Zakat Fitrah dengan Uang
Teringat dahulu kala waktu masih mondok, masih usia SMA, di suatu Ramadhan habis tarawih ada seorang tetangga yang bertanya boleh tidaknya zakat fitrah memakai uang? Saya jawab tidak boleh, zakat fitrah harus memakai beras. Ini sesuai aturan yang disepakati dalam mazhab Syafi’i yang saya pelajari.
Beberapa hari kemudian, tetangga itu bertanya lagi. Dia dengar ada seorang kawan sekaligus tetangga saya juga yang juga sedang nyantri di pondok lain menerangkan berbeda. Katanya, yang tak memperbolehkan zakat memakai uang itu kurang membaca kitab sebab di kitab fikih ada ulama yang memperbolehkan zakat memakai uang. Malah katanya itu lebih baik sebab uang lebih dibutuhkan masyarakat daripada beras karena bisa dipakai untuk segala macam kebutuhan. Dis sebut nama kitabnya di hadapan orang kampung yang awam itu untuk membuktikan bahwa ucapannya berdasar.
Wah wah wah…. jiwa muda saya terusik juga mendengar pernyatan meninggi itu. Hahaha… Saya bilang pada tetangga yang bertanya itu bahwa memang ada yang memperbolehkan zakat fitrah dengan uang, tapi itu mazhab lain, bukan mazhab kita, Pak. Ini poin pertama.
Kedua, pendapat yang memperbolehkan itu adalah pendapat lemah menurut kebanyakan ulama karena seumur hidup Nabi Muhammad tidak pernah berzakat memakai uang dan tak pernah menyuruh berzakat dengan uang padahal di masa itu sudah ada uang. Apa Nabi Muhammad tidak tahu kalau uang lebih multi fungsi? Apa Nabi Muhammad tidak tahu bahwa sebagian orang lebih memerlukan uang untuk berhari raya? Nabi pasti tahu sebab beliau tidak bodoh. Hanya saja ketika beliau sengaja tak memakai uang, itu artinya yang disasar oleh ibadah zakat ini memang bukan kebutuhan secara umum tetapi kebutuhan perut saja. Tujuannya agar semua bisa makan, agar tak perlu lagi ada yang pusing hari raya besok makan apa. Bukan agar semua bisa ganti baju, ngecat rumah, bayar hutang dan lain-lain sesuai kebutuhan penerimanya.
Tetangga saya itu manggut-manggut mengiyakan. Tapi dia bertanya, bukankah makan tak hanya butuh beras, Ra? Butuh lauk-pauk dan minyak juga, katanya. Saya bilang, nah… kalau memang tak ada uang untuk itu, kan berasnya bisa dijual, Pak? Yang jelas kebutuhan pokoknya yang disediakan dulu. Kalau pun oleh yang menerima kemudian mau dialihkah untuk kebutuhan lain, ya terserah dia. Yang penting kita selaku muzakki telah menunaikan kewajiban sesuai yang dicontohkan oleh Nabi.
Dia manggut-manggut lagi, tapi komentar lagi bahwa bagaimana pun uang lebih simpel kalau begitu, tak perlu jual-jual beras segala. Saya jawab kira-kira begini redaksinya: “Betul sih, tapi ini ranah ta’abbudi, ranah ibadah murni yang tak bisa terlalu dipikir begitu. Zakat punya aturan sendiri sebab ia adalah salah satu jenis ibadah yang punya aturan sendiri. Kalau mau bebas berkreasi, ya shadaqah saja.
Kalau tujuannya murni supaya membantu orang saja secara umum tanpa kita hiraukan unsur ta’abbudinya, maka untuk apa zakat ditentukan kadarnya, ditentukan waktunya, ditentukan siapa yang wajib mengeluarkan, ditentukan siapa yang berhak mendistribusikan, dan ditentukan siapa penerimanya? Kalau pertimbangannya murni kemaslahatan, tentu aturan itu malah tidak maslahat sebab membatasi kebaikan zakat. Tapi lantas apa bedanya antara zakat dengan shadaqah biasa kalau begitu?”
Kali ini dia manggut-manggut tanpa bertanya lagi. Hehe… Dia hanya memastikan, “Kalau begitu, yang memperbolehkan zakat pakai uang itu salah ya, Ra?” Saya jawab, “Ya, salah menurut mazhab kita biasanya.”
Karen yang bertanya sudah menerima, sekalian saya balas pernyataan kawan saya yang diceritakan di atas, bahwa santri kalau masih sedikit baca kitab biasanya memang gitu, Pak; Begitu baca pendapat berbeda yang enak, maka langsung dipakai sambil merasa tahu sendiri. Kalau sudah banyakan dikit bacanya biasanya memilih-milih mana pendapat yang kuat. Para kyai kampung sejak dulu mengajarkan zakat pakai beras itu bukan karena mereka tak tahu pendapat itu, tapi justru karena tahu bahwa itu sengaja tidak dipilih oleh para imam kita.
Hahaha…. jaim di depan tetangga biar kelihatan lebih pinter. Sekedar cerita masa lalu.
Oleh: Kiai Abdul Wahab, M.H.I, Wakil Katib Syuriah PCNU Jember & Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam IAIN Jember