78 Tahun Merdeka, Antara Relitas dan Formalitas
Tidak terasa sudah 78 Tahun Indonesia merayakan kemerdekaannya. Nuansa nasionalis mendarah daging nan menjamur ke setiap celah dan rumah warga. Untaian warna merah dan putih menjadi warna utama yang bisa dilihat hampir di seluruh daerah Nusantara, serentak kompak seluruh memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke 78 tahun semenjak tahun 1945.
Namun apakah nuansa ‘kemerdekaan’ dari ibu pertiwi ini sudah bisa dikatakan merdeka? Ataukah hanya sekedar formalitas saja angka dan peringatan tanpa perwujuduan nyata?
Jika ditarik definitif, makna dari kemerdekaan atau merdekannya Negara Kesatuan Republik Indonesia akan memiliki arti lepasnya negara Indonesia dari belenggu penjajahan asing yang menguras hasil bumi dan membenalukan diri kepada pribumi Nusantara.
Tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, mengenai hakikat tujuan utama kemerdekaan yaitu “Supaya berkehidupan kebangasaan yang bebas” lebih lanjut “Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Setidaknya ini merupakan point penting untuk merealitaskan kemerdekaan Indonesia.
Lebih lanjut, salah satu tokoh ilmuan Muslim Ibnu Hazm yang dikutip dalam kitab Qayyimul Islamiyah, menyatakan setidaknya yang dimaksud daripada kemerdekaan adalah mencangkup kepada penjagaan dan rasa aman dalam berkehidupan sehari-hari.
Adapun yang pertama, kemerdekaan secara esensi adalah terebebasnya seorang manusia dari berbagai belenggu yang mengikat kepada dirinya, sehingga mampu untuk mengurus dan mendemokratiskan apa yang seharusnya ia punya dan laksanakan, kebebasan berangama dan berpendapat maupun memperoleh manisnya menja pendidikan serta berbagai hal lainya, terjauh dari berbagai ancaman yang menghantuinya sehingga ia dapat terhormat dan merasa nyaman di atas negaranya.
Perwujudan lainnya adalah terpelohnya hak-hak yang seharusnya dimiliki seperti rumah dan kebutuhan sehari hari, sehingga dalam pandangan fikih siyasah, negara harus memenuhi kebutuhan warganya dengan singkat kata tidak boleh ada ketelantaran yang disebabkan oleh kemiskinan dan kosongnnya lapangan pekerjaan.
Namun di Indoneisa yang terjadi belum sepenuhnya, kemerdekaan yang didamba-dambakan oleh para pejuang hingga tidak terhitung lagi korban peperangan demi tegaknya bendera Sang Saka masih belum terwujud hingga 78 tahun usianya sekarang. 17 Agustus 1945 hanya formalitas gugurnya penjajahan bangsa asing di wilayah Nusantara, bukan realisasi sepenuhnya.
Jika kita lihat dalam warta kebangsanaan Indonesia masih banyak penting yang harus ada untuk memberikan makna 78 tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak terjadi ketimpangan sosial yang terjadi di bangsa Indonesia. Hasil bumi dan tenaga kerja pribumi masih dijarah secara ekonomi oleh bangsa asing maupun bangsa Indonesia sendiri yang secara tidak langsung ini merupakan penjajahan untuk kedua kalinya. Tidak pelik jika ketimpangan sosial diakibatkan oleh sistem kapitalisme yang terukur banyak terjadi hingga saat ini.
PR lain yang menjadi momok tajam adalah rasa keadalilan sebagaian besar masih termomok oleh hukum yang simpang siur tajam dan tumpulnya. Banyak terberitakan hukum tajam kepada rakyat taraf bawah sedangkan kepada para penguasa dirasa tumpul dan tidak jelas arahanya.
Probelematika kemiskinan merupakan sebuah tugas rumah yang sukar dihilangkan, namun hal ini sudah menjadi tugas penting dan utama para pejabat pemerintahan, namun yang terpenting pula adalah bagaimana pancasila terwujudkan, keadilan dan kesejahteraan dapat dimilki oleh setiap warga Indonesia.
Sehingga 78 tahun usia Indonesia masih ditakan sebagai formalitas kemerdekaan saja tidak secara gamblang merealisasikan seluruh cita-cita pendahulu bangsa ini. Semua cita-cita yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 harus dipeta dan wujudukan tidak hanya kepada pemerintah saja, namun seluruh rakyat Indonesia memiliki beban tanggung jawab yang sama.
Penulis : Wildan Miftahussurur
Editor : Fauzinuddin Faiz