Mengenang Kembali Sosok Gus Dur di UIN Maliki Malang
Kiranya banyak orang tidak tahu, bahwa Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki hubungan sejarah yang sangat dekat dengan UIN Malang. Ketika kampus ini, masih bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, Gus Dur pernah menjadi dosen luar biasa. Ceritanya juga unik. Bukan Gus Dur melamar menjadi dosen, tetapi justru sebaliknya. Gus Dur diminta oleh Pak A.Malik Fadjar-waktu itu sebagai sekretaris fakultas, agar bersedia menjadi dosen di tingkat doctoral.
Hingga sampai pulang dari Baghdad, Irak, Gus Dur ternyata belum mendapatkan ijazah sarjana. Kemudian apakah ijazah masih dianggap penting, atau alasan apa, Gus Dur berniat kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya di tingkat doctoral. Oleh karena dia tidak memiliki dokumen yang diperlukan, niat itu ternyata ditolak oleh Rektor. Tentu, akhirnya niat itu tidak terlaksana.
Mendengar kabar bahwa Gus Dur berniat kuliah itu, maka Pak A.Malik Fadjar, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, mendatangi Gus DUs ke Jombang. Pak Malik menawarkan, agar Gus Dur bergabung saja ke IAIN Malang. Dijelaskannya kepada Gus Dur, bahwa di IAIN Malang juga telah ada program doctoral. Pak Malik Fadjar, sedemikian percaya terhadap kematangan dan luasnya ilmu serta wawasan Gus Dur, sehingga menawarinya menjadi dosen di tingkat doctoral. Namun dalam ceritanya, Gus Dur tidak segera menerima, dengan alasan tidak punya pangkat akademik. Pak Malik Fadjar, menyanggupi akan memberi, sebagaimana yang diperlukan, yaitu pangkat IV a atau rector kepala.
Cerita itu memang agak aneh, di IAIN Surabaya Gus Dur sekedar melamar untuk menjadi mahasiswa ditolak, sementara di IAIN Malang justru mendatangi beliau ke kediamannya, agar Gus Dur berkenan menjadi dosen di tingkat doctoral. Perbedaan pandangan antar orang seringkali memang melahirkan keputusan yang berbeda. Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, ketika itu, menolak Gus Dur karena berpegang pada aturan formal. Sekalipun diketahui bahwa Gus Dur telah menyandang ilmu yang dalam dan luas, tetapi karena tidak memiliki dokumen resmi yang cukup, maka tidak diterima menjadi mahasiswa.
Sebaliknya, Pak Malik Fadjar, ketika itu melihat Gus Dur dari aspek yang lebih substantif. Gus Dur sekalipun tidak punya ijazah, ilmunya dianggap telah melebihi orang-orang yang mempunyai ijazah. Atas dasar pandangan itu maka diputuskan, apa salahnya orang yang berilmu tidak disuruh sekolah, melainkan justru ditugasi mengajar. Di mata Pak Malik Fadjar, Gus Dur ketika itu lebih cocok menjadi dosen tingkat doctoral daripada sebatas menjadi mahasiswa di tingkat itu.
Atas inisiatif Pak Malik Fadjar, akhirnya KH. Abdurrahman Wahid menjadi dosen di tingkat doctoral IAIN Malang. Saat ini kampus tersebut telah berubah menjadi UIN Maliki Malang. Hingga beberapa semester Gus Dus masih mengajar di IAIN Malang, hingga akhirnya berhenti karena ia harus pindah ke Jakarta. Hanya karena faktor jarak dan belum ada sarana transportasi semudah sekarang, Gus Dur tidak mengajar di IAIN Malang, sekalipun hingga beliau menjabat sebagai presiden dan bahkan sampai wafat belum pernah diterbitkan surat pemberhentian.
Selanjutnya, Gus Dur berkunjung lagi ke IAIN Malang, ketika beliau menjabat sebagai Presiden RI. Gus Dur diundang ke IAIN Malang–ketika itu kampus IAIN Malang telah berubah menjadi STAIN Malang, untuk meresmikian penggunaan Ma’had Sunan Ampel al Aly. Selain meresmikan fasilitas tersebut, beliau berkenan memberi kuliah umum di hadapan para pimpinan kampus, dosen, mahasiswa, dan para undangan lainnya. Beliau berkenan hadir di kampus ini, karena merasa ada ikatan sejarah, —–pernah menjadi dosen di kampus ini, dan juga menganggap bahwa upaya menyempurnakan Perguruan Tinggi Islam dengan tradisi Ma’had, sebagai langkah atau strategi yang tepat.
Pada saat Gus Dur hadir di kampus, sebagai Ketua STAIN Malang, saya berkesempatan mendampingi beliau makan siang. Dalam kesempatan itu, beliau berpesan, yang saya anggap sedemikian serius dan mendalamnya pesan itu. Beliau mengatakan bahwa konsep perpaduan antara pendidikan tinggi Islam dengan tradisi Ma’had adalah sebuah bentuk pendidikan tinggi Islam yang ideal. Saya masih ingat betul pesan itu, disampaikan dengan menggunakan Bahasa Jawa, dengan mengatakan bahwa : “Pak Imam, konsep pendidikan gabungan antawis perguruan tinggi lan pesantren sampun leres lan sampun pas. Pramilo, kulo wanti-wanti, sampun diubah, monggo diterusake. Bentuk pendidikan mekaten ingkang dados idam-idamanipun poro ulama rumiyin”. Nasehat yang disampaikan dengan menggunakan Bahasa Jawa halus tersebut oleh beliau diulang-ulang, yang hal itu saya maknai sebagai sedemikian pentingnya.
Pesan KH Abdurrahman Wahid, seorang Kiai yang juga sekaligus mantan Presiden RI, yang pada saat ini telah dipanggil oleh Allah swt., wafat., kiranya perlu menjadi perhatian bagi para pelanjut kampus ini. Gus Dur menganggap bahwa type ideal perguruan tinggi Islam adalah paduan antara lembaga pendidikan yang mengembangkan aspek-aspek cultural sekaligus kemodernan. Ma’had atau pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan cultural yang mengembangkan aspek spiritual dan akhlak, seharusnya dipadukan dengan pendidikan modern, yaitu bentuk perguruan tinggi, yang mengembangkan aspek intelektual dan professional.
Konsep paduan bentuk pendidikan perguruan tinggi dan ma’had di UIN Maliki Malang sudah berjalan kurang lebih 12 tahun, dan ternyata semakin dirasakan manfaatnya. Kementerian Agama, akan menjadikannya konsep tersebut sebagai model pengembangan PTAIN pada umumnya. Lebih dari itu, konsep ini ternyata juga diadopsi oleh perguruan tingggi umum, dengan melengkapi kampusnya dengan fasilitas rusunawa dan atau asrama mahasiswa. Akhirnya, apa yang dikatakan Gus Dur ternyata benar. Semakin lama, konsep ini semakin diakui kebenarannya oleh masyarakat luas.
Atas dasar uraian di muka, maka Gus Dur sesungguhnya memiliki ikatan yang mendalam dengan kampus ini. Oleh karena itu, atas seijin keluarga, untuk mengenang ikatan itu, dan sekaligus agar pikiran, pandangan, keberanian, keterbukaan, jiwa kebangsaan, serta semangat keilmuannya mewarnai warga kampus, maka saya selaku Rektor menamai Perpustakaan UIN Maliki Malang dengan nama Perpustakaan KH Abdurrahman Wahid. Wallahu a’lam.
Oleh: Prof. Imam Suprayogo, Pensiunan Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Editor: Wildan Miftahussurur