Meneguhkan Pilar-Pilar Keberagaman
Akhir-akhir ini, permasalahan keberagamaan yang dikaitkan dengan keberagaman mendapat banyak sorotan dan perhatian pelbagai pihak. Ulah segelintir oknum atau sekelompok kecil masyarakat yang mengatasnamakan salah satu agama tertentu terkadang berimbas luas terhadap kondisi keberagamaan yang tenang, toleran, dan berdampingan. Ketika hal ini terjadi maka sebutan kata-kata intoleransi, radikalisme, fundamentalisme dan semacamnya sering mengemuka menjadi wacana publik.Intoleransi, radikalisme, dan fundamentalisme keberagamaan di tengah-tengah masyarakat yang beragam terus menjadi tantangan yang menguji keutuhan dan persatuan bangsa, bahkan merembet mengarah kepada penggerusan nilai-nilai kebangsaan.
Disamping pemahaman keberagamaan yang dangkal, penyebaran informasi hoax (hocus) yang bertubi-tubi di beberapa media secara terus menerus bisa menjadi provokasi yang memancing perpecahan keberagamaan dan keberagaman. Tidak hanya antar agama saling curiga, inter agama pun satu sama lainnyabisa menimbulkan pelbagai gejolak hingga konflik yang tidak dapat dihindari.Goddard (2013) dalam bukunya “A History of Christian-Muslim Relations” menawarkan satu persepsi bahwa ketika antar agama saling mencurigai maka yang harus dikedepankan adalah sikap kejujuran dalam bermuamalah (interaksi sosial).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan pelbagai perbedaan agama, kultur, bahasa, maupun ras yang disatukan dalam bingkai Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Perbedaan itu mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesiaadalah bangsa yang kaya, beragam, pluralistik.Tindakanapa pun yang menciderai ketenangan masyarakat, apalagi atas nama agama sesungguhnya adalah tindakan yang memiskinkan dan mengingkari kodrat keberagaman. Dalam skala yang massif, jika hal ini disepelekan akan merongrong tegaknya NKRI.Oleh karena itu langkah-langkah strategis harus terus diupayakan semaksimal mungkin untuk menjaga, merawat ataupun meneguhkan keberagamaan dan kebhinekaandengan mengokohkan Pilar-Pilar Keberagaman. Setidaknya empat hal berikut yakni Sikap Nasionalisme, Insklusivisme, Moderat, dan Toleransi adalah pilar utama yang akan mengokohkan tegaknya NKRI.
Keterlibatan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah dalam menjaga dan meneguhkan pilar-pilar keberagaman adalah sangat signifikan. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006, yang menegaskan bahwa gubernur mempunyai tugas memelihara ketertiban dan ketenteraman serta memfasilitasi kerukunan umat beragama; mengkoordinasikan kegiataninstansi vertikal terkait keagamaan untuk menjaga kerukunan umat beragama di daerah; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; danmemfasilitasi dan mengkoordinasikanpemerintah daerah di bawahnya untuk menjaga harmoni dan menciptakan iklim saling menghargai dan menghormati antar umat beragama.
Membudayakan pemahamantentang keberagaman harus intens di lembaga-lembaga pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, insklusif, moderat, dantoleransi bagi seluruh masyarakat.Pemahaman terhadap empat variabel penting tersebut bahkan tidak hanya dilaksanakan pada satuan-satuan pendidikan, akan tetapi juga harus mewarnai semua bidang studi terutama bidang studi yang menjadi penopang pendidikan karakter.Salah satu bidang studi yang harus memperkokoh empat pilar keberagaman tersebut adalah Bidang Studi Pendidikan Agama Islam.
Bidang Studi Pendidikan Agama Islam merupakan bidang studi yang mengampu tugas dan tanggungjawab dalam pembentukan karakter beragama para peserta didik. Karakter beragama yang tertanam dan terbentuk melalui pemberian Pendidikan Agama Islam sangat mempengaruhi cara bersikap dan berpikir peserta didik terhadap segala bentuk dalam kehidupan beragama, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karenanya, sangat penting bagi Bidang Studi Pendidikan Agama Islam untuk menanamkan pilar-pilar penting dalam kehidupan beragama, yakni Nasionalisme, Toleransi, Moderat, dan Inklusivisme.
Menanamkan Nasionalisme
Secara terminologis, Naionalisme bisa jadi merupakan produk baru peradaban modern. Namun hal ini tak berarti Islam bertentangan dengan nilai-nilai Naionalisme. Karena secara substansial, nasionalisme adalah kecintaan seseorang terhadap negara sebagai tumpah darahnya. Sebagaimana pula yang disampaikan oleh ulama, cinta terhadap tanah air merupakan bagian dari keimanan (hubbu wathan minal iman).
Nabi Muhammad SAW sendiri telah mencontohkan dalam Piagam Madinah (miytsaqul madinah) mengenai wujud nyata sikap cinta tanah air. Nabi Muhammad SAW menyebut seluruh penduduk Madinah (baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Yahudi), sebagai satu bangsa (ummah wahidah) dan mewajibkan mereka membela Madinah, terutama dari ancaman-ancaman pihak luar.
Kedua hal diatas menjadi beberapa dasar penguatan bahwa Bidang Studi Pendidikan Agama Islam mengampu tanggungjawab menanamkan nilai nasionalisme kepada para peserta didik. Diharapkan dengan penanaman tersebut, peserta didik memiliki cara berkehidupan beragama yang menjunjung tinggi sikap nasionalisme.
Mengembangkan Nilai-Nilai Toleransi
Islam hampir tiak pernah lepas dari toleransi. Pada masa tertentu Islam tampil sebagai sosok yang mentoleransi (fa’ilu at-tasamuh). Sedangkan pada masa yang lain Islam tampil sebagai pihak yang ditoleransi (maf’ulu at-tasamuh). Bidang Studi Pendidikan Agama Islam harus mengenalkan adanya beragamnya pandangan dalam berbagai aspek berkehidupan beragama. Sebagai contoh, Bidang Studi Pendidikan Agama Islam harus megenalkan bahwa di dalam Islam sendiri terdapat mazhab-mazhab fikih dimana para ulama’nya mengajukan pandangan hukum yang berbeda dalam fikih Islam. Perbedaan dalam kehidupan beragama juga terdapat pada beragamnya agama-agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia.
Selain mengenalkan adanya keberagaman dalam berkehidupan beragama, Bidang Studi Pendidikan Agama Islam juga harus mengajarkan bahwa cara menyikapi keberagaman pandangan dan keyakinan tersebut bukanlah dengan menghujat pandangan dan keyakinan yang berbeda, melainkan dengan cara menunjukkan sikap toleransi dengan tidak memaksakan pemahamannya terhadap orang lain dan tidak merasa pendapat dan keyakinannya ialah yang paling benar.
Mengkokohkan Sikap Moderat
Ada salah satu prinsip yang sangat terkenal di kalangan akademisi muslim, yakni khairul umur awsatuha (sikap terbaik dalam segala hal adalah moderatisme). Prinsip ini tidak hanya berlaku di dalam konteks hukum fikih, melainkan telah menjadi semangat utama di balik hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam. Bidang Studi Pendidikan Agama Islam harus memuat pengajaran-pengajaran yang merujuk pada sikap moderat. Tidak ada paham-paham radikal dan fundamental yang diajarkan dalam Bidang Studi Pendidikan Agama Islam.
Untuk mengkokohkan sikap moderat, Bidang Studi Pendidikan Agama Islam memuat ajaran bahwa ketentuan-ketentuan hukum Islam berada di posisi tengah; antara prinsip kasih yang sampai pada taha mengampuni para penjahat dan prinsip kejam yang sampai pada tahap tidak mengenal ampunan. Sebagai contoh, dalam ketentuan hukum Islam korban kejahatan dapat membalas kejahatan yang dilakukan secara setimpal (qishas), tai akan lebih baik bila yang bersangkutan memberi ampunan (wa an ta’fu khairun lakum).
Prinsip moderatismes seperti diatas harus senantiasa diajarkan dan dikokohkan oleh Bidang Studi Pendidikan Agama Islam kepada peserta didik, dan senantiasa mencegah masuknya paham radikal dan fundamental dalam pola fikir dan pola sikap peserta didik.
Menerapkan Inklusivisme
Islam adalah inklusif, terbuka terhadap nilai-nilai, budaya dan eradaban sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, menjaga eksistensi Islam bukan berarti menutup diri untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Peradaban Ilam adalah peradaban yang dinamis dan aktif, tidak eksklusif dan menutu diri dari budaya dan peradaban lain.
Islam sangat memperhatikan inklusivisme sebagai prinsip kehidupan yang sarat dengan perbedaan dan kemajemukan. Itu sebabnya, ajaran Islam bersifat universal yang terbuka keada seluruh umat manusia. Sehingga syariat Islam yang berwajah inklusif dapat diterima oleh semua kalangan dan memberi rahmat bagi seluruh isi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Islam tidak pernah menutup diri dari kebenaran yang mungkin dibawa oleh kelompok lain. Hal ini terlihat jelas dari sejumlah ajaran yang ditetapkan di dalam Islam, dimana ajaran-ajaran tersebut sebelumnya telah diturunkan dan dilakukan oleh umat agama lain, seperti hukum qishas yang diturunkan kepada umat yahudi, shalat yang sebelumnya diturunkan kepada umat Nasrani (misa), haji yang sebelumnya telah menjadi budaya masyarakat Arab pra kedatangan Islam, dan lainnya.
Sikap inklusif inilah yang diterapkan dan ditanamakan melalui Bidang Studi Pendidikan Agama Islam di dalam dunia pendidikan. Selain itu, Bidang Studi Pendidikan Agama Islam harus menanamkan pula prinsip al muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengakomodasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Adagium ini ditanamkan oleh Bidang Studi Pendidikan Agama Islam dalam prinsip tawazun, tasamuh, dan tawasuth.
Oleh : Dr. H. Imam Safe’i, M.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren LBSM (Lembaga Bina Santri Mandiri) Parung – Bogor & Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.