Mbah Muchit Muzadi: Kiai Ensiklopedis & Penggagas Kembali ke-Khittoh NU Kebanggaan Jember
Alim, aktivis, sekaligus ensiklopedis mungkin tiga kata tersebut sedikit mencerminkan bagaimana cemerlangnya sosok hebat kebanggaan Jember yaitu KH. Abdul Muchit Muzadi. Bagi warga nahyidin , nama Mbah Muchit adalah sosok yang memiliki andil besar dalam kuatnya Nahdatul Ulama di kota Suwar Suwir ini, karena peranan beliau dalam mengajarkan titah NU dan pengawal dalam Khitah NU tahun 1984.
Sosok ini lahir di daerah Bangilan Kota Tuban Jawa Timur. Merupakan putra tertua tujuh bersaudara dari pasangan Muzadi dan Rumyati, seorang petani tembakau di kampungnya. KH. Muchit Muzadi, lahir dengan dengan nama Abdul Muchit, namun seiring berlanya waktu, saat dewasa beliau menisbatkan nama Ayahandnya “Muzadi” sehingga terkenalah beliau dengan nama Muchit Muzadi hingga saat ini.
Masa pendidikan beliau dimulai dari pangkuan ibundanya, kepada Ibunya hingga lancar membaca Alquran sekaligus pengetahuan dasar dalam agama. Beranjak muda, Mbah Muchit, nama yang akrab di telinga warga NU mulai belajar kepada “Kiai Kampung” di desa Balingan yaitu Kiai Ridwan, di bawah asuhan Kiai Ridwan inilah beliau mulai belajar menelaah dan mengaji kitab-kitab kecil.
Memasuki usia 10 tahun, Mbah Muchit mulai menyantri. Pondok Pesantren Kulon Banon, Kajen Kabupaten Pati adalah pondok pertama yang Mbah Muchit singgahi. Dalam waktu inilah Mbah Muchit mendalami sirah keilmuan, khususnya kepada KH. Nawawi, selaku pengasuh Ponpes Kulon. Selanjutnya, Madrasah Matholiul Falah asuhan KH. Mahfudh Salam menjadi mata air keilmuan bagi Mbah Muchit.
Tak berselang beberapa lama, Mbah Muchit memutuskan untuk ‘pindah pondok’ ke Pondok Pesantren Tebuireng. Khususnya beliau teringin untuk belajar langsung kepada KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri Nahdatul Ulama. Di pesantren inilah beliau mulai bersahabat dengan santri dari beberapa daerah, di antaranya adalah KH. Ahmad Shiddiq yang kelak menjadi karip dalam perjuangan NU di kota Suwar Suwir Jember.
Mbah Muchit dan NU
Tahun 1946 adalah awal mula titik Mbah Muchit berkarir. Selelah menyelesaikan pendidikanya di Tebuireng, Mbah Muchit kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan Madrasah Salafiyah. Selain berperan sebagai tenaga pengajar, beliau juga turut andil dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI, melawan penjajah, sehingga dikenalah beliau sebagai salah satu anggota Lasykar.
Selanjutnya Mbah Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam pada tahun 1952 dan pada tahun 1954 beliau juga mendirikan Madrasah Muallilmin Nahdatul Ulama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1961. Pada tahun 1963 beliau ditugaskan untuk berkunjung ke IAIN Malang serta SMP NU.
Awal mula Mbah Muchit di Jember adalah saat beliau ditugaskan untuk menjadi pembantu dekan di IAIN Sunan Ampel Jember. Penugasan inilah yang membuatnya kembali berjumpa dengan KH. Ahmad Shiddiq; teman satu atap di Tebuireng.
Ketika sahabatnya menjadi Rais Syuriah di PBNU, Mbah Muchit membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, hubungan Islam dan Negara, dan mencari pembaruan pemikirian Islam, serta beberapa yang lainnya. Duet hebat KH. Ahmad Shiddiq dan Gus Dur di PBNU tidak terlepas dari campur tangan dan pemikirian kreatif Mbah Muchit Muzadi selaku “Penasehat” dari KH. Ahmad Shiddiq.
Selain di atas, peranan Mbah Muchit Muzadi di Nahdatul Ulama tidak bisa dihitung jari. Masa muda beliau pernah menjabat menjadi Sekretaris GP Anshor Yogyakarta (1961-1962), Sekretaris GP Ansor malang, Sekretaris PCNU Jember (1968-1975), Wakil Ketua PCNU Jember (1976-1980), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim (1992-1995), Rais Syuriyah PBNU (1994-2004), dan Mustasyar PBNU sejak Muktamar NU ke-31 Boyolali (2004). Namun tidak hanya itu, masih banyak peranan beliau “tanpa pangkat” kepada masyarakat NU yang tidak terhitung.
Salah satu kisah hebat yang dikenal hingga saat ini, Mbah Muchit dikenal sebagai pengawal Khitah NU setelah penetapnya pada tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Bersama dengan KH. Ahmad Shiddiq, Rais Aam Syuriah PBNU, Mbah Muchit merupakan sosok pemikir yang mewarnai pemikiran buku rumusan Khitah NU tersebut, yang mendasari; penerimaan Asas Pancasila sebagai asas tunggal Negara, mengembalikan Nahdatul Ulama ke dalam kancah perjuangan sebagai mana asal kelahirannya, serta meninggalkan politik praktis. Beliau meruskan buku khitah tersebut selama 2 bulan penuh, yang pada saat itu Mbah Muchit menjabat sebagai sekretaris sekaligus penasihat pribadi KH. Ahamd Shiddiq.
Dikenal Tawadhu’ dan Gemar Literasi
Walaupun Mbah Muchit masyhur sebagai pembesar di kalanagan warga Nahdliyyin, namun beliau juga dikenal sebagai sosok figur yang cerdas dan tawaddu, tegas dan penuh kesederhanaan,. Beliau merupakan sesepuh NU yang pemikiranya banyak tertuang dalam perubahan dan kemajuan NU, khusunya dalam hubungan NU dan kenegaraan.
Selain sikat di atas, beliau juga sering kedapatan menyendiri bersama dengan berbagai literasi. Bahkan di kalangan non NU, seperti Muhammadiyah, Mbah Muchit disegani dan tidak sedikitpun dari mereka yang berani adu argumen, karena kecerdasan dan wawasan luas yang dimiliki Mbah Muchit.
Mbah Muchit juga dikenal sebagai sosok yang gemar menulis dan produktif dalam menyembarkan hasil tulisanya, baik dalam bentuk artikel atau bentuk buku. Di antara karya-karya beliau adalag Fikih Perempuan Praktis, Mengenal Nahdlatul Ulama, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran dan Buku Apa dan Bagaimana NU yang diterbitkan oleh PCNU Jember hingga saat ini.
Kerap kali di saat beliau mengisi pengajian “Ke-Aswajaan”, buku yang Mbah Muchit tulis dan cetak dengan menggunakan biaya pribadi dibagikan secara ‘percuma’ kepada jamaah majelisnya. Bahkan pada tahun 2006 beliau membagikan buku “Mengenal Nahdlatul Ulama” kepada pengurus MWC dan PC se-Jawa Timur. Sosok yang mencerminkan jiwa penuh keilmuan dan melitasikan hasil pemikiranya kepada warga NU dengan ikhlas.
Mbah Muchit Muzadi menikah dengan Ny. Siti Farida, dari pernikahan ini Mbah Muchit dikarunia 9 anak, namun 2 di antaranya sudah meninggal dunia.
Mbah Muchit menutup usia saat berumur 93 tahun, tepatnya 6 September 2015 tepatnya pada hari Minggu sekitar jam 17.00 WIB sore di Rumah Sakit Persada, Kota Malang. Disalatkan di Pondok Pesantren Al Hikam Malang, yang kemudian jenazahnya dikebumikan di Tegalboto Jember.
Mbah Muchit merupakan sosok Kiai yang penuh tauladan yang terukir dalam sirah kehidupan, beliau seorang literaris yang gemar membaca sekaligus jejak langkah beliau banyak termaktub dalam banyak buku yang Beliau terbitkan, uswah dalam menjati dirikan NU dalam masyarakat dan negara, karena selain banyak beriprah dalam berbagai jabatan beliau juga merakyat mengajarkan sendi ke-Aswajaan kepada masyarakat, terlebih di kota Suwa Suwir Jember.
Editor: Wildan Miftahussurur