Artikel

Konsep Iqzath Di Tengah Arus Digitalisasi UMKM

Pelarangan jual beli secara langsung melalui media sosial  resmi dilakukan oleh pemerintah. Pelarangan tersebut mengambil dalih karena melindungi akun pribadi milik masing-masing pelaku serta melindungi UMKM dari monopoli pasar. Kehadiran media ini memang sempat ramai diperbincangkan karena bukan saja menghadirkan produk yang diinginkan oleh konsumen, namun juga harga yang berada di bawah harga pasar. Sehingga, model jual beli ini menjadi sorotan dan membuat tidak berdaya para pemilik UMKM yang tidak memiliki strategi penjualan menggunakan media ini.

Pro kontra terkait pelarangan ini menjadi ramai dibicarakan, terkait kesiapan Masyarakat dalam menerima perdagangan bebas yang diterapkan di Indonesia, harga yang tidak bersaing sehingga merugikan berbagai pihak, media sosial dan sosial commerce yang hanya boleh mempromosikan produk saja tanpa dilakukan transaksi secara langsung, persoalan pemberlakuan pajak baik bagi para pelaku usahanya maupun pemilik platform, menjadi kajian menarik akhir-akhir ini.

Hal ini mau akui ataupun tidak menunjukkan bahwa peran digital dalam perdagangan menjadi sangat penting dan perlu dipertimbangkan. Sehingga pengaturannya pun perlu dipertegas. Jika selama ini pemerintah secara tegas mengatur mekanisme pasar yang ada di pasar offline, maka saat ini juga harus ada peraturan terkait pasar yang dilakukan secara online. Tanpa harus menunggu adanya kasus atau peristiwa, sehingga semua pihak tidak merasa dirugikan.

Peran pemerintah dalam mengatur pasar dalam Islam memang tidak diperkenankan, khususnya dalam mengatur harga. Harga harus terbentuk secara alami dari permintaan dan penawaran, bukan berasal dari penentuan sepihak. Seperti hari ini yang kita temui, ada jarak harga yang sangat jauh ketika kita bertranksasi secara online dan secara offline, bahkan pada event-event tertentu kitab bisa mendapatkan harga nol rupiah. Dalam model penentuan harga, penjual boleh mengambil metode apapun asalkan tidak merusak harga pasar. Faktanya, kehadiran platform digital dalam perdagangan online ini malah berlomba untuk memberikan harga yang berada di bawah harga pasar. Sehingga hal ini menjadikan pasar offline menjadi lesu. Kondisi seperti inilah yang membolehkan pemerintah harus turun tangan dalam menangani pasar, sebab di pasar sudah terjadi yang namanya distorsi pasar. Distorsi disebabkan oleh predatory pricing untuk meningkatkan citra merek di mata konsumen sehingga mengarah pada monopoli, karena pelaku pasar dengan tindakannya berniat menguasai pasar dengan cara menggunakan harga yang berada di bawah harga pasar. Cara memang berhasil menguasai pasar, namun menghancurkan pasar offline yang tidak memiliki kekuatan finansial yang cukup.

Maka peristiwa seperti ini bisa dihindari, jika konsep Iqzath bisa dilakukan sejak awal. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya paham bagaimana kondisi pasar yang ada di Indonesia, setidaknya harus belajar dari berbagai distorsi pasar yang terjadi di pasar offline. Dalam hal ini pemerintah harus berperan serta menjadi pengawas pasar baik pasar yang bersifat offline maupun online. Melalui konsep Iqtishadiyyah Az-Zakiya Ath-thohiroh (konsep Iqzath) tawaran baru dari tulisan Ahmad Fauzinuddin Faiz di Times Indonesia tanggal 10 September 2023, menjadi relevan dengan maraknya praktik jual beli online yang selama ini justru menciptakan kelas baru dalam ekonomi. Beberapa prinsip yang bisa diturunkan, yaitu pertama kejujuran dan kemurnian hati ini bisa dipraktikkan dengan cara menjual produk secara apa adanya tanpa orientasi profit yang berlebihan, sehingga tidak perlu melakukan penentuan harga dengan model predatory pricing. Rasionalitas ekonomi yang digunakan bukan sebagai homo economicus tetapi harus berubah menjadi homo Islamicus. Implementasi kejujuran ini bisa dibuat semacam aturan main dalam perdagangan online misalnya produk harus sesuai dengan produk yang sebenarnya (bisa ditunjukkan dengan foto yang sesuai produk, detil produk yang tidak ditutup-tutupi dan review yang apa adanya), harga harus sesuai dengan harga pasar (memberi Batasan HET pada setiap produk), aturan pajak yang jelas serta cara menjual yang tidak merugikan orang lain. Kedua; tidak berlebihan (israf/tabdzir) dengan pemerataan distribusi pendapatan kepada orang lain. Prinsip ini bisa diterapkan dengan tidak semena-mena dalam menjual barang tanpa memperdulikan pedagang yang lain. Konsep keadilan dalam distribusi, bukan hanya dimaknai dengan pemberian zakat saja, namun juga memberikan kesempatan yang sama kepada pedangan lain untuk memperoleh kesempatan menjual produknya yang sama. Selama ini kelas tercipta akibat ketidakmerataan kesempatan. Melalui konsep Iqzath ini, membuka peluang kepada semua UMKM bisa memiliki kesempatan yang sama. Pemerintah bisa mengambil perannya dengan memberikan edukasi secara massif serta pendampingan kepada semua UMKM untuk bisa bersaing, baik secara offline maupun online.

Digitalisasi harus dimanfaatkan bukan hanya oleh UMKM yang memiliki modal saja tetapi oleh semua UMKM, sehingga tercipta budaya competitive advantage. Edukasi pada UMKM menjadi salah satu bentuk implementasi konsep Iqzath yang harus dilakukan secara serius oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Budaya yang multiculture menjadikan UMKM juga memiliki berbagai karakter, maka konsep Iqzath ini bisa masuk ke semua budaya dan lapisan Masyarakat. Harapannya tidak ada lagi kasus kepanikan pemerintah seperti yang hari ini kita saksikan. Semoga.

Oleh : Dr. Nikmatul Masruroh, S.H.I., M.E.I. (Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *