KH. Abdul Chayyi, Pegiat Literasi dari Jember Selatan
Dalam buku lawas berjudul–kalau tak salah ingat–“Pekan Raja Buku 1954” terbitan Gunung Agung tahun 1954, yang saya baca sekilas di kiosnya Erwin Dian Rosyidi alias Erwin Buku Kuno beberapa tahun lalu, tercatat nama-nama penerbit serta toko buku di Indonesia. Nama, sekilas riwayat hidup dan foto aktivis perbukuan juga dicantumkan. Beberapa toko buku di berbagai daerah juga disebutkan berikut nama pemilik dan alamatnya.
Sebagai orang Jember, saya langsung mengecek entri Djember. Benar, di tahun 1954 itu, di Jember telah berdiri beberapa toko buku. Di antara yang tertera adalah toko buku di Kentjong Djember yang dikelola oleh Abd Chayyi.
Nama terakhir ini saat itu–saya kira–telah merintis diri menjadi aktivis Nahdlatul Ulama. Alumni Pesantren Tebuireng ini di kemudian hari juga menjadi anggota DPRD Jember dan juga menjadi Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Cabang Kencong mendampingi KH Djauhari Zawawi, Pengasuh Pesantren Assunniyah Kencong. Kiai Chayyi wafat kurang lebih 40 hari setelah wafatnya Kiai Djauhari, 1994. Duet pejuang hingga akhir hayat.
Kita bisa melihat, di kota kecamatan seperti Kencong, di era 1950-an, Kiai Chayyi yang beberapa tahun sebelumnya lulus dari Tebuireng sudah punya keinginan mendirikan toko buku. Jelas ini bukan usaha mudah, sebab selain akses transportasi dan telekomunikasi yang masih terbatas, minat baca dan gairah beli buku zaman itu masih minim. Tapi kendala ini tak menyurutkan langkahnya, terbukti, Toko Buku miliknya masuk katalog buku terbitan Gunung Agung ini. Sebuah upaya membumikan literasi di sebuah kota kecamatan di Jember. Kiai Chayyi ini aktivis tulen. Puluhan tahun mengabdi di NU Kencong, sejak NU menjadi parpol hingga balik lagi menjadi Ormas. Dirinya adalah dokumentator dan organisator ulung. Meskipun, sayang sekali, banyak dokumentasi-arsip PCNU Kencong yang hilang dan rusak. Selain buku tipis “Sejarah Berdirinya NU Cabang Kencong” yang ditulis, ada beberapa notulensi rapat PCNU yang terselamatkan. Catatan ini ditulisnya dalam buku tulis tebal. Di antara yang masih bisa dibaca adalah hasil rapat penyusunan pengurus NU Cabang Kencong tahun 1969, notulensi rapat sebagai anggota DPRD Jember, poin-poin sambutan dan pengarahan, serta catatan rapat PCNU Kencong di kediaman KH Djauhari Zawawi, sekaligus pembentukan Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (tanggal rapat, 19 Januari 1984). Tulisan latin Kiai Chayyi sangat rapi. Halus, miring ke kanan, dan klasik. Tulisan Arabnya juga tapi. Pakai khat gaya Riq’ah. Serapi tulisan latinnya. Sahabat saya, Y. Setiyo Hadi, pegiat Sejarah Jember, memperoleh buku catatan ini dari keluarga Kiai Chayyi.
Polarisasi Jagat Perbukuan
Di Hari Buku ini, bukan hanya sekilas profil Kiai Chayyi yang hendak saya tulis, melainkan polarisasi jagat perbukuan yang terjadi satu dasawarsa usai kemerdekaan. Di antaranya, penerbit dan toko buku dikuasai oleh orang Jawa, Arab, dan Tionghoa. Hal ini terlihat dari nama-nama yang termuat dalam entri pemilik penerbitan dan toko buku. Selain itu ada juga beberapa nama khas beraroma bule yang nangkring sebagai nama ‘pemilik’.
Hal ini mengindikasikan jaringan penerbit dan toko buku hanya berporos di kota besar. Etnis Jawa, Arab dan Tionghoa memiliki akses khusus di bidang penerbitan sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang. Karena itu ketika kemerdekaan berkumandang, secara infrastruktur mereka telah siap. Hal ini berbeda dengan suku lainnya yang harus pontang-panting mendirikan penerbitan, apalagi di kota kecil.
Selain itu, hal ihwal penerbitan di Komunitas Arab dan Tionghoa harap dimaklumi, karena selain memiliki previlis di Kampung Arab dan Pecinan, mereka juga menjaga adat, tradisi dan hubungan dengan negara leluhurnya melalui pasokan buku-buku impor yang telah berlangsung sejak berpuluh tahun sebelumnya. Sampai saat inipun, orang Arab masih menjadi bos beberapa penerbitan di kawasan Kampung Arab daerah Ampel, Surabaya. Yang paling kondang tentu Pak Haidar Bagir, bos Mizan, itu. Bagaimana dengan orang Tionghoa? Ini yang unik. Entah karena dikepras geraknya oleh Orde Baru atau karena faktor lain, orang Tionghoa jarang yang berkiprah di dunia penerbitan dan toko buku, kecuali banyak dari mereka yang menjadi bos percetakan buku (harap dibedakan: penerbitan dan percetakan).
Kalau orang Jawa masih banyak yang berkecimpung di jagat penerbitan dan jaringan toko buku. Urang Sunda punya kiprah penerbitan selama puluhan tahun melalui Penerbit Remaja RosdaKarya, misalnya. Madura beberapa saja (inipun ada di Yogyakarta. Edi Mulyono, bos Diva, itu di antaranya). Sedangkan orang Padang mengalami kebangkitan sejak medio 90-an dalam industri perbukuan melalui jejaring penerbit RajaGrafindo Persada.
Bila perputaran industri perbukuan semakin dinamis, kelak, persaingan di jagat penerbitan semakin ketat dengan kompetitor yang variatif: bukan hanya soal etnis, melainkan pada konteks corak keberagamaan di Indonesia. Wallahu A’lam
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di website PCNU Kencong dengan memodifikasi judul
Oleh: Rijal Mumazziq Z Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (Inaifas) Kencong, Jember, Jawa Timur.