Agama dalam Konstitusi RI (Menghidupkan Nilai-nilai Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen)
Pada Bab XI Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia tercantum judul Agama lalu kemudian diikuti dengan Pasal 29 ayat (1) Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Berbagai pengertian dapat ditarik dari penegasan bunyi undang-undang dasar itu. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang mencakup dua hal.
Pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan bahwa urusan agama bukan hanya menjadi wilayah privat atau pribadi akan tetapi menjadi bagian dari urusan negara. Oleh karena itu, keberadaan Kementerian Agama memiliki kedudukan yang khusus dalam struktur kenegaraan kita sehingga dinyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa setiap manajemen kenegaraan harus selalu berangkat dari prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian Ketuhanan Yang Esa disini adalah sesuai dengan pemahaman setiap warga masyarakat tentang pengertian Ketuhanan. Tentulah dalam berbagai fakta sosial menunjukkan bahwa sejalan dengan perjalanan kesejarahan tentang keyakinan masyarakat terdapat berbagai formulasi yang bukan hanya berbeda antara satu keyakinan dengan keyakinan lainnya akan tetapi juga malah saling bertentangan misalnya antara tauhid dengan trinitas. Akan tetapi hal itu tidak menjadi otoritas manusia untuk mempersatukannya karena Tuhan telah menganugerahkan kepada setiap manusia kebebasan (ri’ayah) untuk memahami makna keyakinan bertuhan itu. Tentulah makna kebebasan anugerah Tuhan tersebut bukanlah percuma akan tetapi menuntut pertanggungjawaban dari setiap pilihan (mas-uliah).
Kedua, agama telah menjadi bagian dari wilayah publik bukan hanya sebagai urusan privat sebagaimana sistim sosial yang dianut oleh masyarakat moderen yang sekularistik. Hal ini disebabkan karena selain ditinjau dari aspek sosiologis bahwa agama telah hadir secara nyata dalam berbagai kehidupan sosial mulai dari kelahiran, perkawinan sampai kepada kematian akan tetapi agama dalam sejarah kelahiran bangsa Indonesia juga telah menjadi landasan etos kerja bagi setiap insan Indonesia. Sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka selalu kembali kepada kesadaran berketuhanan. Sejalan dengan itu, sekalipun persoalan keberagamaan adalah kondisi kejiwaan yang terhunjam dalam sanubari setiap manusia sehingga agama menjadi keyakinan yang sifatnya personalistik akan tetapi juga membentuk berbagai perilaku sosial. Sehingga relitas wawasan keberagamaan menjadi faktor pendorong terjadinya berbagai perubahan baik yang sifatnya kemunduran maupun kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pencantuman agama menjadi bab tersendiri dalam konstitusi RI pada dasarnya bukanlah sebagai “kealpaan” sejarah sebagaimana hal ini kemungkinan dimaknai oleh corak pemikiran sekuler akan tetapi adalah memang suatu “kemestian” sejarah. Persoalannya adalah apakah bangsa Indonesia memiliki kearifan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana terbuhul dalam peta berpikir dari para pendiri bangsa yang telah dirumuskan 69 tahun yang lalu. Oleh karena itu, penegasan pada Bab XI tentang agama itu hendaknya tidak berhenti sekedar sebagai ornamen sejarah akan tetapi hendaklah menjadi dasar implementasi dan aktualisasi dalam perjalanan masa depan bangsa Indonesia. Di antara unsur terpenting dalam perwujudan Bab XI itu adalah perlunya rumusan panduan dalam penyelenggaraan seluruh kehidupan ketatanegaraan kita tentang format ideal kehidupan beragama. Adanya format ideal kehidupan beragama dimaksudkan sebagai peta jalan (road map) yang mempertemukan nilai-nilai universal agama dalam seluruh rangkaian pembangunan bangsa baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial dan sebagainya. Demikian juga, pembangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mempengaruhi wawasan keberagamaan agar tidak muncul kesan bahwa wacana keberagamaan menghambat proses pembangunan. Dalam perjalanan pembangunan tidak tertutup kemungkinan terjadinya kondisi ketika agama berseberangan dengan pembangunan dalam bentuk wawasan kebragamaam selalu dipersepsikan menilai negatif perjalanan pembangunan dan demikian juga pembangunan, menilai agama tidak sejalan dengan tujuan pembangunan karena agama selalu berangkat dari prinsip masa lalu sedang pembangunan berangkat dari prinsip masa depan. Dilihat dari kemungkinan wawasan keberagamaan menjadi penghambat pembangunan (barrier to change) menurut George M Foster tersimpul pada tiga hal yaitu (1) cultural barrier yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap, struktur budaya dan pola-pola penggerak dan kedudukan dari wujud adat istiadat (2) social barrier yang terdiri dari solidaritas kelompok, konflik, muatan otoritas dan karakteristik dari struktur sosial (3) psychological barrier yaitu perbedaan persepsi terhadap dasar persilangan budaya, persoalan komunikasi dan problem pembelajaran. Pada sisi lain, faktor hambatan ini dapat berasal dari level individu maupun level sistim sosial (Soetomo, Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal. 158-159).
Dengan pencantuman bab agama dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia baru merupakan tahapan pertama dari cita-cita ideal menjadikan Indonesia sebagai negara yang religius menuju kepada negara yang adil makmur, berkemajuan, sejahtera lahir dan batin. Secara filosofis dan yuridis, perjuangan memang sudah selesai akan tetapi pada tataran implementatif maka hal itu menjadi tugas sepanjang masa dari generasi ke generasi berikutnya. Sebuah penegasan dalam bab konstitusi tidak akan serta merta menjadikan bangsa ini dengan seluruh peraturan pelaksanaannya bernafas religius. Hal itu tergantung usaha dan kerja keras dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan prinsip agama itu tidak hanya indah dalam tulisannya akan tetapi bermasalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi serta internalisasi sehingga upaya mengkaitkan nilai-nilai universal agama dalam perencanaan pembangunan tidak menjadi momok yang menakutkan terutama akibat dari sempalan-sempalan pemikiran keagamaan yang berpola radikal, fundamental. Karena bisa jadi, adanya kecenderungan berpikir sebagian masyarakat menjadi radikal, konservatif dan fundamental adalah sebagai perwujudan rasa kecintaan kepada bangsa yang berakibat kekhawatiran mereka terhadap perjalanan kehidupan bangsa akan terjerumus kepada pola pemikiran yang sekularistik. Oleh karena itu diperlukan upaya rekonsiliasi dari berbagai kecenderungan pemikiran warga bangsa agar secara bersama mengambil tanggungjawab untuk memajukan pembangunan di tanah air.
Oleh : Prof. Dr. KH. M. Ridwan Lubis, M.A. (Ketua PBNU 2004 – 2010 & Guru Besar UIN Jakarta)