Opini

PSBB, Kaum Santri, dan Peran Kiai di Bulan Ramadan

Syariat agama bagi kaum santri adalah tradisi yang mengakar dalam sanubari. Pengamalan syariat telah menjadi kewajiban mutlak yang tidak bisa diganggu gugat meski secara hukum fikih sifatnya sunnah. Di bulan Ramadan kali ini, santri dihadapkan pada peraturan pemerintah tentang larangan peribadatan di masjid. Pemberlakuan phisycal distancing dan social distancing tersebut sebagai landasan kepentingan kesehatan masyarakat secara umum. Lantas bagaimana pergulatan pemerintah dan santri dengan dua pandangan yang berbeda?

Di tengah pandemi covid-19, pemerintah telah melegitimasi maklumat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini telah mengatur aktivitas sosial masyarakat hingga membatasi peribadatan jamaah setiap agama dan mengharuskan mereka untuk tidak berkumpul dalam tempat peribadatan. PSBB ini merupakan kebijakan lanjutan pemerintah setalah sebelumnya melaksanakan karantina daerah. Bunyi keduanya tidak jauh berbeda, namun PSBB dilaksanakan lebih serius karena telah berpayung hukum.

Sayangnya di samping itu, kaum santri tidak begitu menggubris kebijakan pemerintah. Alih–alih menaati instruksi tersebut mereka malah bersikeras melaksanakan amalan bulan puasa seperti tahun-tahun lalu. Seirama dengan kebijakan sebelumnya, larangan shalat Jumat di masjid tidak mereka hiraukan. Buktinya, masjid pada hari Jumat di pinggiran kota dan desa masih tetap ramai oleh kepadatan jemaat. Meskipun pemerintah melalui Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) telah menjelaskan hukum pembolehan meninggalkan salat Jumat dalam keadaan darurat seperti pandemi dewasa ini. 

Agama dalam konteks MUI berpegangan pada bunyi firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 195 yang artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Firman ini telah digunakanoleh mayoritas ulama’ di penjuru dunia seperti Dewan Ulama’ Senior (Hai’ah Kibar Ulama’) Saudi Arabia dan al-Azhar Mesir. Dengan firman tersebut pula seharusnya para santri dapat memahami realita konteks permasalahan yang terjadi.     

Menanggapi fenomena ini, Parsons dengan orientasi sosiologi mengatakan bahwa secara normatif sebuah tindakan itu diatur sehubungan dengan alat dan tujuan (Doyle Paul Johnson : 1981). Alat diartikan sebagai komponen-komponen dasar dari satuan tindakan berupa kondisi dan norma. Jika dikaitkan dengan fenomena pelaksanaan PSBB di Indonesia, kita akan memahami bahwasanya terdapat dua elemen yang berkecamuk di masyarakat antara pelaksanaan aktivitas peribadatan dengan instruksi kebijakan pemerintah. 

Kedua elemen yang berkontradiksi tersebut memiliki komponen tindakan masing-masing. PSBB dirumuskan karena kondisi pandemi covid-19 dan hukum sebagai landasan normatifnya. Sedangkan pengamalan peribadatan kaum santri dilandasi dengan pengetahuan agama paganis (kaku) dengan kondisi yang menurut mereka tidak mengancam kesehatan dan keberlangsungan hidup. Penolakan larangan shalat berjamaah oleh masyarakat di masjid telah mengindikasikan  kuatnya keyakinan beragama kaum santri akan tradisi beragama bahkan di atas otoritas pemerintah.

Secara tidak langsung fenomena tersebut dengan gamblang menggambarkan kondisi sosial kaum santri yang hanya patuh terhadap satu otoritas. Geertz dalam hasil risetnya menjelaskan sindrom ulamasentris atau kiaisentris di Indonesia masih sangat kental dan sulit untuk dibendung. Pandangan kaum santri terhadap ulama’ sebagai al-warasatul an-biya’ telah melekat dalam nurani mereka. Mereka tak segan-segan membela atau mempertahankan kiai mereka mati-matian hanya untuk sebuah perbedaan pola pikir dan syariat agama.

Dalam konteks fenomena covid-19, implikasi agama pagan kaum santri di atas akan berakibat fatal. Jika sosialisasi pemerintah untuk beraktivitas dan beribadah di rumah tidak segera diaktualisasikan maka mata rantai transmisi virus corona akan terus berlangsung. Saat ini, upaya pemerintah telah semakin intens menanggulangi covid-19 karena persentase kasus positif terkonfirmasi terus meningkat drastis setiap harinya. Kebijakan mulai bermunculan seiring meningkatnya intensitasmasa virus. Anjuran serta instruksi telah dengan masif dikampanyekan kepada masyarakat. 

Untuk menghadapi konstelasi kakunya syariat kaum santri, pemerintah dapat menggunakan paradigma ulamasentris santri untuk melancarkan implementasi kebijakan. Kiai dalam ulamasentris sebagai human of social change dapat berperan besar untuk sosialisasi paham yang terbentuk dalam masyarakat. Sehingga pemerintah harus menangguhkan hubungan antar sesama stake holder dengan kiai untuk sinkronisasi pelaksanaan kebijakan PSBB ini. Kiai dalam konteks ini adalah kiai langgaran atau kiai lokal yang memiliki jamaah atau kekuasaan sosial yang juga disebut kekuasaan tidak resmi.

Peristiwa revolusi jihad dan kancah perpolitikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran kiai sebagai penggerak massa. Demi terciptanya sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat, pendekatan kiai harus segara dilaksanakan.

Oleh: Amirul Wahid RWZ, Mahasiswa Program Studi PMI dan Peneliti di IMC IAIN Jember

One thought on “PSBB, Kaum Santri, dan Peran Kiai di Bulan Ramadan

  • Kodrat

    Perlu sinergitas antara ulama dan Umaro. Masing masing peran perlu menjalankan tugas nya masing masing. Jgn dicampur aduk. Dan masing-masing pihak satu komitmen membangun peradaban islami

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *