Bekerja Adalah Ibadah
Ibnu Athoillah as-Sakandari mengatakan:
*اِرادَاتُكَ التَّجْرِيد مَعَ اِقَامَةِالّلهِ اِيَّاكَ فِى الْاَسْبَابِ مِنَ الْخَفِيَّةِ،
وَاِرَادَتُكَ الْاَسْبَابَ مَعَ اِقَمَةِ اللّهِ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنْ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ*
“Keinginanmu untuk berada di Maqom Tajrid (mengkhususkan ibadah dan meninggalkan untuk mencari rejeki), sedangkan Allah menempatkanmu di Maqom Al-asbab (sebab akibat, melakukan usaha mencari rejeki), merupakan syahwat yang tersembunyi. Dan keinginamu berada pada Maqom Al-asbab, sedangkan Allah menempatkanmu pada Maqom Tajrid, adalah suatu penurunan himmah atau semangat yang tinggi.”
Perkara syahwat ternyata tak melulu berwujudkan perbuatan maksiat, terkadang syahwat juga seringkali dibungkus oleh ketaatan, termasuk dalam bab memperoleh rezeki. Maka sadar diri (muhasabah) adalah pintu keluarganya.
Hal ini juga menjadi tanda bahwa ibadah tak selamanya terbatas pada seputar ritual keagamaan, seperti zikir, qiamullail, puasa, menjaga pandangan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, bekerja mencari nafkah yang halal juga tergolong pada kategori ibadah, bilamana niat dan caranya melakukan muamalah betul-betul tunduk di bawah syariat yang dibawa Nabi Saw. Berikut beberapa ungkapan Nabi yang menjadi bukti bekerja adalah ibadah:
يؤجر في كل شيء حتى في لقمة يرفعها الى في مراته المؤمن
“Seorang mukmin mendapatkan pahala menyangkut segala sesuatu, sekalipun menyangkut sesuap makanan yang ia persembahan ke mulut istrinya” (HR.Ahmad).
التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء
“Pedagang yang senantiasa jujur lagi amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang selalu jujur dan orang-orang yang mati syahid.” (HR.Trirmidzi).
Diceritakan, suatu ketika ada seseorang yang bertanya pada Nabi : “Penghasilan apakah yang paling baik Wahai Rasulullah?”, Nabi menjawab:
عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
“Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR.Ahmad).
Agama tak bisa dilepaskan dengan keberadaan harta, sebab ibadah yang tak bisa terlaksana dengan baik kecuali bila manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, maka pemenuhan hidup adalah hal yang wajib baginya. Sebuah kaidah mengatakan “sesuatu yang wajib (agama) jika tidak bisa terlaksana tanpa adanya hal yang lain (bekerja mencari nafkah), maka melakukan hal yang lain (bekerja mencari nafkah) adalah wajib pula” Maka masing-masing manusia di muka bumi ini dikenai taklif untuk bekerja mengikuti tuntunan agama.
Harta memang kerap menjadi godaan pada pemiliknya, betapa banyak hubungan persaudaraan dirusak oleh persoalan harta. Namun pada hakikatnya, persoalan cinta dunia adalah persoalan gerakan hati masing-masing orang. Dan salah satu tanda seseorang yang terkena penyakit cinta dunia adalah ia senang menumpuk numpuk harta dan kurang memperhatikan urusan akhirat nya. Nabi Muhammad Saw. bersabda:
لكل امة فتنة وفتنة امتي المال
“Setiap ummat memiliki ujian, sedangkan ujian ummatku adalah harta” (HR. Trirmidzi).
Dunia memang kerap menguji kepada pemiliknya, tak pandang apakah ia kaya ataukah miskin. Banyak ditemukan manusia yang telah Allah berikan rezeki melimpah masih saja membuatnya tetap merasa kurang dan kurang atas aset yg ia capai, nepotisme, korupsi dia lakukan, ia pula tinggalkan tuntunan zakat dan sifat kedermawanan. Namun, boleh jadi si miskin lebih pantas menyandang sifat cinta dunia dari pada si kaya, sehingga cintanya pada dunia membawanya untuk larut hingga petang berada di ladang sawah sedangkan kewajiban salat ia gadaikan demi upah selembar kertas merah. Maka sekurang kurangnya seseorang harus menanamkan prinsip pada dirinya untuk bekerja sesuai tuntunan agama, sadar atas kewajiban berzakat dan keutamaan berderma, peduli kepada fakir miskin dan lain-lain.
Maka, ketika dikatakan bahwa harta itu adalah fitnah (ujian) telah benar keberadaannya. Namun hal demikian bukan berarti agama telah menutup pintu bagi setiap manusia untuk memiliki kekayaan yang melimpah. Boleh jadi ada orang sholeh kaya raya namun hartanya tak sedikitpun membuat hatinya tersentuh kepada kekayaannya, kepentingan akhiart ia kemukakan, ia salurkan kewajiban zakat, sodaqoh benar benar ia tunaikan secara ikhlas, dan ia gunakan hartanya di jalan ketaatan serta urusan fisabilillah ia prioritaskan atas kepentingan dirinya sendiri. Sehingga hartanya benar-benar menjadi perantara baginya untuk menghantarkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Orang semacam ini lebih pantas kiranya untuk dikategorikan orang yang zuhud dari pada mereka yang hanya secara penampilan saja compang-camping seperti orang zuhud padahal hatinya sedang mengemis ngemis untuk dikasihani agar banyak orang menyangkanya sebagai orang yang sudah sampai pada maqom zuhud.
Alakullihal, harta adalah milik Allah yang diamanahkan kepada manusia agar manusia menjadikannya sebagai wasilah (penghubung) untuk tujuan akhiratnya kelak. Maka harta dit angan pengusaha muslim yang taat adalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Tak peduli harta itu banyak atau sedikit. Teringat pesan seorang guru panutan, beliau mengatakan ” Rezeki yang berkah itu adalah rezeki yang KAFAFAN, ketika butuh pasti ada “. Waalahua’lam.
Penulis : LH. Ach Nakhlid Syafi’i, Pemangku Asrama Ma’had Aly Nurul Qarnain, Jember.
Editor : Wildan Miftahussurur.