Sosok

Kartini, Perempuan Penggagas Cerdas

Ah, pikiran yang sok tau ini tak jua mau di redam. Maunya saja bersuara.

Kali ini tentang Kartini. Ya, memang Kartini.

Pernah terdengar di telinga, bahwa beberapa orang tak menginginkan Kartini jadi pahlawan. Tak menginginkan Kartini dikenang. Katanya, banyak perempuan lain yang lebih pantas dipuja-puja.

Entahlah.

Buku terakhir mengenai Kartini yang saya bacaialah tulisan Pramoedya, pemberian kekasih tercinta.

Beberapa menganggap, Kartini tak lebih baik dari pahlawan lain, Cut Nyak Dien contohnya.

Ayolah. Bisakah kita tidak membicarakan keduanya dalam suatu perbandingan? Saya berpendapat, keduanya tak bisa dibandingkan.

(Saya memang bukan ahli sejarah. Saya hanya pernah membaca sejarah, lalu sekarang mencoba berpendapat. Maka koreksi jika saya kurang tepat.)

Menurut sebuah sumber yang saya baca, Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848. Ia lahir sebagai putri Aceh. Saat ia berlaga di medan perang, memanglah para tentara Belanda yang di hadapinya. Perang fisik lah yang banyak dihadapinya. Maka peranglah ia, sebagai seorang perempuan gerilyawan yang tiada gentar.

Lantas Kartini tidak dianggap sebagai pahlawan karena ia hanya menulis surat? Hanya menulis gagasan tanpa perbuatan? Padahal Cut Nyak Dien membawa senjata dan mengoperasikannya di medan perang, begitu?

Ah, gatal sekali telinga saya mendengarnya.

Mari kita ingat, Kartini lahir pada tahun 1879 di Jepara. Tahun dan tempat kelahirannya membuat apa yang kartini hadapi berbeda dengan yang di hadapi Cut Nyak Dien, saya nilai.

Mengapa Kartini tak berbuat apa-apa dan hanya menulis surat?

Ketahuilah. Kartini begitu jeli menelaah permasalahan rakyat, dan begitu gagah merumuskan berbagai gagasan solutif. Ya, gagasan solutif Kartini memanglah banyak. Sayang, Raden Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini, tak lain masihlah memberlakukan adat feodal. Beliau pingit Kartini ketika ia berusia begitu belia. Beliau lingkari Kartini dengan batas gerak yang nyata, dan beliau kalungi Kartini dengan peraturan-peraturan yang tiada bisa ditawar.

Kartini tak memiliki ruang gerak banyak.

Jika saja Kartini diberikan kesempatan untuk bergerak bebas, sudah berapa gagasan akan ia wujudkan? Sayang, mesti dibatasi ia oleh ayahandanya. Mesti tunduk ia akan adat lingkungannya. Oh, Kartini. Kau bagaikan elang yang dikurung di bawah sampan (?)

Beberapa kali ia membujuk ayahnya, agar mengizinkannya meneruskan sekolah ke Nederland. Bukan karena ia cinta Belanda. Melainkan karena ia ingin mengeruk ilmu dari majunya peradaban. Maka ia bergerak melalui surat. Membagi gagasan melalui surat.

Bagi Kartini dan zamannya, kebebasan adalah ketika ia telah menikah lalu menjanda. Maka ia berharap dapat melakukan sesuatu apapun setelahia bebas. Sesuatu untuk rakyat. Sayang, ia mesti istirahat selamanya setelah ia melahirkan putera pertama.

Sebenarnya Kartini tidak tinggal diam. Telah ia perjuangkan kesenian rakyat dan ia mandirikan para pelaku seninya. Telah ia teriakkan perlawanan melalui sastra dan media massa. Ia memilih menyelami sastra dari padamenjadi guru. Karna melalui tulisan, ia bisa bergerak luas tanpa batas ruang dan waktu. Begitupun perjuangannya yang lain yang tiada dapat saya sebutkan semua.

Kartini adalah perempuan penggagas cerdas, yang belum memiliki kesempatan yang banyak.

Apakah Kartini spesial? Lalu mengapa Kartini spesial?

Ya, Kartini memanglah spesial. Di usianya yang begitu belia, di zamannya yang belum mapan, Kartini telah menjelma menjadi gadis yang begitu maju dan cerdas. Bagaimana bisa gadis yang dibesarkan di lingkungan feodal, yang ditempatkan pada baris terbelakang, bisa begitu memahami kolonialisme, begitu peka dan peduli sosial, bahkan menyusun konsep solusi permasalahan rakyat?

Bagaimana mungkin gadis yang tidak meneruskan sekolahnya itu pikirannya telah begitu jauh melampaui zaman dan keadaan?

Kartini memang luar biasa. Di usianya yang keduapuluh tahun, telah kritis pikiran dan jiwanya tumbuh tanpa serampangan. Ia pahami, betapa rakyatnya menderita akibat sebuah sistem yang ditancap paksa oleh kolonial Belanda. Ia pahami betul-betul, harus ia kuasai ilmu pengetahuan untuk memajukan  rakyat dan bangsanya.

Ingat! Gadis dua puluh tahun itu, yang hidup pada zaman feodalisme itu, berpikiran untuk memajukan rakyat dan bangsanya! Manusia gila memang. Intelegensianya telah begitu melampaui perempuan-perempuan pada zamannya.

Ya, yang Kartini lawan adalah penjajahan yang semakin dikemas menggemaskan. Yang Kartini lawan adalah kemajuan peperangan yang dikemas dalam wujud yang melenakan.

Maka janganlah meletakkan Kartini dan Cut Nyak Dien dalam suatu garis perbandingan. Mereka tiada patut untuk diperbandingkan. Mereka patut untuk disandingkan. Tak lain sebagai perempuan hebat pahlawan bangsa, yang bergerilya dengan cara dan lawan yang berbeda.

Oleh : Izza Alimiyyah Prananingrum, Pengurus PC Fatayat NU Jember & Sekretaris Majalah Santri CSS MoRA 2012-2014.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *