KH. Muhammad Shiddiq: Ulama Sufistik & Bapaknya Para Kiai
KH. Muhammad Shiddiq atau masyur dikenal dengan Mbah Shiddiq adalah ulama sepuh yang dikenal sebagai cikal bakal lahirnya para ulama tersohor Nahdlatul Ulama, khususnya di Kota Suwar Suwir; Jember.
KH. Muhammad Shiddiq lahir di Desa Wary Gunung, Kecamatan Lasem, Rembang pada tahun 1854 M atau 1353 H. Dalam beberapa literasi disebutkan, bahwa jalur keturunan dari Mbah Shiddiq adalah para ulama dan kiai agung di Tanah Jawa yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah Saw.
Sedari muda beliau dikenal sebagai orang yang senantiasa istikamah dalam menghatamkan Alquran dan melaksanakan Salat Sunnah, terlebih Salat Dhuha dan Tahajjud. Dalam nasab keilmuan Mbah Shiddiq pernah mengaji kepada beberapa ulama tersohor pada masanya, di antaranya adalah KH. Abdul Aziz Rembang, KH. Sholeh Langitan Tuban, KH. Sholeh Semarang, serta beberapa ulama lainya. Namun, yang paling terkenal adalah saat Beliau “Nyantri” kepada KH. Cholil Banggkalan. Mbah Shiddiq selain mengaji kepada KH. Cholil Bangkalan, beliau juga mengabdi kepada sang Guru.
Ada kisah menarik, dahulu ketika Mbah Shiddiq menimba sumur saat sepertiga malam, beliau dikejutkan dengan apa yang ada dalam timba, bukannya air, namun yang terangakat adalah tumpukan penuh emas. Tanpa pikir panjang, beliau langsung mengembalikan emas tersebut ke asal sembari berkata, “Ya Allah, bukan ini yang aku harapkan, aku hanya ingin anak keturunanku menjadi anak yang shalih dan shalih.” Dan dari inilah dari jalur keturunan Mbah Shiddiq tersohor sebagai orang shalih dan ulama di kalangan nahdliyin, serta beribu santri yang menjadi ulama yang sanadnya nyambung dengan beliau.
Jasa Mbah Shiddiq dalam berdirinya NU sangat tercatat jelas. KH. Muhammad Shiddiq adalah salah satu ulama yang yang diminta restu oleh KH. Hasyim Asy’ari sebelum resminya NU 100 tahun lalu. Setelah KH. Cholil Bangkalan merestui berdirinya NU melalui KHR. As’ad Syamsul Arifin, akan tetapi sebelum menjelang berdiri, KH. Cholil Bangkalan wafat. Wal hasil, KH. Hasyim Asy’ari juga meminta restu melalui KH. Wahab Hasbullah kepada Mbah Shiddiq.
KH. Hasyim Asy’ari bukan tanpa sebab meminta izin secara khusus kepada Mbah Shiddiq kala itu. Mbah Shiddiq merupakan santri senior serta yang lama “ngaji dan ngabdi” kepada KH. Cholil Bangkalan. Kala minta izin, KH. Wahab harus bermalam dulu di Jember, karena seperti biasa, dalam mengambil suatu keputusan Mbah Shiddiq akan beristikharah terlebih dahulu.
Saat itu Mbah Shiddiq telah mengasuh pondok pesantren di daerah Talangsari Jember, yang dikenal saat ini dengan Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi. Namun kiprah beliau dalam kepesantrenan tidak hanya itu.
Setelah pengembaraan beliau dalam mencari ilmu, Mbah Shiddiq mulai mendirikan pesantren sebagai sentral keilmuan. Awal mula beliau mendirikan pondok pesantren di kampung halamanya; Desa Lasem. Kemudian saat beruasia 30 tahun, Mbah Shiddiq kemudian melanjutkan hijrah dakwahnya ke Jember dan mendirikan pesantren pertama di kota tembakau tersebut di Kampung Gebang Jember. Baru pada tahun 1918, di saat usia beliau menginjak 64 tahun, Mbah Shiddiq “pindah kampun” ke Talang Sari dan mendirikan Ponpes Ash-Shiddiqi yang dikenal hingga saat ini.
Dari basis pesantren inilah, cikal bakal bewarnanya Islam di Jember. Melalui santri-santrinya, Mbah Shiddiq mendakwahkan Islam ke antero Jember dan berbagai daerah luar. Sehingga sekurang-kurangnya ada 3000 masjid, 750 pesantren dan 1000 lebih pesantren lahir dari rahim pesantren didikan Mbah Shiddiq.
Selain itu, Mbah Shiddiq dikenal dengan “ulama sufistik” karena kewaraan beliau dalam keseharianya. Beliau dikenal sangat “anti-pati” terhadap hal-hal yang kurang jelas asal mula dan hukumnya (syubhat). Bahkan beliau sangat menjauh untuk mengkonsumsi rokok, pasalnya diceritakan saat nyantri kepada Kiai Rohim, beliau biasnya mengisi air jeding sang kiai setiap pagi-pagi buta, sampai suatu ketika setelah selesai mengisi jeding, Mbah Shiddiq pergi ke sunggai sambil merokok, karena saking asyiknya merokok, tanpa sadar Mbah Shiddiq ketinggalan jamaah Shubuh. Dan mulai saat itulah, beliau tidak lagi merokok.
Mbah Shiddiq menikah dengan beberapa orang istri. Pada pernikahan yang bertama tahun 1847, Mbah Shiddiq menikah dengan Ny. Hj Maimunah yang wafat pada tahun tahun 1874, pernikahan kedua dengan Ny. Siti Aminah Putri KH. Abdus Salam, kemudian yang ketika dengan Ny. Hj. Zaqiah. Istri berikutnya adalh Ny. Hj. Siti Mardliyah putri dari KH. Muhammad Imam dan terakhir Mbah Shiddiq menikah dengan Ny. Siti Fatmah binti KH. Khoiro.
Dari pernikahan di atas banyak dzuriyyah (keturunan) Mbah Shiddiq yang menjadi ulama, di antaranya adalah KH. Ahmad Shiddiq, KH. Machfudz Shiddiq (mantan Ketua Umum PBNU), KH. Abdul Halim, Ny. Siti Zainab, KH. Ahmad Qusyari, KH. Mansur dan banyak ulama lainya.
Mbah Shiddiq menutup usia pada Ahad 2 bulan Ramadhan tahun 1533 H atau Minggu 9 Desamber 1934 Masehi pada usia beliau sekitar kurang lebih 80 tahun. Beliau disemayamkan di dekat Masjid Raodhotul Mukhlisin di daerah Kaliwates Jember.
Editor: Muhammad Fauzinuddin Faiz
Humas: Wildan Miftahussurur