Maulid Nabi & Ekspresi Cinta
Intin dari perayaan maulid adalah mengekspresikan rasa cinta kepada baginda nabi Muhammad Saw. Oleh karena ini soal ekspresi, tentu setiap orang bebas mengekspresikan cintanya. Ekspresi ini tidak terikat oleh apapun itu, termasuk ruang, waktu, dan langgamnya.
Jikapun ada pengikatnya, paling tidak ekspresi ini terikat oleh kaidah-kaidah universalitas hukum Islam yang terkadang secara tehnis masih multitafsir. Atau setidaknya, tidak boleh melanggar larangan-larangan yang mujma’ ‘alaih yang notabenenya secara kuantitas sangat sedikit.
Jikapun rasa cinta itu harus dispesialkan di waktu-waktu tertentu (semisal 12 Rabiul Awal), itu hanya momentum saja. Momentum untuk meluapkan rasa yang lebih dari biasanya sebagaimana sudah terekspresikan saban harinya. Nabi sendiri sudah mencontohkan. Beliau puasa hari senin karena hari itu adalah hari kelahirannya.
Idealnya, maulid sebagai ekspresi rasa cinta harus selalu ada dan hidup dalam jiwa setiap umat manusia sepanjang hayat masih di kandung badan. Namun idealitas semacam ini masih jauh panggang dari api.
Hanya para sahabat nabi yang mampu melakukannya. Itulah alasan kenapa ceremonial maulid sebagaimana nampak akhir-akhir ini tidak ditemukan di masa para sahabat.
Para sahabat setiap hari berkumpul dan bersua dengan baginda nabi Muhammad saw. Luapan rindu dan cinta kasih mereka tumpah bersambut indah di hadapan nabi.
Dalam sebuah twit-nya, Muhammed Abdullahi Gabagabo menulis:
لماذا تحتفلون والصحابة لم يكونوا يحتفلون؟ لأنهم كانوا أهل حضور دائم مع الحبيب صلى الله عليه وسلم ظاهرا وباطنا فمتى غاب عنهم حتى يتداعون لتذكره …؟!
انما التذكرة تكون لأهل الحجاب والغيبة من أمثالي. أما أهل الحضور مع الحبيب فهم في عيد دائم ومولد دائم وذكرى دائمة لاتنقطع …
Namun sayang, umat “akhir zaman” tidak seberuntung para sahabat. Mereka harus mengimani nabi tanpa pernah bersua dengannya.
Mereka iman dan cinta kepada nabi Muhammad meskipun bentuk fisik nabi, lembut indah budi luhur nabi, dan mukjizat nabi yang irrasional dan sensasional tidak pernah mereka lihat langsung.
Keimanan mereka tumbuh subur hanya dipupuk oleh imajinasi dan kisah-kisah nabi yang diriwayatkan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, realitas inilah yang membuat nabi sangat apresiatif dan berdecak kagum terhadap umatnya yang hidup sepeninggal para sahabat. Iman mereka tidak hanya melampaui prestasi para sahabat, namun lebih dahsyat dari imannya para malaikat dan para nabi.
أعجب الناس إيمانا قوم يجيؤن من بعدي يؤمنون بي ولم يروني ويصدقوني فألئك إخواني
Wajar banget jika aktualisasi dari keimanan dan cinta terhadap nabi diimajinasikan lewat lantunan syair, doa dan salawat. Mereka rindu sosok agung yang mereka dengar kesempurnaannya hanya dari telinga ke telinga.
Namun sehebat apapun kualitas iman generasi akhir, aktualisasi cinta dan kerinduannya kepada nabi masih dalam batas kewajaran.
Tengok tetangga sebelah, tak kuasa menahan rindu akan sosok Budha, pengikutnya kemudian mengabadikan Budha dalam bentuk patung. Hal serupa juga dilakukan oleh para pengikut Yesus keristus. Berdalih kerinduan, Yesus kemudian diimajinasikan lewat patung.
Realistis memang, namun umat Kanjeng Nabi tidak bisa sejauh itu.
Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya, amin.
Oleh : Doni Ekasaputra, Founder Adeeva Group dan Dosen Ma’had Aly Nurul Qarnain Sukowono