Memahami Misteri Tidur Gus Dur
Misteri Gus Dur yang lain dan sering dibicarakan orang adalah soal tidur Gus Dur. Beliau dikenal suka tidur atau “tukang tidur”. Ia mudah sekali lenyap dan masuk dalam mimpi-mimpi, di mana saja, dalam forum apa saja, di atas kendaraan, dalam forum seminar internasional yang berkelas pemikir besar dunia bahkan dalam acara resmi kenegaraan. Lalu Gus Dur bangun dan segera memberikan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan audiens kepadanya. Menakjubkan. Tanggapan dan jawaban Gus Dur, mengarah, mendalam dan memperlihatkan kecerdasan dan kegeniusan pikirannya. Gus Dur sepertinya mendengar dengan tekun seluruh pembicaraan mereka, meski dalam tidur nyenyak.
Bagaimana soal tidur Gus Dur ini dipahami?. Saya mencoba memikirkannya sendiri,seperti di bawah ini :
Suatu hari di rumahnya, Ciganjur, saya bertanya kepada Ibu Shinta Nuriyah, isterinya, dalam suatu pertemuan rutin di sana. Katanya: “Gus Dur memang sering ditanya orang soal sebutan tadi, yang dianggap aneh atau misteri itu, berikut kesaksian-kesaksian orang mengenainya. Mas Dur hanya menjawab : “wah, itu sebetulnya begini: saya mendengar apa yang dikatakan pembicara pada topic dan kalimat pertamanya. Lalu saya tidur. Karena dari situ saya tahu apa akhirnya dan apa kesimpulannya”.
Nah. Jawaban Gus Dur tersebut boleh jadi dapat dipahami, karena ia memang sangat cerdas dengan otak yang telah menyimpan segudang informasi dari banyak buku yang dibacanya sejak lama dan bertahun-tahun atau dari kebiasaannya berdiskusi, berbicara dan bertemu banyak orang. Orang dengan otak dan kecerdasan intelektual yang demikian, serta dengan kebiasaan mendengar orang lain bicara, mampu dan bisa membaca ke mana arah pikiran orang sejak ia menyampaikan kata pembukaannya. Kata-kata pembukaan untuk sebuah forum bicara, acap menunjukkan isinya. Dalam dunia pesantren, pada kajian sastra Arab yang popular disebut Ilmu Balaghah, itu disebut “Bara’ah al-Istihlal”.
اَنْ يُقَدِّمَ الْمُصَنِّفُ فِى دِيْبَاجِ كِتَابِهِ اَوْ الشَّاعِرُ فِى اَوَّلِ قَصِيْدَتِهِ جُمْلَةً مِنْ الْاَلْفَاظِ وَالْعِبَارَاتِ يُشِيْرُ بِهَا إِشَارَةً لَطِيْفَةً اِلَى مَوْضُوعِ كِتَابِه اَوْ قَصِيْدَتِهِ
“Pengarang/penulis/pembicara atau penyair, menyebut dalam pendahuluan buku atau kasidah (syair-puisi) nya beberapa kata atau kalimat yang mengisyaratkan dengan cara yang amat halus pokok krusial yang menjadi inti karya tulis/pidato atau sastra puitisnya”.
Kita semua tentu melihat manusia mempunyai kapasitas intelektual dan kecerdasan yang berbeda-beda dan bertingkat dalam memahami sesuatu. Sebut saja memahami isi sebuah buku. Ada orang yang baru bisa memahami isinya sesudah ia membaca halaman-demi halaman buku itu sampai selesai. Sebagian orang bisa memahaminya dengan membaca beberapa bagian dari isi buku tersebut. Sebagian lain merasa paham dengan membaca judul pasal demi pasal sebagai yang tertulis pada daftar isinya dan kesimpulan. Dan sebagian yang lain lagi telah cukup mengerti dan paham dengan hanya membaca Judulnya saja. Saya kira Gus Dur adalah manusia dalam kapasitas yang terakhir ini. Ketika orang memilih satu judul tertentu atas buku atau makalah, maka ia berharap judul tersebut telah mencakup apa yang ingin disampaikan. Ia adalah symbol dari isi. Para sufi acap mengeluarkan kata-kata ringkas, tetapi padat. Ia adalah kata-kata mutiara, kata-kata bijak, atau kata-kata aneh bagi awam. Untuk memahami kata-kata ini diperlukan proses pendakian pikiran yang panjang, lama, terjal dan berliku-liku.
Kalau demikian, sesungguhnya tak lagi ada yang aneh dari ucapan-ucapan Gus Dur, meski sering dipahami sebagai aneh. Itu semacam refleksi otak amat cerdas atau boleh jadi merupakan refleksi intuitif. Wallahu a’lam.
(Dikutip dari buku “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur” karya Buya Husein Muhammad).
Cirebon, 12082013