Artikel

Shalat dengan Pakaian Najis atau Tanpa Pakaian: Mana yang Lebih Utama?

Dalam ajaran Islam, menutup aurat adalah salah satu syarat sah shalat yang tidak boleh diabaikan. Namun, ada kondisi tertentu di mana seseorang mendapatkan keringanan dalam menutup aurat, seperti tidak memiliki pakaian atau hanya memiliki pakaian yang terkena najis tanpa bisa disucikan.

Menutup aurat dalam shalat adalah perintah yang harus dipenuhi oleh setiap muslim yang mampu. Dalam kitab Fathul Qarib, Syekh Abu Syuja’ menyebutkan:
وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ بِثَوْبٍ طَاهِرٍ فِي حَالِ الْقُدْرَةِ
“Menutup aurat dengan pakaian yang suci dalam keadaan mampu (adalah syarat sah shalat).” (Syekh Abu Syuja’, Fathul Qarib, Bab Syarat-Syarat Shalat.

Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang memiliki pakaian yang suci, maka ia wajib menggunakannya untuk menutup aurat dalam shalat.

Dalam keadaan darurat, hukum menutup aurat dapat berubah sesuai dengan kemampuan seseorang. Kitab I’anatut Thalibin menjelaskan bahwa jika seseorang benar-benar tidak memiliki pakaian untuk menutup aurat, maka ia tetap diwajibkan shalat dalam keadaan telanjang, tanpa perlu mengulangi shalatnya.

أما العاجز عما يستر العورة، فصلي وجوبا عاريا بلا إعادة، ولو مع وجود سائر متنجّس تعذر غسله
“Bagi orang yang tidak memiliki penutup aurat, ia wajib shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengulanginya, meskipun ada pakaian yang terkena najis tetapi tidak bisa disucikan.” (Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Juz 1, Halaman 303, Dar As-Salam).

Namun, jika ia memiliki pakaian yang najis tetapi masih memungkinkan untuk disucikan, maka ia wajib mencucinya terlebih dahulu. Jika ia shalat dengan telanjang padahal masih ada kesempatan untuk mensucikan pakaian, maka shalatnya dianggap tidak sah.

لا من امكنه تطهيره، وان خرج الوقت
“Tidak berlaku bagi orang yang mampu mensucikannya, meskipun itu menyebabkan ia shalat di luar waktu yang ditentukan.” (I’anah At-Thalibin, Juz 1, Halaman 303,).
Dalam keadaan di mana seseorang hanya memiliki pakaian yang tidak cukup untuk menutupi seluruh auratnya, maka ada ketentuan mengenai skala prioritas dalam menutup aurat. Seseorang yang memiliki pakaian terbatas harus menutupi qubul dan duburnya secara bersamaan terlebih dahulu. Jika kain yang dimilikinya terlalu kecil untuk menutup keduanya sekaligus, maka ia wajib mendahulukan menutup qubul sebelum dubur.

ولو قدر على ساتر بعض العورة لزمه الستر بما وجده، وقدم السّوأتين، فالقبل، فالدّبر.
“Jika ia hanya memiliki pakaian yang bisa menutupi sebagian auratnya, maka ia wajib menutup aurat dengan apa yang ia miliki, dan harus mendahulukan menutup qubul dan dubur, dengan prioritas utama pada qubul sebelum dubur.” (I’anah At-Thalibin, Juz 1, Halaman 303,).

Dari berbagai penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa menutup aurat dalam shalat adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan kecuali dalam kondisi benar-benar darurat. Jika seseorang tidak memiliki pakaian sama sekali atau hanya memiliki pakaian yang najis tanpa bisa disucikan, maka ia tetap wajib shalat sesuai dengan keadaannya tanpa perlu mengulanginya. Namun, jika ada cara untuk mensucikan pakaian dan masih memungkinkan untuk melakukannya, maka ia harus mensucikan pakaiannya terlebih dahulu meskipun hal itu menyebabkan shalatnya terlambat.

Ketentuan ini menunjukkan bagaimana Islam memberikan kemudahan bagi umatnya dalam kondisi tertentu, tanpa menghilangkan kewajiban utama dalam beribadah.*

*Kafa Nial Agil At-Tamamy: Mahasiswa Al-Azhar Kairo Asal Jember yang Memberoleh Beasiswa LPPD Jatim 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *