Tafsir Psikologis Wabah Penyakit
Setiap orang pasti pernah sakit. Nabi sekalipun. Sakit adalah bagian dari cara Tuhan memberi pelajaran buat manusia. Setebal apa iman seseorang. Ada yang ringan, ada pula yang berat.
Secara biologis, sakit bisa diukur. Jika sakit A maka obatnya B. Jika sakit ini, maka terapinya dengan itu. Agar tidak sakit, hindari ini, jauhi itu, dan seterusnya. Namun, secara spiritual, berat tidaknya sakit tergantung cara kita memandang dan merespon.
Ada orang yang baru kena flu biasa, sikap dan responnya berlebihan. Tiap hari bikin status keluhan di Medsos. Tidak enak ini dan itu. Merasa Tuhan tidak sayang, dan seterusnya. Sebaliknya, ada orang kena sakit berat justru disikapi dengan ringan. Stay cool.
Nabi Ayub adalah contoh konkritnya. Dalam sejarah, ia menyikapi sakit beratnya dengan wajar. Meski pedih secara fisik, dia selalu tersenyum dan tetap bersyukur. Bahkan dengan sakitnya, Nabi Ayub bisa menjadikannya momentum untuk meningkatkan kebahagiaan spiritualnya.
Syahdan, saat kita sehat, suatu waktu pasti kena sakit. Siapapun, tanpa kecuali. Karena keduanya memang berpasangan. Nabi Ayub as mengajarkan dengan apik bagaimana menyikapi sakit berat dengan wise dan rileks. Bahkan sakitnya dijadikan media untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Apa yang dirasakan Nabi Ayub as pernah juga dialami oleh Victor Frankl, seorang neurolog asal Austria. Maksudnya, sama-sama pernah mengalami penderitaan sangat berat. Kalau nabi Ayub as menderita sakit kulit parah dalam jangka panjang, sementara Victor Frankl menderita karena siksaan keji di kamp konsentrasi Nazi.
Victor Frankl adalah tipikal ilmuan sejati. Apa yang ia lihat dan rasakan selama menjadi tahanan coba dianalisis. Akibat beban derita yang berat, lalu ia mencoba menerima fakta dengan baik. Dalam bahasa agamanya, ia menerima dan ikhlas agar penderitaannya tidak semakin berat. Frankl mampu “mengubah” penderitaan menjadi kebahagiaan spiritual.
Setelah selamat dari kematian, ia lalu pergi dan merenungi apa yang ia rasakan dan lihat. Dari sinilah kemudian lahir teorinya yang sangat terkenal bernama logoterapi. Teori yang didasarkan pada upaya memfokuskan klien kepada pengenalan dan penerimaan dirinya sendiri dengan cara-cara bermakna sebagai bagian totalitas menerima dunia nyata agar berdampak positif.
Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian selain dimensi ragawi dan kejiwaan. Juga beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakannya.
Ada tiga prinsip utama logoterapi, yaitu:
Pertama, hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi. Dalam bahasa agama, apapun kondisi kita pasti ada hikmahnya. Bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
Kedua, setiap individu memiliki kebebasan yang hampir tidak terbatas (free will) untuk menentukan sendiri makna hidupnya. Dari sini kita dapat memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu makna positif ataupun makna negatif. Makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup bermakna.
Ketiga, setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap peristiwa pedih yang menimpa dirinya dan lingkungan sekitar. Contoh paling jelas seperti kisah nabi Ayub di atas. Nabi Ayub as jelas-jelas mendapatkan ujian dari Allah sangat berat, tetapi ia mampu memaknai apa yang terjadi secara positif, bahkan sebagai jalan lebih mengenal tentang kesejatian dirinya.
Tiga Konsep Sakit
Secara akademik, sakit terkait dengan tiga konsep. Disease, illness, dan sickness. Ketiganya menunjuk bahwa sakit mengandung dimensi psikososial. Disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis. (Calhoun, dkk, 1994).
Disease adalah penyimpangan yang simptomnya diketahui melalui diagnosis. Penyakit yang berdimensi biologis. Sifatnya obyektif. Ia bersifat independen dan bebas dari pertimbangan psikososial. Kemunculannya tidak dipengaruhi oleh keyakinan seseorang, seperti tumor, influensa, AIDS dan lain-lain.
Sementara Illness adalah konsep psikologis. Ia menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subyektif seseorang tentang ketidaksehatannya. Keadaan tubuh ada yang dirasa tidak enak. Sebagai pengalaman subyektif, illness bersifat individual. Seseorang yang merasa terjangkit suatu penyakit, belum tentu dipersepsi atau dirasakan oleh seseorang. Namun bagi orang lain hal itu justru di rasakan sakit.
Sedangkan Sickness merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness atau disease). Dalam keadaan sickness ini orang dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran atau kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat.
Kesakitan dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan peran khusus yang dilakukan terkait perasaan kesakitannya, sekaligus memiliki tanggung jawab baru, yaitu mencari kesembuhan. Orang yang sedang sakit tentu punya keharusan untuk berobat agar sembuh. Kenapa? Karena hakikat manusia sejatinya sehat dan bugar.
Jadi, “sakit” itu dapat berdimensi subyektif-kulturalistik. Setiap masyarakat memiliki pengertian sendiri tentang sakit sesuai pengalaman dan kebudayaannya. Seseorang disebut sakit saat diakui oleh masyarakatnya jika sesuai dengan pertimbangan nilai, keyakinan dan norma sosialnya.
Nah, bagaimana cara kita menyikapi wabah penyakit Corona yang belakang ini menghebohkan? Akankah virus ini bisa kita sikapi seperti jenis penyakit yang lain? Jawabannya tergantung bagaimana kita mempersepsi penyakit menular ini. Adanya penyakit, apalagi yang mewabah seperti virus Corona pasti memiliki dimensi ketiganya, disease, illness, dan sickness. Kenapa?
Virus Corona, SARS, MERS, Flu Burung dan semacamnya, secara medis akan disikapi dengan pendekatan rasional. Virus dapat diobati dengan vaksin, dan dicegah dengan gaya hidup sehat, dan seterusnya. Saat bersamaan, muncul perasaan orang-orang tentang virus tersebut dengan kekhawatiran berlebihan, sehingga menurunkan imunitas tubuh, dan akhirnya bisa terjangkit. Juga muncul keyakinan adanya azab Tuhan datang atas dosa-dosa manusia yang dilakukan. Setelah terjangkit mereka mencoba berobat. Artinya, dimensi ketiganya muncul secara bersamaan. Terlebih hingga saat ini penyakit tersebut belum ditamukan vaksin yang mampu mencegahnya.
Secara psikologis, perasaan takut, khawatir, dan cemas justru akan menimbulkan stress yang dapat mengurangi ketahanan tubuh. Artinya, ada faktor psikologis yang menjadikan seseorang menjadi sakit. Dalam situasi tersebut masuk kategori “illness” dimana setiap individu akan merasakan hal yang berbeda. Di sinilah yang akan membedakan antara individu dengan individu lain dalam menghadapi suatu penyakit yang ditentukan oleh gaya hidup dan paradigma (cara pikir) secara bersamaan.
Bagi kita umat beragama, bahwa wabah penyakit menjadi bagian dari kehidupan. Sejak dulu, wabah penyakit sudah ada yang disebabkan oleh banyak faktor. Secanggih apapun teknologi yang ditemukan manusia kelak, namun sumber penyakit akan selalu muncul karena manusia memiliki keterbatasan. Apa yang ditemukan belum tentu diketahui apa dampaknya secara utuh, yang bisa jadi menimbulkan penyakit jenis baru.
Belum lagi masih ada sebagian umat manusia yang memiliki gaya hidup aneh dengan mengkonsumsi binatang liar. Bukankah setiap jenis binatang memiliki keunikan sendiri-sendiri, dimana di dalamnya bisa jadi ada racun sebagai pelindung dirinya dari ancaman musuh? Jika semua jenis binatang liar dikonsumsi, lalu siapa yang bisa menjamin virus-virus penyakit tidak akan muncul di kemudian hari?
Mari sikapi suatu penyakit dengan wajar namun harus tetap waspada, serta ingat bahwa Allah adalah sumber penyembuh. Jika kita terlanjur sakit disebabkan suatu penyakit, mari kita jadikan momentum untuk menemukan makna hidup. Memang bukan hal mudah. Tetapi harus kita jadikan ini semua sebagai momentum untuk mengevaluasi hidup secara menyeluruh. Jangan buat fenomena ini untuk menimbun keluh kesah dan tuduhan salah yang justru membuat dosa kita bertambah. Wallahu a’lam.
Oleh : Dr. Thobib Al-Asyhar, S.Ag., M.Si., Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, Dosen Psikologi Islam pada SKSG Universitas Indonesia, Salemba – Jakarta.