Opini

Refleksi Makna Hijrah dalam Konteks Kekinian

Setelah ada perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk berhijrah, Nabi Saw. segera menyampaikannya kepada Abu Bakar dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama. Abu Bakar menangis kegirangan dan langsung membeli dua ekor unta dan menyerahkan kepada Nabi Saw agar memilih yang dikehendakinya. Akan tetapi Nabi tidak mau menerima dengan gratis unta yang ditawarkan sahabatnya itu. Setelah Abu bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun Nabi Saw. tetap menolak, akhirnya Abu Bakar setuju untuk menerima sejumlah uang dari Nabi sebagai ganti dari harga unta yang dibelikannya untuk Nabi Saw. Yang menjadi pertanyaan adalah; kenapa Nabi tidak mau menerima pemberian Sahabatnya itu, padahal sebelumnya Nabi Saw. sering menerima pemberian darinya?.

Nampaknya Nabi Saw. ingin memberikan pelajaran kepada kita bahwa hijrah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah membutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang yang melakukannya. Nabi bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta tersebut, Nabi mengajarkan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, tidak boleh mengabaikan sedikit pun kemampuan, selama kemampuan itu ada pada kita.
Hijrah secara etimologi artinya berpindah. Secara terminologi ia mengandung dua makna : hijrah makani (tempat/fisik), dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri yang lain yang lebih baik. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Atau dengan kata lain, hijrah kepada jalan yang di ridlai Allah dan Rasulnya.

Dalam konteks kekinian, hijrah Maknawi nampaknya yang harus lebih diprioritaskan untuk dikaji, karena mayoritas umat hampir tidak memahami makna hijrah yang sebenarnya yang dapat selalu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Berikut makna-makna hijrah yang dapat kita refleksikan dalam setiap detik perkembangan zaman.

Pertama: Hijrah dalam keyakinan (i‘tiqadiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah menumbuhkan tekad dan komitmen penuh untuk melakukan hijrah dari berbagai “tuhan” dalam hidup kita, termasuk tuhan-tuhan tokoh, harta, kedudukan, persepsi dan lain-lain. Menuju kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, Allah SWT.

Barangkali, wacana ketuhanan Ibrahim bisa menjadi contoh. Ibrahim memulai menemukan tuhannya dalam bentuk bintang-bintang. Namun karena timbul bulan yang kelihatannya lebih besar dan bersinar, ia pun memiliki keberanian untuk mengatakan “tidak” kepada bintang-bintang tersebut. beberapa masa kemudian, ternyata bulan seolah menghilang dari pancaran mentari yang bersinar. Maka dengan kebesaran jiwa yang dimilikinya, Ibrahim mampu melepaskan diri dari mempertuhankan bulan menuju kepada keyakinan akan ketuhanan matahari. Tapi tatkala matahari tengelam, ia pun berkesimpulan, “inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara as-samawaati wa al-ardh hanifan musliman wa maa ana min al -musyrikiin”.

Proses pencapaian kemurnian akidah Ibrahim ini adalah contoh konkrit yang sering terjadi dalam kehidupan kita. Betapa kekaguman kita terhadap seorang tokoh misalnya, namun jika pada ahirnya fakta mengharuskan kita untuk mengambil sikap bersebelahan, maka kita harus melakukannya. Sikap sebagian ummat selama ini, yang cenderung mengidolakan (memberhalakan) pemimpin sudah masanya diilhami oleh hijrah (perpindahan positif) ke arah yang lebih positif.

Kedua: Hijrah dalam pola ibadah (Ta’abbudiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah menumbuhkan tekad dan komitmen penuh dari ummat ini untuk melakukan perubahan konsepsi terhadap ibadah dalam Islam. Selam ini ummat masih memahami makna ibadah sebagai kegiatan ritual yang terlepas dari masalah-masalah sosial dalam kehidupannya. Konsekwensinya, terjadi “personal split” (personalitas yang kontradiktif), di satu sisi merasa menjadi hamba yang saleh karena banyak melakukan haji, namun di sisi lain, tanpa menyadari, menjadi hamba yang korup dalam berbagai bentuknya.?

Pemahaman terhadap konsepsi ibadah di atas sudah masanya dirubah, di-reform, sehingga ummat ini tidak lagi kehilangan banyak kunci-kunci syurga. Kunci-kunci syurga dalam bentuk amal-amal kemasyarakatan, termasuk dalam pengelolaan negara dan bangsa. Untuk ini, khutbah jum’at sudah harus dirubah isinya, yang selama ini melihat pembicaraan mengenai hal-hal politis, di anggap tabu. Sebab hanya menyadarkan ummat akan makna ibadah dalam proses amar ma’ruf, penegakan keadilan dan penanaman motivasi agar ummat bangkit melakukan kewajiban dan memperjuangkan hak, ummat akan terhindar dari perilaku penguasa yang cenderung memperbudak.

Ketiga: Hijrah dalam bentuk moral dan etika (Akhlaqiyah). Hijrah dalam konteks ini adalah perubahan perilaku, baik lahir maupun bathin, ke arah yang Islami. Akhlaq yang di ajarkan oleh Islam sesungguhnya adalah perilaku manusia yang universal. Satu contoh misalnya, ketika di musim haji anda akan merasakan betapa sikap manusia akan beragam, termasuk yang sangat “kasar” (melompat di atas kepala sesama yang lagi duduk berdzikir) misalnya, padahal, dalam hadis disebutkan bahwa di larang duduk di antara dua orang tanpa seizinnya (hadits). Lalu bagaimana melompati kepala orang?

Keempat: Hijrah dalam pemikiran dan budaya (Aqliyah Tsaqafiyah). Dalam konteks ini hijrah diartikan sebagai sebuah tekad untuk membenahi sistem pemikiran dan cara pandang kita sebagai muslim. Salah satu ajaran penting Islam dalam hal ini adalah bahwa manusia telah di muliakan dengan kemampuan intelektual. Oleh sebab itu adalah pengingkaran terbesar terhadap ni’mat Allah jika kemampuan ini tersia-siakan, dengan mengekor kepada cara pandang orang lain tanpa reserve. Termasuk cara pandang dalam melihat kehidupan misalnya. Amerika yang di persepsikan sebagai “the most super power”, cenderung diikuti dalam berbagai kebijaknnya.

Tanpa di sadari sebagian ummat ini terlibat dengan perilaku ini, yang sesungguhnya pada saat yang sama terjatuh dalam sebuah penjajahan baru, yaitu intellectual colonization (penjajahan intellektual).

Kelima: Hijrah dalam institusi keluarga (Usrawiyah). Yaitu tekad dan komitman baru untuk melakukan perubahan dalam pola pembangunan keluarga. Keluarga di sebutkan secara khusus karena keluarga merupakan institusi terpenting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Gagalnya institusi keluarga merupakan kegagalan dalam institusi dalam kemasyarakatan yang lebih luas? kalau selama ini, sebagian ummat terlalu “materialistic minded” dalam membangun kehidupan keluarganya, mungkin sudah masanya di lakukan pembenahan dengan perubahan ke arah yang lebih seimbang antara “material dan spiritual”.

Jika ummat terlalu termotivasi untuk mendidik anak ke jenjang tertinggi, dengan gelar doktor dalam bidang ekonomi, politik, dan lain-lain. Mungkin sudah masanya di barengi dengan pendidikan tertinggi pula dalam hal kerohanian. Intinya, hijrah ke arah kehidupan keluarga yang Islami, yang di tandai oleh kesuksesan dunia akhirat (fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah). Keenam: Hijrah dalam konteks sosial kemasyarakatan ( Ijtima’iyah).
Hijrah dalam konteks ini berupa tekad dan komitmen dari semua anggota ummat ini untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif dalam kehidupan jama’ahnya, dalam segala skala kehidupannya, baik politik, ekonomi, legal, hukum dan lain-lain. Untuk mencapai perubahan ini, di perlukan strategi-strategi yang sesuai, yang menuntut kemampuan ijtihadiyah dari anggota ummat ini. Mungkin akan keliru, jika ada di kalangan ummat ini yang mengaku bahwa metode pencapaian jama’ah yang paling benar adalah miliknya semata (eksklusif). Berbagai kelompok, yang berada pada jalur ini (upaya pencapaiannya), berada pada persimpangan “ijtihadi” yang mingkin benar dan mungkin salah. Yang pasti, bahwa memang ada perbedaan kadar kebenaran dan kesalahan yang di miliki masing-masing kelompok tersebut. tinggal bagaimana agar kebenaran yang ada pada masing-masing pihak dapat di koordinasikan sehingga mampu menutupi kekurangan-kekurangan yang ada.
Apabila spirit hijrah secara maknawi ini dapat ditangkap dan dihayati oleh setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Krisis multidimensional dan tantangan global seerta derasnya demoralisasi dengan sendirinya akan terkikis habis.

Oleh : Dr. KH. Abdullah Syamsul ‘Arifin M.H.I., Ketua Tanfidziyah PCNU Jember.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *