ArtikelSosok

Saudi “Pra-Wahabi”

Tadi malam, saya ngobrol panjang lebar dengan seorang kiai asal Palu, Sulawesi Tengah. Namanya Kiai Abdul Wahab Abdul Ghafur, Lc. Dia adalah salah satu Rois Syuriyah PBNU dalam kepengurusan sekarang (2022-2027). Dia hadir dalam acara Munas Alim-Ulama Konferensi Besar NU yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede, 18-20 Oktober ini. Konbes akan dibuka pagi ini, Minggu (18/9/2023) oleh Pres. Jokowi di Pesantren Al-Hamid Cilangkap, Jakarta Timur.

Kiai Wahab adalah lulusan Pesantren Al-Khairat Palu. Bagi yang belum tahu, Al-Khairat adalah pesantren dan sekaligus gerakan Islam yang didirikan pada 1930 (empat tahun setelah berdirinya NU) oleh Habib Idrus bin Salim al-Jufri (dikenal di Palu sebagai Guru Tua). Di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya, Al-Khairat adalah pesantren dengan jaringan terbesar dan pengaruh yang sangat penting. Secara akidah dan praktek keagamaan, Al-Khairat sama persis dengan Nahdlatul Ulama. Karena itu, Al-Khairat bisa kita sebut sebagai NU-nya Sulawesi Tengah. Ketua Dewan Syura PKS saat ini, yaitu Habib Salim Al-Jufri, adalah cucu dari Guru Tua.

Kembali kepada Kiai Wahab. Setelah selesai dari Al-Khairat, Kiai Wahab meneruskan kuliah di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah. Dia kuliah di sana antara 1974-1978. Ia seangkatan dengan sejumlah mahasiswa lain asal Indonesia yang sekarang sudah menjadi tokoh di tanah air. Misalnya: Dr. Salim Al-Jufri yang sudah saya singgung di atas, Dr. Hidayat Nurwahid, Dr. Yunahar Ilyas, Dr. Said Aqil Al-Munawwar, dan Kiai Ali Musthafa Ya’qub, MA.

Tahun-tahun ketika Kiai Wahab kuliah di Madinah adalah periode ketika ideologi Wahabi belum terlalu kuat cengkeramannya di Saudi. Karena itu, saya sengaja mengorek banyak informasi dari Kiai Wahab tentang bagaimana kehidupan keagamaan di Madinah pada tahun-tahun itu.

Pertama-tama, saat Kiai Wahab kuliah di Madinah pada dekade 70an itu, kuburan Baqi’ yang menjadi pemakaman umum di Madinah belum dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Ini adalah pemakaman kuno yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Penghancuran kuburan Baqi’ baru terjadi pada tahun 80an. Yang menarik, menurut informasi Kiai Wahab, pada tahun-tahun itu masih ada kebebasan untuk ziarah ke makam Baqi’. Saat itu, belum ada ‘askar atau polisi yang mengawasi para peziarah seperti yang kita lihat saat ini.

Informasi lain yang menarik adalah soal suasana masjid Nabawi pada tahun 70an. Kiai Wahab bercerita bahwa pada saat kuliah di sana, dia masih melihat para mursyid tarekat menikmati kebebasan untuk mengajarkan tarekat di masjid Nabawi. Bahkan disediakan tempat khusus (semacan zawiyah) bagi mereka di dalam masjid.

Ini sekaligus mengingatkan saya tentang keadaan serupa di Masjidil Haram di Mekah. Pada dekade 70an, ulama Sunni yang mengikuti tradisi lama di Mekah masih memiliki kebebasan untuk mengajar di Masjidil Haram. Misalnya, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki yang saat itu masih sangat muda, diberikan kebebasan mengajar untuk mengajar di sana pada tahun 70-an. Memasuki tahun 80-an kesempatan itu tidak lagi dimiliki oleh Sayyid Muhammad. Dia “dilarang” mengajar di Masjidil Haram.

Pada tahun 70an, Kiai Wahab juga masih melihat sejumlah masjid kecil yang ada di sekitar masjid Nabawi dalam bentuknya yg lama. Misalnya Masjid Fatimah, Masjid Ghamamah, dan Masjid Abu Bakar. Masjid-masjid ini sekarang sudah berubah karena perluasan masjid Nabawi. Pembangunan besar-beearab di Saudi dalam tiga dekade terakhir memang telah menghapus sejumlah situs sejarah di Saudi. Sebagian situa itu dihancurkan sama sekali karena alasan ideologis.

Bagi saya, informasi Kiai Wahab ini sangat menarik. Informasi sederhana ini menunjukkan bahwa pengaruh doktrin dan ideologi Wahabi di Saudi tidaklah berlangsung secara sekaligus, melainkan bertahap dan gradual. Cengkeraman Wahabisme mulai menguat sejak dekade 80an dan mungkin mencapai puncaknya pada 90an. Saat ini, di bawah kepemimpinan putera mahkota MBS (Muhammad bin Salman), cengkeraman Wahabisme tampaknya mulai mengendur. Bahkan, Habib Luthfi bin Ahmad Bendungan Hilir, dalam percakapan terpisah di Asrama Haji semalam, mengatakan: suatu saat, Saudi akan kembali ke situasi pra-menguatnya cengkeraman Wahabisme di sana.

Saya, terus terang, sangat iri kepada Kiai Wahab yang masih sempat melihat pemakaman Baqi’ sebelum mengalami penghancuran total seperti sekarang ini. Kiai Wahab berada di Madinah pada era yang saya sebut “pra-Wahabi” dalam pengertian era saat Wahabisme belum terlalu kuat pengaruhnya pada tingkat kehidupan sehari-hari di negeri Saudi.

Saat ini, Kiai Wahab tinggal di Menado dan mengasuh pesantren dan masdrasah cabang Al-Khairat di sana.

Oleh : KH. Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *