Rajab dalam Perspektif Kehidupan
Ketika seorang muballig mencoba memaparkan makna kebesaran bulan Rajab maka biasanya ayat yang dikutip untuk dijadikan dasar kerangka berpikir adalah Surat Al Isra’ [17]: 1 dan Surat Al Najm [53]: 1-17. Surat Al Israk berbicara tentang landasan argumentatif-rasional sebagai jawaban terhadap adanya keraguan terhadap kebenaran perjalanan fisik dan rohani Nabi Muhammad SAW. Fase kerasulan Nabi Muhammad ditandai dengan pola berpikir umat manusia yang telah meningkat jauh dibanding dengan khalayak yang dihadap nabi-nabi sebelumnya. Pada fase Nabi Muhammad SAW, manusia telah sampai kepada pembuktian secara argumentasif-rasional bukan sekedar doktrin yang bersifat dogmatik sehingga manusia ingin selalu melakukan pengujian terhadap kebenaran sebuah peristiwa. Sehingga pernyataan ayat tersebut memberikan penegasan dengan dimulai sebuah pernyataan “Maha Suci” Allah.
Dengan pernyataan Maha Suci maka hal tersebut menegaskan bahwa sia-sia orang yang ingin membatasi ilmu dan kekuasaan Allah sebagaimana adanya pandanagana yang mengatakan bahawa perjalanan israk dan mikraj itu dalam kapasitas rohani Nabi Muhammad. Oleh karena itu, makna kehidupan yang pertama yang bisa ditangkap dari kisah israk dan mikraj adalah penegasan akan keesaan dan kemahakuasaan Allah. Berdasar hal tersebut, maka manusia yang bisa diantarkan menjadi orang yang baik adalah mereka yang telah mencapai derajat pengosongan dari kekuatan alam semesta karena adanya titipan kekuatan pada alam karena yang disebut hakikat hanya Allah SWT.
Hal inilah yang disebut dalam kajian ilmu tasawuf dengan tajrid yaitu meniadakan segala sesuatu wujud dari sebuah kepastian karena semua makhluk yang disebut wujud tidak lebih dari wujud yang mumkin (mumkin al wujud). Hanya Allah yang patut disebut wujud yang hakiki (wajib al wujud). Karena hanya Allah wujud yang wajib dan hakiki maka manusia harus membangun pensucian persepsinya terhadap Allah (tanzih, taqdis). Manakala telah mencapai derajat tersebut maka buah dari seluruh perspektif kehidupan adalah kebebasan manusia yang sesungguhnya dari ketergantungan terhadap alam semesta beserta seluruh isinya.
Munculnya berbagai perilaku buruk manusia pada dasarnya disebabkan karena mereka bersikap interdepensi terhadap berbagai pernik-pernik kehidupan sehingga lahirlah dendam, dengki, khianat, monopoli, oligopoli, otoriter, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan sebagainya. Tugas membangun kembali komitmen terhadap kebenaran dan kebaikan adalah mengembalikan kerangka berpikir kepada wawasan pemikiran yang luhur guna menghasilkan perilaku yang baik. Talcoot Parsons seorang ahli sosiologi menyatakan bahwa akar dari munculnya perilaku yang baik terletak pada empat unsur: organisme, kepribadian, sistim sosial dan sistim budaya.
Organisme adalah turunan perilaku yang dimiliki setiap orang yang berasal dari para orangtua atau leluhur mereka ke atas. Oleh karena itu, dalam Islam misalnya sangat ditekankan kriteria pemilihan calon pasangan yang akan menuju jenjang perkawinan adalah paras yang rupawan, keturunan yang baik dan kekayaan harta benda. Akan tetapi ketiga hal tersebut adalah pertimbangan “antara” sementara persyaratan yang paling ideal menurut Nabi Muhammad adalah pilihan berdasar kepada komitmen keberagamaannya karena itulah yang akan bisa menganatarkan kepada kehidupan yang bahagia.
Dapat dipahami kenapa ahli sosiolog tidak memasukkan pertimbangan agama sebagai komponen yang akan menjadi akar terbentuknya perilaku yang baik. Hal itu disebabkan karena ciri ilmu sosial selalu melihat fakta sosial, proses sosial dan perubahan sosial dan tidak mempertimbanagkan keadaan manusia sebelum lahir demikian juga situasi pada akhir kehidupan yang disebut alam akhirat. Mereka hanya melihat adanya fakta sosial yaitu agama telah muncul sebagai landasan etos yang membentuk pandangan hidup yang selanjutnya melahirkan sistim sosial dan sistim budaya. Sekalipun semestinya, persoalan keberagamaan tidak hanya sesederhana itu akan tetapi menjangkau hal yang lebih mendasar lagi yaitu asal usul kehidupan, makna kehidupan, agande kehidupan dan akhir dari kehidupan.
Rujukan kedua pengetahuan manusia tentang peristiwa agung israk dan mikraj adalah pada Surat Al Najm sebagaimana yang disinggung di atas. Apabila pada Surat Al Israk menjelaskan ide besar dari prosesi israk dan mikraj maka Surat Al Najm sebagai respon terhadap berbagai tanggapan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad yang sebagian diantaranya memandang peristiwa tersebut hanya sebagai informasi dusta. Akibat pengaruh dari logika yang dibangun kaum kafir Quraisy maka tidak tertutup kemungkinan adanya orang yang semula menganut Islam kemudian berbalik arah mendustakan risalah Nabi Muhammad SAW. Tentu saja, sekalipun setiap manusia telah dibekali Allah dengan iman nubuwwah ketika mereka di alam ruh akan tetapi kemudian iman nubuwwah tidak bisa diaktifkan oleh pemiliknya oleh karena dominasi kepentingan hawa nafsu. Oleh karena itu Allah menyatakan bahwa “sama sekali tidaklah sesat sahabatmu (Muhamamad) dan tidak menjadi orang yang jahat”. Muhammad sama sekali tidak pernah bertutur karena dorongan hawa nafsunya” “sesungguhnya segala apa yang disampaikannya adalah wahyu tyang diwahyukan Allah kepadanya”.
Selain dari pernyataan bantahan terhadap sikap kafir Quraisy yang mendustakan Nabi Muhammad SAW kemudian Allah menjelaskan lagi tentang prosesiperjalanan Nabi Muhammad menghadap Allah di Sidrat Al Muntaha. Hal itu menunjukkan bahwa Allah menegaskan bahwa sekalipun israk dan mikraj adalah sepenuhnya kekuasaan Allah akan tetapi kekuasaan Allah itu berlangsung dalam rangkaian perjalanan yang sistimatis jadi bukan hasil dari khayalan atau imajinasi.
Dari uraian di atas, maka secara singkat dapat dikemukakan bahwa makna Rajab dalam perskpetif kehidupan adalah bahwa seluruh kehidupan di alam semesta bukan terjadi secara kebetulan akan tetapi adalah merupakan rancangan dan ketentuan dari Allah. Oleh karena itu diperlukan keteguhan akal manusia untuk selalu berpegang kepada akidah tauhid. Orang yang sungguh-sungguh bertauhid, ia tidak akan diliputi oleh rasa kebimbangan sebagaimana yang dicontohkan dalam pribadi Nabi Muhammad yang sebelum berangkat israk dan mikraj telah dihadapkan kepada dua kesulitan besar dalam perjalanan pengembangan tugas kerasulan sehingga dicatat dalam sejarah Peri Hidup Nabi Muhammad dengan Tahun Dukacita (‘Aam Al Huzn).
Nabi Muhhamd sebagai manusia biasa tentu mungkin saja dilanda oleh pergolakan batin yang dahsyat karena berkaitan dengan pelakasanaan tugas risalah beliau. Maka Allah menurunkan keputusannya untuk lebih memperkuat serta menenangkan hati beliau yaitu dengan israk dan mikraj. Bagi umat Muhammad juga tersedia sarana untuk peneguhan batin yaitu melalui solat karena beliau mengatakan bahwa “solat adalah mikrajnya orang yang beriman”. Berikutnya, umat manusia harus menyadari bahwa kekuatan doktrin sebuah agama tidak cukup dipercayau hanya dengan emosi dan kekuatan imajinatif akan tetapi harus didasari oleh argumen rasional sesuai dengan fase kehidupan manusia yang telah memasuki alam rasionalitas.
Terakhir, betapapun kuatnya sebuah gerakan bertendensi kebatilan tetapi pada akhirnya hanya kebenaran dari Allah menjadi pemenang dari semua pertarungan dalam kehidupan. Oleh karena itu, manusia tidak boleh risau dengan maraknya perkembangan gerakan kebatilan. Setiap umat hendaklah berupaya menyeru orang menegakkan kebenaran menurut kemampuannya karena pada akhirnya yang menjadi pemenang setiap kompetisi adalah kebenaran. Betapapun manusia menutupi rencana perbuatanburuknya akan tetapi pada akhirnya, cepat atau lambat, semua akan bisa terungkap secara terang benderang ke permukaan. Inilah sebagaian kecil dari gambaran optimisme yang dapat dipetik dari Rajab dalam perspektif kehidupan.
Oleh : Dr. Habib Idrus Al-Hamid, S.Ag., M.Si., Rektor IAIN Fattahul Muluk Papua.