Hutang dan Perubahan Peradaban
Hutang adalah satu kata yang manis bagi sebagian orang. Namun ada sebagian lain yang memahami dan merasakannya sebagai sebuah pemicu penderitaan dan penyesalan berkepanjangan. Tidak jelas kapan istilah dan tindakan berhutang dikenal dalam peradaban manusia. Filfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1941) memberikan gagasan tentang elite yang membagi masyarakat menjadi dua yaitu kelompok orang yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
Hutang sering dijadikan oleh kelompok elite atau yang berkuasa untuk menguasai dan mengeksplotasi kelompok kelas menengah ke bawah yang kurang beruntung. Baik dalam konteks Negara maju kepada negara berkembang atau miskin, maupun dalam konteks mikro antara kelompok kaya terhadap rumah tangga miskin.
Kebutuhan manusia yang semakin beragam dan terstruktur menginspirasi beberapa pihak untuk melembagakan kegiatan berhutang sehingga terciptalah perbankan, leasing, asuransi, BMT dan berbagai bentuk lembaga keuangan lainnya.
HutangZaman Industrial 4.0
Manusia modern hampir tidak pernah lepas dari beban Hutang. Ada kalanya manusia harus ber-hutang, meskipun sekali dalam hidupnya, apalagi di era 4.0 saat ini semua produsen memaksa konsumen atau pembeli untuk berhutang. Mulai kebutuhan akan rumah, kendaraan, barang-barang elektronik sampai dengan kebutuhan makan harian, semua bisa didapatkan dengan cara hutang. Pepatah mengatakan “Dunia itu adalah Hutang atau piutang”, jika bukan berbentuk harta dan uang, hutang juga bisa berbentuk hubungan muamalah, bantuan, pemberian dan pengorbanan.
Kehadiran Financial Technology (Fintech) semakin mengakselerasi nilai hutang di tengah tengah masyarakat kita. Dulu lembaga keuangan hanya menyasar pebisnis yang telah memiliki kemapanan ekonomi (terkait Repayment Capacity atau kemampuan membayarkembali) dan kecukupan usia (minimal 21 tahun atau sudahmenikah). Fintech mengakomodir usia –usia produktif walaupun belum memiliki kemampuan ekonomi (berpenghasilan), misalkan mahasiswa. Kondisi ini semakin memicu pembelian compulsif yang cenderung hedonic di berbagai kalangan termasuk kelompok millennial.
Hutang Memperbaiki Peradaban (?)
Sebagian ahli ekonomi memiliki pendapat bahwa hutang sebagai penggerak perekonomian. Tentunya disini dalam konteks hutang perbankan, dimana hutang bank akan “ mencetak” uang. Artinya hutang bank akan digunakan oleh UMKM untuk menggerakkan sektor ekonomi riil yang memproduksi barang dan jasa yang menciptakan kebutuhan, menyerap tenaga kerja, dan menimbulkan daya beli dari semua aktor yang terlibat di dalamnya, atau timbulnya economic circle yang positif.
Insan yang mulai memasuki usia produktif mulai membutuhkan rumah untuk berteduh, alat transportasi untuk mendukung produktifitas mereka, dan peralatan komunikasi yang diperlukan dalam mobilitas tanpa batas dan kemudahan umat manusia dalam menjalankan perannya dalam kehidupan. Semua kebutuhan tersebut tentunya bisa dipenuhi, namun apabila dilakukan dengan cara mengumpulkan sedikit demi sedikit tentunya memerlukan waktu yang panjang untuk bisa memenuhinya. Banyak orang berpendapat bahwa “hutang” adalah satu-satunya cara untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut sehingga bisa segera dimanfaatkan baik untuk kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi.
Dalam konteks pengelolaan perusahaan, ada juga pihak yang tidak membutuhkan hutang tapi tetap memilih berhutang dengan pertimbangan efisiensi. Ini sering diistilahkan sebagai capital management.
Terkait tentang siapa aktor yang menjadi subyek dalam hutang-piutang, saya membaginya menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang memiliki kelebihan harta yang tidak memerlukan hutang, bahkan malah sering memberikan hutang (sering disebut sebagai kreditur);
Kedua,kelompok yang memiliki kemampuan ekonomi namun belum bisa memenuhi kebutuhannya sekaligus sehingga masih memerlukan hutang dan memiliki kemampuan bayar;
ketiga, kelompok yang memiliki kesulitan ekonomi sehingga “terjebak” keharusan berhutang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasanya (basic needs).
Hutang dan Kesehatan Mental
Terkait perilaku berhutang, dalam beberapa riset yang saya lakukan. Ada orang yang memiliki kebanggan denganmemiliki banyak hutang bank karena merasa dipercaya oleh bank. Di sisi lain ada pula orang yang menyampaikan bahwa walaupun tidak terlalu membutuhkan, tapi dia wajib berhutang kepada lembaga keuangan dengan alasan bisa semangat dalam mencari nafkah.
Grant Thorntondari UK menyimpulkan tiga perasaan negatif ketika seseorang berhutang. Pertama, rasa malu (shame), secara empiric memang ketika seseorang berhutang, akan merasa malu menyampaikan kepada rekannya atau pihak lain, berapa besar hutang yang dimiliki. Seseorang yang akan berniat mengajukan pinjaman kepada lembaga keuangan merasa malu ketika bertemu di kantor lembaga tersebut dengan rekan, kenalan, murid, guru atau siapapun yang dikenalnya. Kedua, perasaan merasa bersalah (guilt) dimana orang yang berhutang sering merasa bersalah karena telah menjadikan hutang sebagai solusi (terkait pandangan riba). Ketiga, perasaan kecewa dan menyesal (regret), dimana seseorang merasa senang atau plong ketika menerima pencairan pinjaman, namun dalam periode berikutnya merasa menyesal karena dengan mengangsur hutang, penghasilannya yang seharusnya untuk mencukupi kehidupannya, mulai berkurang.
Temuan utama dalam riset saya bahwa hutang ternyata membentuk perilaku (habit) hutang berikutnya. Seseorang yang berani berhutang, katakanlah sepuluh juta rupiah (Rp 10 juta), setelah pelunasan akan menjadi pijakan dan mendorong keberanian untuk berhutang lebih besarlagi.
Pertanyaan kemudian, bagaimana keputusan Anda tentang berhutang?Kebijakan, Rasionalitas dan Ketelitian adalahkuncinya.
Oleh : Nur Hidayat, Kandidat Doktor Ekonomi UNAIR, Editor Pelaksana Jurnal JIEP FEBI IAIN Jember, dan Pengurus Cabang PERGUNU Bondowoso.