Opini

Refleksi Opini Fikih Siyasah: Kasus Kebijakan Pemerintah, Bungkam atau Sebaliknya?

Hangat jadi perbincangan perdebatan antara Prof. Mahfud MD. Dengan Komisi 3 DPR RI. Menteri Polkuham tersebut secara terang-terengan melakukan tindakan offensif kepada anggota DPR mengenai sejumlah dana Rp 349 triliun yang dicuragai tidak disalurkan kepada hal yang benar. Sontak kepercayaan publik masyarakat Indonesia kembali menurun setelah sebelumnya dikecewakan atas disahkannya UU Cipta Kerja 2023 yang seolah menurunkan hak-hak pekerja. Sehingga pertanyaan datang apakah kita harus kembali bungkam menerima kekecewaan atau sebaliknya?

Ibarat otak pada tubuh, keberadaan pemerintah dalam suatu negara adalah otak berjalannya setiap komponen kenegaraan. Pemerintah menjalankan visi-misi untuk mensejahterakan rakyat yang ia pimpin, menjaga keamaan dan sosial ekonomi negara serta berbagai lainya. Demikian pula rakyat, sebagai tubuh, harus mengikuti setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah agar hak-haknya dapat diperoleh dan dijaga. Sebagaimana perinsip ekonomi lahir, kontribusi dan hasilnya adalah semata-mata “rakyat”.

Dalam Islam pun demikian, Allah telah mentakdirkan manusia di muka bumi sebagai pemimpin (khalifah). Ibarat koin, adanya unsur kepemimpinan dan pemerintah suatu negara dengan Islam adalah sebagaimana dua sisi koin yang dipisahkan; keduanya saling ada antara satu dengan yang lain. Negara menjaga ibadah umat nyaman dilaksakan, dan agama menjaga ketertiban masyarakat di negara itu sendiri.

Namun yang menjadi polemik, bagaiamana jikalau amanah rakyat yang diberikan malah diselewengkan?, dibuat keuntungan pribadi atau kelompok yang bisa saja menyengsarakan terhadap rakyat yang ia pimpin sendiri. Masihkah rakyat untuk taat?

Secara gamblang dan jelas, Allah Swt. dan Nabi Muhammad melalui titah syariat mewajibkan setiap muslim untuk mentaati setiap kebijakan dan ketetapan yang keluar dari pempimpin dari negara yang ditempati. Kaidah populer mengatakan “Kebijakan pemipimpin (pemerintah) atas rakyatnya menempati tempat kemaslahatan”. Dalam kaidah ini mungkin dapat diperas dua makna

Pertama, titah dalam bentuk undang-undang maupun kebijakan lain yang keluar atas kekuasaan yang diberikan rakyat untuk wakil-wakil rakyat haruslah memaslahatkan rakyatnya. Orang-orang yang menjadi perintah diangkat semata-mata untuk mengurusi dan memaslahatkan rakyat, sehingga tidak sekali-kali diberikan ruang kebijakan yang menyalagi itu semua.

Kedua, apabila setiap kebijakan yang ditetapkan adalah semata-mata untuk “kemaslahatan” maka mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai rakyat wajib untuk mentaati itu semua. Demikian pula bagi rakyat, tidak boleh ada ruang sedikitpun untuk melakukan tindak pemerontakan dengan alasan apapun yang berakibat rusaknya tatanan negara (bughot).

Setiap anggota pemerintah beserta kebijakaanya adalah maf’ul yang wajib diaatati. Namun, jikalau pemerintah tersebut mengarahkan kepada kepada bentuk maksiat, maka rakyat boleh bahkan wajib untuk tidak mengikutinya. Demikian pula dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat boleh untuk tidak diikuti.

Walaupun demikian, sebagai bentuk kemaslahatan, rakyat boleh meminta hak-hak mereka, terlebih mengajukan banding atas keputusan pemerintah. Sebagai bawahan, melakukan musyawarah berhadap meja dengan para pemerintah adalah suatu hak yang berhak untuk diminta pelaksanaannya. Pemerintah harus berlapang dada menerima setiap keluh kesah kekecewaan dan saran dari rakyat. Tidak boleh mendiamkan kemungkaran terus merajarela. Dengan musywarah, secara tidak langsung akan meminimalisir adanya demonstari tindakan kekerasan yang saling merugikan; baik finansial atau bahkan korban jiwa. berdosa jikalau setiap jabatan yang diberikan dipergunakan pribadi dalam tanda kutib “berkhianat” atas rakyat terlebih dalam agama Islam.

Rasulullah dalam banyak riwayat meminta saran dari para sahabat melalui berbagai musrawarah. Khalifah-khalifah pasca wafatnya Nabi juga melakukan demikian. Beberapa President di Republik Indonesia ini pun melakukan hal yang sama. President kedua; Soerharto dengan pakaian sederhana datang ke desa-desa melihat kinerja bawahan dan tentu meminta penyampaian tanggapan dan keluh kesah dari rakyat.

Jikalau bentuk kemaslahatan diupayakan sebesar mungkin untuk mensejahterakan rakyat adalah tupoksi amanah pemerintah di atas rakyat dan negara. Rakyat wajib taat atas semua itu, akan tetapi berhak bermusyawarah atas kerancuan kebijakan pemerintah yang dirasa menyeleweng dari keharusanya serta pemerintah harus berlapang dada menerima itu semua.

Penulis: Wildan Miftahussurur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *