kiai Umar dimondokkan ke Pondok Pesantren Banyuanyar, di Kota Pamekasan Madura. Di sana beliau belajar di bawah asuhan KH. Abdul Hamid. Di Pesantren beliau dikenal sebagai santri yang tawadhu’ dan setia mengabdi kepada gurunya. Bahkan setiap hari beliau istikamah menimbakan air untuk memenuhi bak mandi yang akan digunakan oleh sang guru.

Di antara teman seperjuangan beliau yang terkenal adalah KHR. As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salfiyah Syafii’yah Situbondo), KH. Zaini Mun’im (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton) dan KH. Junaidi Asmuni (Pondok Pesantren Bustanul Makmur Banyuwangi).

Selepas beberapa lama nyantri di Madura, Kiai Umar pulang kembali ke kota kelahiran; Jember. Akan tetapi beliau masih memiliki himmah yang teramat tinggi dalam dahaga keilmuan, sehingga Ia kembali melanjutkan “masa santri”nya di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Sukowono yang diasuh oleh paman beliau sendiri yaitu KH. Muhammad Syukri. Namun tak beberapa lama kemudian, Kiai Umar beranjak untuk pindah ke Pondok Pesantren Al-Wafa, Temporejo, Jember. Di sana beliau belajar kepada KH. Abdul Azis. Setelahnya beliau menimba ilmu kepada KH. Khozin di Pondok Pesantren Ya’kub Hamdani Sidoarjo.

Setelah cukup waktu, Kiai Umar diminta untuk menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum atas permintaan langsung paman beliau, terlebih KH. Syukri sering sakit. Padahal beliau masih terhitung bulan berada di Pondok Pesantren Ya’qub Hamdani.

Tidak lama, KH. Muhammad Syukri menikahkan putri satu-satunya beliau; Ny. Shofiyah dengan Kiai Umar, akan tetapi tidak lama setelah melangsungkan pernikahan KH. Muhmmad Syukri tutup usia. Setelah itulah Kiai Umar dibaiat sebagai pengasuh, menggantkan mertua beliau. Kemudian 7 bulan setelahnya, beliau berangkat haji yang pertama kalinya. Beliau berada 7 bulan di Tanah Suci, setelah kembali beliau menyampaikan nama baru yaitu Muhammad Umar, sehingga nama inilah yang masyhur hingga saat ini.

Selain dikenal sebagai ulama yang mendedikasikan hidupnya dalam membimbing santri dalam keilmuan, beliau juga terkenal sebagai ulama yang menentang keras adanya penjajahan di Bumi Nusantara. Diceritakan, di siang hari beliau bersama santri ngaji sorokan, saat malam menjelang, beliau bergerliya menyerang penjajah. Bahkan pondok pesantrenya pernah disebut sebagai basis para pejuang di bawah komando KHR. As’ad Syamsul Arifin dalam Napak Tilas memberantas para penjajah.

Di saat Jepang menjajah, Kiai Umar, menjadi salah satu sasaran utama tentara kekaisaran Jepang, pasalnya, dengan tegas beliau menolak untuk melakukan Saikere atau membunggkukan badan ke arah kepulauan Jepang untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.

Kiprah beliau tidak hanya dalam masa penjajahan, bahkan selepas Revolusi Kemerdekaan tahun 1945, beliau aktif dan bergabung sebagai dengan partai Nahdatul Ulaman. Di masa inilah, Kiai Umar kemudian dilantik sebagai Rais Awwal oleh KH. Ahmad Shiddiq pada tahun 1977. Sehingga Kiai Umar aktif menyuarakan NU kepada dakwah masyarkat dengan nada yang santun dan tidak pernah sekalipun menyinggung partai yang lain. Begitulah Kiai Umar aktif dan kiat dalam berpolitik memanjukan kebanggasaan.

Meskipun curah kepolitikan kuat dalam diri Kiai Umar, himmah beliau dalam mendidik santri dan mengelola pesantren tidak luntur sedikitpun. Menurutnya, mendidik santri adalah tugas utama dan penting sebagai cikal bakal kemajuan peradaban.

Di tahun 1982, Kiai Umar menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kaliya. Namun, setalah haji yang kedua inilah beliau mulai sering sakit, sehingga pada penghung akhir tahun 1982, beliau menutup usinya.

Bersama dengan Ny. Shofiyah, beliau dikarunia beberapa orang penerusl Ny. Hj. Masturoh Umar, KH. Khotib Umar, KH. Muzammil Umar, KH. Misbah dan KH. Lutfi Umar. Setelah wafatnya Kiai Umar, estafek pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum dipangku oleh putra beliau yang kedua; KH. Khotib Umar.

Tercermin dalam perjalanan hidup Kiai Umar (Mushowwir) akan jiwa cinta keilmuan sebagaimana para ulama besar Nusantara, namun beliau juga seorang pejuang yang tangguh dan tegak di depan dalam menolak hirarki penjajahan asing, serta terdepan dalam berpolitik memajukan bangsa Indonesia, khususnya dalam sirah beliau dalam Nahdatul Ulama.

Editor: Wildan Miftahussurur

humas: Muhammad Fauzinuddin Faiz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *