Nahdlatut Tujjar: Cermin Madzhab Ekonomi Islam Nusantara (2)
Madzhab Pemikiran Ekonomi Islam Nusantara
Dalam ekonomi Islam terdapat tiga madzhab pemikiran, yaitu: Madzhab Iqtishaduna, Madzhab Mainstream dan Madzhab Alternatif Kritis. Namun, di luar dari tiga itu, Nusantara sudah memiliki paradigama sendiri dalam pemikirannya tentang Ekonomi Islam. Pemikiran ekonomi Islam di Nusantara sebagai acuan pemikiran ekonomi yang lebih teratur dan memiliki ciri khas ke-Nusantara-an. Oleh karenanya Nahdatut Tujjar sebagai organisasi ekonomi yang didirikan oleh para ulama’ nusantara, kiranya perlu menjadi cerminan kemajuan ekonomi di Nusantara. Sebab dalam catatan sejarah, para ulama’ yang menjadi konseptor berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sudah barang tentu para ulama’ memahami kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di Nusantara.
Dibandingkan tiga madzhab pemikiran ekonomi Islam tersebut, Nahdhatut Tujjar memiliki konsep pemikiran yang lebih komperhensip dan praktis, tidak terpaku pada tataran konseptual semata. Jika Iqtishaduna memandang bahwa harus ada konsep baru dalam ekonomi Islam dengan membedakan antara istilah ekonomi dan islam karena memiliki kontardiksi makna, maka Nahdhatut Tujjar berusaha menggerakkan kalangan pribumi yang didalamnya kalangan professional dan ulama untuk besatu membangun peradaban ekonomi yang mapan, sebagai wujud kekuatan organisasi penggerak ekonomi di era kebangkitan negara, tidak lagi mempersoalkan makna yang terkandung dalam pengistilahan profesionalisme dan ulama’.
Madzhab mainstream yang mengadopsi konsep-konsep ekonomi konvensional sebagai metode kajiannya cenderung membaurkan antara konsep islam dan konsep konvensional, bahkan seolah-olah tidak membedakan, inilah sumber kritik dari madzhab alternative kritis yang mengakatakan bahwa madzhab mainstream adalah wujud lain dari neo klasik. Berdeda dengan Nahdhatut Tujjar, organisasi ini menyertakan ulama’ tidak hanya sebagai legitimasi hukum keislaman semata, tapi berperan penting dalam pengawasan, penanggulangan kemaksiatan, dan pengembangan Pendidikan masyarakat Nusantara yang pada akhirnya akan memperkuat profesionalisme tersebut. Gerakan ini menyatukan paradigma keilmuan dan agama dalam satu wadah yang bersifat praktis dan tidak sebatas wacana untuk kemajuan ekonomi negara, terlebih kondisi monopolistic oleh penjajah belanda pada saat itu.
Budaya ekonomi yang telah berkembang di Nusantara sejak sebelum penjajah datang, merupakan sararan dari konsep berdirinya Nahdatut Tujjar. Menggerakkan lembaga ekonomi dari perkotaan adalah konsep jitu untuk mengimbangi badan ekonomi milik penjajah, sebab perkotaan menjadi pusat peradaban manusia. Nahdhatut Tujjar tidak menghapus budaya ekonomi yang telah mengakar di Nusantara, justru lebih mengembangkan dan melindungi budaya ekonomi tersebut, seperti melindungi hak-hak ekonomi kalangan masyarakat bawah. Otonomi organisasi akan meningkatkan kinerja organsasi tersebut tanpa harus dipengaruhi oleh kepentingan diluar peningkatan ekonomi masyarakat Nusantara.
Berdasarkan konsep Nahdhatut Tujjar tersebut, maka sangat pantas dijadikan cermin untuk manhaj al-Fikr ekonomi Islam saat ini. Manhaj ini akan menjadi pola pikir dan gerakan baru dalam peningkatam dan kesejahteraan ekonomi Nusantara. Konsep tersebut telah memenuhi segala metode kemajuan ekonomi baik secara pandangan kapitalis ataupun sosialis, yaitu melalui pengembangan budaya ekonomi yang sudah ada. Jika “tafsir” yang menjadi andalan Madzhab Alternatif Kritis untuk membedai kedua madzhab pemikiran yang lain, maka Nahdhatut Tujjar manfsirkan memahami budaya ekonomi di Nusantara untuk diberdayakan secara otonom dan berkesinambungan demi kemajuan Ekonomi masyarakat.
Nahdhatul Ulama’ sebagai organisasi penerus ide-ide Nahdhatut Tujjar telah mendirikan beberapa lembaga keuangan yang berbasis syari’ah (baca: LKS) dan mulai tersebar diberbagai kota. LKS tersebut bernama Baitul Mal wa Tamwil Nahdhatul Ulama’ (BMT NU). Lembaga ini menjadi pelaksana ide perjuangan Nahdhatut Tujjar yang berasimilasi menjadi organisasi Nahdhatul Ulama’, sekalipun secara National View, booming BMT NU masih didahului oleh BMT-UGT Sidogiri dan BMT Basmalah Sidogiri yang perkembangannya lebih mendahului NU. Sekalipun begitu, PP. Sidogiri memiliki hubungan erat secara kultural dengan NU, sebab PP. Sidogiri berlandaskan Ahlusunnah Wa al-Jama’ah sama seperti NU. Hingga saat ini BMT Sidogiri menjadi solusi ekonomi masyarakat, dari kota sampai desa.
Dengan demikian jika ditarik benang merah pemikiran dalam mengelola perekonomian warga dan mengembangkan perekonomian tersebut, sekalipun dalam sejarah, perjuangan Nahdhatut Tujjar di halangi oleh kebijakan belanda untuk memperbudak perekonomian rakyat, masyarakat Nusantara mampu mengelola perekonomian dengan baik sesuai dengan ideologi Nahdhatul Ulama’. Ideologi tersebut sudah tertanam dan tumbuh subur dikalangan masyarakat Nusantara dan , itu sebabnya sekalipun tidak ada embel-embel Nahdhatul Ulama’ dalam nama lembaganya, tetapi secara ideologis yang mempengaruhi pola pemikiran, adalah Manhaj al-Fikr ala Nahdhatul Ulama’.
Nahdatut Tujjar; Cetak Biru Desain Ekonomi Nusantara
Perjalanan ekonomi di Nusantara, khususnya ekonomi Islam tidak terlepas dari buah pemikiran ekonom muslim yang memikirkan kondisi perekonomian masyarakat, terlebih ketika Nusantara mengalami masa kolonialisme dari bangsa belanda. Ekonomi Indonesia sangat terpuruk dan lebih mendekati perbudakan oleh bangsa lain, dengan artian bangsa penjajah menikmati hasil jerih payah masyarakat tanpa imbalan yang setimpal dengan yang dia lakukan, bahkan tidak menerima imbalan apapun dari pekerjaannya.
Berdirinya Nahdhatut Tujjar sebagai jawaban atas ketimpangan ekonomi ditengah-tengah masyarakat dan bertujuan mengangkat tingkat perekonomian masyarakat pribumi melalui prinsip syaria’ah. Penggunaan prinsip syari’ah digunakan oleh para ulama’ yang mendirikan Nahdhatut Tujjar juga bertujuan dakwah keislaman, menghapus kemaksiatan dan mengembangkan pendidikan masyarakat agar menjadi manusia yang terdidik dan professional, terhindar dari kebodohan. Oleh karenanya melalui tujuan mulia ini, Nahdhatut Tujjar sangatlah pantas untuk dijadikan cermin pengembangan ekonomi yang saat ini kembali mengalami kerancuan.
Nahdahatul Ulama’ (NU) sebagai organisasi yang didirikan oleh ulama’ Nusantara hingga saat ini tetap konsisten petuah para ulama’ dalam segala aspek, baik Pendidikan, kebangsaan, politik dan Ekonomi. Sebagai organisasi yang dibentuk dari tiga organisasi sebelumnya, Nahdhatul Wathan, Nahdhatut Tujjar dan Taswirul Afkar, NU memiliki program kerja yang sama dengan tiga organisasi pendahulunya. Di wilayah Pendidikan yang dahulunya dipelopori oleh Taswirul Afkar, NU memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat, baik ditingkat formal dan non-formal, dari anak usia dini hingga pada level Perguruan Tinggi.
Level kebangsaan yang dipelopori oleh Nahdhatul Wathan, NU sebagai organisasi yang membentengi NKRI dari perpecahan. Jargon “Hubbul Wathan min al-Iman” menjadi pengikat dikalangan Nahdiyin untuk mencintai bangsa dan negara. Bahkan dalam catatan sejarah, NU memiliki peran utama dalam perebutan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Begitu juga pada aspek perekonomian, lahirnya Nahdhatut Tujjar adalah cikal bakal pergerakan dan refolusi pemikiran ekonomi di Nusantara. Kebangkitan Ekonomi yang dimotori oleh ulama’ dilatari oleh kondisi perekonomian bangsa yang semakin tertekan dibawah dominasi aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Penjajah denga tujuan memperbudak bangsa. Oleh karenanya Nahdhatut Tujjar sangat layak untuk dijadikan simbol kebangkitan ekonomi, pun juga sangat pantas untuk dijadikan cetak biru kebangkitan ekonomi di Nusantara.
Oleh : Ahmad Afif, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Pengelola Jurnal IJIEF Pascasarjana IAIN Jember.