Politik Sang Kiai dan Wong Nahdliyin
Kepakan sayap Nahdlatul Ulama yang hampir mendekati setahun sejak ulang tahunnya tehitung seabad. Napak tilas perjalanan Nahdlatul Ulama memang tidak akan hengkang dari bumi pertiwi, bagaimana tidak, Nahdltul Ulama telah mengawal tanah pribumi nusantara ini dari hingga lahir Republik Indonesia dan tetap eksis hingga sekarang ini. Tidak hanya berputar dalam kedikdayaan umat dalam menjaga keutuhan agama, tapi banyak dari tokoh nahdliyin yang juga berkecimpung dalam dunia perpolitikan bangsa ini.
Bermain kata di dunia perpolitikan saat ini mungkin akan mengerucut pada siapa yang akan menjadi imam bagi Indonesia di tahun mendatang setelah 2 tahun diayomi oleh president yang sama. Sepantasnya bagaimana dan apa yang perlu dituangkan dalam hati kaum nahdliyin menyingkapi arus panas dingin perpolitikan bangsa ini yang pasang surutnya tidak jarang memuncak dengan kekerasan yang hanya disebabkan oleh bedanya pilihan.
Sejatinya, kaum nahdliyin itu lahir, berkembang dan dewasa di dalam pesantren, meski bukan secara penuh adalah lulusan secara formal. Nahdlatul Ulama lahir berkembang dan kembali serta akan kembali berperan bagi pesantren. Demikian pula bagaimana mengecap perpoltikan bangsa ini dari para kaum hijau NU haruslah kembali kepada pesantren. Memang jika disingkapi terlalu dalam, keberadaan pesantren tidak hanya dikatakan sebagai lembaga politik agama. Pesantren memberikan peranan lebih dalam lagi bagi kita modern ini.
Pesantren tidak hanya mengatakan iman dan islam sebagai prodak utama, tapi unsur perpolitikan di dalammnya pun terikat kuat ‘bak rantai yang sudah digembok permanen’. Para ulama dan kiai di pesantren sebagai unsur nomer wahid harus menjadi tolak ukur siapa yang layak dan pantas menjadi imam berbagai hal nanti bagi pribumi Indonesia ini.
Terdapat ayoman kata yang khas di beberapa pesantren “Semua bisa menjadi alim allamah, tapi tidak semua bisa menjadi kiai”. Benar sekali jika kita telan dan cerna lebih dalam lagi. Bukan hanya membahas keturunan, sosok kiai adalah pilihan umat dan takdir sebagai jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Tidak sedikit yang jadi kiai bukan dari keturunan kiai, dan banyak keturunan kiai yang malah jatuh tak mampu menyandang gelar kiai.
Keberadaan kiai tidak hanya memiliki pengaruh kepada santri naunnganya, akan tetapi di tengah masyarakat pun sosok kiai merupakan figur yang begitu berpengaruh, tak sedikit masyarakat yang begitu mencintai dan mengidolakan para kiai di daerahnya. Sehingga daripada itulah sosok dengan gelar kiai ini pun juga memiliki andil besar dalam perpolitikan umat meskipun tidak banyak yang terjun langsung.
Masyarakat yang mengnomerwahidkan para kiai di hati mereka sebagai sosok teladan maka dalam politik pemerintahan khususnya dalam pemilu acap kali tabi’ kepada kiainya. Sehingga meskipun dikenal sosok figur dan teladan dalam ranah agama, seorang kiai haruslah juga menyampaikan siapa di balik para calon pemimpin yang layak untuk memimpin. Serta, dikenal pula, kiai adalah sosok yang penuh kehati-hatian dalam menentukannya yang tidak hanya dengan penilain dan data yang kongrit, calon pilihan dari sang kiai pula datang dari istikharah dan doa.
Sosok kiai tidak akan terpaut oleh gemerlap dunia, sogokan dan rayuan kampanye tidak akan masuk ke dalam tokoh bernama kiai ini. meskipun banyak dari sosok calon pemimpin yang datang ke kiai untuk meminta doa restu karena pengaruh yang begitu besar, ‘jika kiai mengiyakan maka santri dan yang loyal pun juga iya’ inilah yang didambakan oleh para calon pemimpin bangsa yang akan datang memperebutkan kursi legislasi nantinya.
Kaum-kaum nahdliyin yang merupakan putra putri dari pesantren hendaklah berhati-hati tidak hanya secara logika namun hendaknya datang dan pergi sesuai dengan pilihan kehendak daripada sang kiai.
Demikianlah politik dari kaum nahdliyin, lahir dan mengikuti setiap hal yang berkaitan dalam pesantren terlebih ketika telah bermasyarakat martabat norma pesantren hendaknya dipegang erat-erta. Panas dingin dunia perpolitikan yang kian merajut di segala lini, wong NU hendaklah berkepala dingin; tidak perlu terlalu dalam mengedapakan egoisme pilihan pribadi yang tak jarang pula menimbulkan konflik bahkan di dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri. Beda pilihan tidak masalah; unsur yang terpenting daripada kaum nahdliyin menyingkapi suara kampanye yang kian mengemu adalah kembali kepada pangkuan sang kiai, mendengarkan kepada dawuh-dawuhnya serta hati nurani kepada sosok kiai yang merupakan panutan dan sifat halus dari hangatnya kehidupan pesantren yang merupakan induk dari terbentuknya sosok besar Nahdlatul Ulama dari dulu hingga kini.
Oleh : Wildan Miftahussurur
Editor : Fauzinuddin Faiz