Sastra

Meredam Sukma

Sebagian dari kehidupan adalah residu. Sisa-sisa pelajaran yang mengendap. Sisa-sisa pertarungan yang menguap. Dan cuaca menebar haru pilu di sepanjang trotoar persimpangan. Tuhan ada, dalam setiap kedip dan alur nafas yang meneguhkan. Tuhan ada, dalam setiap denyut yang membolak-balik muatan sel di balik membran tak bertulang. Tuhan selalu ada, bersama jiwamu, yang tak lapuk di makan usia. Dan hati yang selalu nyantri, di kolong-kolong langit kehidupan.

            Namanya Sri, gadis yang pagi ini kulihat berdiri di ujung lorong lantai dasar kampus Islam kebanggaanku. Cahaya mentari yang sebentar-sebentar melintasi pintu kaca belakang kantin membuat siluet tubuhnya terlihat anggun. Gadis ini, tegap bak pohon pinus yang rindang, ringan, meneduhkan. Namun ia tampak berbeda dari beberapa bulan yang lalu.

            Dulu, pertama kali aku bertemu, ia terlihat bersinar dengan rok wiru hitamnya dan sepotong kemeja warna biru muda bergaris. “Biru adalah warna samudera. Ia begitu lapang, menerima. Namun ia mampu besar marah bila ia mau.”, Ucapnya suatu kali. Sehelai kain warna senada menelungkup kepalanya, hijab. Namun kini hijab itu tak lagi sama. Hijab itu kini lebih lebar. Sangat lebar.

            Hanya seperti biasa, Sri menatapku tajam tanpa kata. Angin pagi yang hangat kuku serasa membawa pesan kebenciannya. Aku sebenarnya tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Yang ku ingat, ia mulai menjauhiku sejak aku berkali-kali menolak ajakannya secara halus. Ya, ajakannya mengikuti sebuah organisasi berembel agama yang saat itu belum kufahami bagaimana isinya.

*****

            Kemarau mampir terlalu lama kali ini. Musim yang menebarkan aura kering itu menambah keji pemandangan bumi. Meratakan nyawa rerumputan yang bungkam sejak sekarat kemarin. Lalu membuat mawar di pinggir kampus lapuk. Setangkai duri kering, di maret yang menggairahkan. Maret yang renta.

            Kampusku  terletak di salah satu sudut ibu kota. Tak jauh darinya, berdiri sebuah masjid dengan kubah yang kegagahannya membuat menganga para serangga dunia. Bagiku, bukan halaman masjid yang penuh dengan tanaman hijau dan bunga yang membuatku terpesona. Justru  kedamaiannya berdamping dengan sebuah gereja katolik di sampingnya lah, yang membuatku segan padanya.

            Mereka berdua adalah hal yang berbeda, namun sama. Mereka berbeda dalam penampilan saja. Namun esensi mereka sama, tempat meneduh pada rohman Tuhan.

            Masjid berwarna hijau daun itu bertahta ukiran kaligrafi serta ukiran batik yang aku sendiri tidak faham maknanya. “Sang arsitektur pasti lah memahami islam Indonesia seutuhnya,” fikirku. Betapa tidak, ia memadukan keagungan ayat Al-qur’an dan kearifan budaya lokal, yaitu ukiran seperti yang biasanya kulihat di kain batik. Bulan muda serta sebuah gemintang berjajar bertengger di sudut tengah kubah.

            Sedang kawannya, berdiri tegas dengan warna abu-abu. Arsitekturnya mirip katedral yang ada di Negara Itali. Memanjang, dan tinggi. Dan di pucuk bangunannya berdiri salib.

*****

            “Kau mesti menyesal tidak menjadi salah satu laskar bulan.” Ucapnya getir.

            Hatiku pedih. Bukan karna ucapannya yang menusuk hati. Tapi karna jiwa santrinya telah luntur di gilas tajamnya radikalisme eksentrik metropolitan. Aspal hitam retak yang setiap pagi kulewati selalu melempar tanya menyelidik, “Kau tau apa penyebabnya, Nia?”. Dan gadis itu, Dewi Sri, semakin menjauh. Melepas kemeja cerah rapinya, menjadi kurung hitam dan sesekali coklat.

            Sri menatapku lekat. Tatapan itu, lagi-lagi tatapan itu. Jauh berbeda dari yang pernah kutemui beberapa bulan lalu. Ketika kami baru seminggu menjadi mahasiswa ibu kota. Ketika kami merasa senyawa karna berstatus sama, santri. Ketika kami saling merangkul menuju cita dan misi yang serupa, menjadi santri berteknologi tinggi. Dan kini tatapan itu nanar, tanpa status. “Kau menyesal bila hatimu tak segera terbuka.” Katanya lagi.

            Sekelebat angin yang baru saja lewat terasa asam. Rabb, kali ini jawab aku dengan lantang. Hatiku kah yang benar belum terbuka, atau kini hatinya yang tertutup?

*****

            “Dia bersama laskar yang lain akan merobohkan gereja Paulus di samping masjid Al-Mujahidin!!”

            Hatiku memekik. Menukik. Separuh badanku serasa di himpit mesin penggilas aspal yang seluruh rodanya terbuat dari besi. Separuh lagi sudah mati suri. Percaya atau tidak, gadis itu nekat.

            Seribu langkah kuambil tanpa seribu fikir lagi. Aku tak lagi memikirkan betapa aku harus menghadiri praktikum siang ini. Aku sudah benar mengabaikan betapa aku berlari tanpa memperdulikan kendaraan yang berkali-kali hendak mendepakku kejam. Fikiranku satu. Gereja Paulus dan umatnya.

            “Mereka membawa obor dan pedang! Mereka hendak merobohkan dan membakarnya!” kata-kata Sarbini tiba-tiba saja muncul kembali dalam benakku. Dadaku sakit. Mirip gejala angina pectoris lebih sakit sedikit. Aku ingin menangis. Namun aku tak bisa selagi aku berlari. Fikiranku satu, gereja Paulus dan umatnya.

            Keping demi keping tikungan dan gang kecil kulumpuhkan. Tawa runyam dan cibir bising polusi pinggiran mencium keringatku. Berkucur. Berpeluh. Pedih. Lagi dan lagi, aku tersandung dan terlempar singkat di sudut jalan. Tubuhku mesti berdiri sendiri. Sepuluh meter lagi aku sampai.

            Dan aku mendengarnya.

            “Allahu akbar!! Allahu akbar!! Allahu akbar!!” segerombolan perempuan dan laki-laki melangkah cepat menuju satu arah. Dengan dada terbakar, berbilah pedang, kayu, serta obor tergenggam girang di tangan. Mensudutkan sang Paulus abu dan umatnya di sisi utara. “Bakar!! Hancurkan!!”. Suara yang mereka keluarkan sama, kompak, seolah memang sudah di latih sebelumnya. Nadanya sama, mengancam.

            Suara yang lain menggelegar. Dengan amplutido dan frekuensi yang mengindikasikan kejengkelan besar. “Jangan hancurkan surga kami! Kami berhak menelan berkah disini!” Suara itu membuat batinku mengharu. Dan membuat tenagaku tersulut maju. “Jangan hancurkan surga kami! kami berhak meneguk kasih Tuhan disini!”

            Sekuat tenaga aku berlari, menuju titik tengah.

            “Hentikan!!!” aku marah kali ini. Aku berdiri tepat di tengah-tengah umat berseteru. Kulentangkan tanganku kuat-kuat. “Jangan bawa nama Tuhan dalam tindakanmu!!”

            Gerombolan muda-mudi itu berhenti dengan keterkejutan tinggi. Tanpa aba-aba. Aku tau, nyawaku mungkin terlepas secara paksa setelah ini. Aku tau, kepalaku bisa saja termutilasi. Namun aku tak lagi peduli. Bukankah santri tidak semestinya menyerah dan lari.

            “Nia!!! Kau!!!”

            Suara itu, sudah kuduga. Sri, ia berada di barisan paling depan. Di garda laskar-laskar yang merasa berjubah agama. Dengan kain hijau bertuliskan Allahu Akbar terikat gagah di kepalanya, energi besar ia muncratkan ke awing-awang. Sebongkah kayu dengan api di ujung tergenggam erat di tangan kirinya. Dan, urat serta nadi yang terikat di tangan kanannya membuatnya terangkat tinggi. Wajahnya kaku. Berbinar memperjuangkan kebenaran semu yang sedang menguasai jiwanya.

            “Menyingkir kau!!!” Suara lantang gadis cantik itu muncul kembali. Lantang, tanpa keraguan. Seolah ia penguasa kali itu.

            Aku sedikit terkejut. Tak kusangka, gadis ini bisa sebegitu kasarnya. “Tidak!! Hentikan ini, Sri!!” Aku tiba-tiba terbakar. Aku marah. “Jangan bawa nama Allah atas tindakanmu! Allah tidak pernah sekalipun mengutusmu untuk semua ini!!”

            Gadis itu maju selangkah. “Kafir kau jika menghalangi kami!!”

            Blar!!! Langit serasa pecah dan runtuh menusuk ragaku. Merobek pembuluh darahku. Mengobrak-abrik degup jantungku. Sri kini bahkan dengan lantang dan gampang mengkafirkanku. Hatiku abu. Hampir benar-benar menjadi arang karna telah di bakarnya dengan api yang meranggas. Mataku panas. Mendidih.

            “Sri,” aku tak mau termakan tungkunya. Aku berusaha menyentuh hatinya. Walau sebenarnya aku sedang berjuang menyelamatkan hatiku sendiri.  “Apakah ini sikap santri, Sri? Apakah ini yang kau dapatkan di pesantren, Sri? Bukan kan, Sri?” kulepaskan segala angkuh di hadapannya kali ini. Aku bisa saja melawan. Namun tidak. Kulembutkan saja pita suaraku.

            Namun ternyata itu belum cukup. “Tutup mulutmu!! Kau bodoh bila belum memperjuangkan Negara Islam di atas tanah ini!!” usahaku justru membuatnya semakin membara. “Najis bila ada gereja berdekatan dengan masjid! Mereka mengganggu ibadah di masjid! Maka gereja itu harus di ratakan!” tanpa pontang-panting kata-kata itu meluncur penuh pilu. Meruntuhkan batinku, meruntuhkan batin umat pemilik gereja Paulus.

            Dan kedua tempat ibadah itu, tak bergeming. Tak angkat suara. Tak banyak bicara, melihat manusia-manusia kerdil ini mencoba mengkerdilkan nikmat Tuhan. Kedua tempat ibadah itu tak banyak berbuat. Tak banyak interupsi. Apalagi penyataan spekulatif. Hanya memandang tak habis fikir.

            Belum genap aku menggenapkan hatiku, ia membuatku semakin geram. Dan kini aku harus berperang dengan diriku sendiri juga. Berperang merobohkan kebencian dan amarah yang tersulut kemelut. Bereperang menahan prahara dalam dada. Berperang mengempiskan kemuakan yang merongrong batin.

            Aku mencoba menghela nafas panjang dan dalam. Berusaha menenangkan diriku sendiri. “Itu bukan Islam, Sri!! Sikapmu justru jauh dari Islam!”

            Ikhwan dan akhwat di belakang Sri melongo melihat pertengkaran kami. Dan umat Paulus tetap berdiri sigap tak mengerti. Mungkin bagi mereka aneh. Mungkin bagi mereka semestinya aku bersekongkol dengan gerombolan itu. Aku berusaha memadamkan api yang sedang terbang kemana-mana. Bukan karna kekuatanku. Namun karna keyakinanku.

            “Kau berdosa bila tak menjadi laskar bulan dan membela perjuangan Negara Islam!!” ia mengacungkan obornya lebih tinggi kali ini. Matanya membelalak. Menegaskan bahwa ia tak main-main dengan kata-katanya.

            “Dosa itu tidak hanya makan daging babi atau mensekutukan Allah, Sri. Menyakiti orang lain seperti ini pun dosa.” Sri tak bergeming. Ia menutup mulutnya rapat-rapat. Seolah ingin marah, namun matanya terlihat mengiyakan kata-kataku. “Buka matamu Sri. Kau tak punya hak untuk menghancurkan gereja ini.”

            “Mereka makhluk Allah, hanya seperti kita.”

            “Dan mereka punya hak seperti kita. Seperti Allah memberikan hak untuk kita. Bukan begitu, Sri?”

            Ia melangkah maju. Bukan untuk menjabat kata-kataku. Namun menumpahkannya sekejap mata. “Gereja ini menodai kesakralan masjid!! Gereja ini harus di robohkan!! Atau harga diri umat Islam akan di injak oleh mereka!!” dengan penuh kekuatan ia menunjuk ke arah umat pemilik gereja Paulus. Dan yang di tunjuk menganga tanpa kata. Terlalu pedih, lidah mereka di sumbat oleh emosi.

            “Kesakralan masjid ini justru runtuh ketika kau meruntuhkan Paulus, Sri.” Aku memotong.

            Ia mengkerutkan dahi. Dalam. “Apa yang kau katakan?”

            “Kau tau, sudah bertahun-tahun sang Mujahidin hidup damai berdampingan dengan Paulus.” Angin mengangguk menyetujui ucapanku. Fatamorgana mulai memudar. Turut menjadi kelabu. Warnanya di usir oleh mendung. Senada dengan tumpukan bata berlapis semen yang hendak mereka runtuhkan.

            “Ia terdiam kala umat Paulus bersenandung memuji sang bapa. Lalu Paulus menutup suara ketika Mujahidin membangunkan jiwa spiritual kita dengan adzan. Dan tetap menutup suara ketika kita khidmat bersujud, menempuh keluh dan syukur pada Allah yang Esa.” Aku berharap kata-kataku dapat menari di kepalanya. Setidaknya kuharap dapat sedikit menggeser kekukuhannya. Kekukuhan atas kebenaran semu yang sedang mengambil alih fikirannya.

            “Bila kau meruntuhkan Paulus, kau menghancurkan kekuatan Mujahidin.”

            Nanar matanya mengendur. Ia terdiam. Burung gereja yang biasa melintas pun terdiam. Menunggu eksekusi, akankah pangkalan bertenggernya akan di bakar.

            “Kedamaian dan kemaslahatan yang kau tawarkan itu hanya kamuflase, Sri. Palsu.”

            “konsep Negara Islam yang kau perjuangkan bahkan tidak pernah ada dalam benak Rasulullah!”

            Sri tertawa lantang. Tubuhnya terguncang-guncang. Tangan kanannya memegang bagian perut, seolah apa yang baru saja kukatakan adalah hal paling lucu untuknya. “Lalu madinah?? Kau tau sejarah Madinah?? Itu bukti dari apa yang kuperjuangkan!!”

            Aku mencoba meredam gemeletuk hatiku yang semakin mendidih. “Ya, aku tau.”

            Sri mengangkat kedua pundaknya. Menyembulkan senyum remeh. “Lalu apa yang kau ragukan?”

            “Pemahamanmu tentang sejarah Madinah.” Jawabku singkat.

            Sri diam. Alisnya berkerut. Ia terlihat berfikir keras atas kalimat yang baru saja kuluncurkan.

            “Hentikan semua ini, Sri.”

            “Penyuka angka akan membela angka. Penyuka kata akan membela kata.”

            “Hah!” Sri tersentak kaget.

            Kata-kata itu adalah kata-kata yang sempat kuucapkan ketika kami berdebat tentang minat kami berdua. Sastra dan statistika. Dua hal yang sama sekali berbeda. Dan aku masih ingat, perdebatan itu ia akhiri dengan kalimat, “Baiklah. Lain kali aku akan mensastrakan statistika, Nia. Agar lebih mudah kau pahami.”

            “Kau ingat? Lalu kenapa engkau tidak membaca peribadatan mereka di atas tanah ini sebagai formula statistika yang kau sukai? Hanya katakan dengan bahasa yang lebih sederhana. Hanya lihatlah dengan gambaran yang lebih bijaksana.” Aku mencoba meluluhkannya, lagi. “Kenapa kau tidak membaca rahmat ini melalui sudut angka, agar kau lebih bisa memahaminya Sri?”

            “Ini tidak ada bedanya dengan sastra dan statistika. Kau tak suka sastra, namun kau cinta statistika setengah mati. Lalu apa jadinya bila aku memaksamu untuk menyukai sastra karna kau adalah temanku?” Sri terdiam. Aku tidak ingin mensia-siakan kesempatan ini. Ketika ia mulai bersedia kembali membiarkanku bicara.

            “Dan mengapa dulu kau tidak memaksaku menerima statistika, Sri? Mengapa kau tidak memaksaku?” kunaikkan nada bicaraku beberapa oktaf. Kutambah penekanan dalam setiap suku kata, agar dapat menembus hatinya yang impermeabel.

            “Itu karna kau tau, nadiku akan berhenti bila kau paksa aku mencintainya.”

            Ia terdiam. Sejenak raut ketegangan mulai menguap dari wajahnya. Raut wajah umat di belakang Sri sudah setengah jalan memudar. Seiring dengan semakin pekatnya mendung, dan debu-debu yang terdepak itu kembali mencium tanah.

            Dan, hujan.                                                                                                                             

            “Kita santri selamanya kan, Sri.” Aku mulai memberanikan diri menyisipkan senyum, sederhana. “Sayangnya kini isi hatimu sedang berkabut. Dan tentu berkabung.”

            “Berkabung? Apa maksudmu?”

            Aku tersenyum lebih lebar. Pertanyaan itu mengindikasikan bahwa beberapa detik terakhir ia mendengarkanku. Aku melangkah lebih dekat dengannya. “Hatimu berkabung, atas memudarnya jiwamu.”

            Lalu rintik-rintik hujan itu telah genap memadamkan api obor di tangan Sri. Genap membuyarkan seluruh umat berseteru. Mereka semua terbirit berteduh. Menyalahkan hujan. Menyalahkan mendung. Menyalahkan air. Mereka berteduh di bawah goyang daun mangga yang terpekur. Dan atap-atap seng yang telah lelah di makan karat, tak berdaya.

            Tinggal kami berdua yang bertahan. Jilbab lebarnya menempel di tubuh tingginya. Tersungkur tak berdaya. Tak bergoyang di terpa angin. Tak lari di sadap sunyi.

            “Kepercayaanmu yang dulu, justru yang lebih baik. Jangan kau radikalkan jiwa lembut tegas yang Tuhan pasrahkan padamu. Terlalu picik, sahabat.” Batinku tersenyum. Semoga yang Esa mengusir kabut kelam yang menggelayuti dadanya.

            “Kau tidak pernah bisa menyalahkan hujan. Walau kau sedang tak ingin hujan hadir, di sudut lain di tanah ini menginginkan hujan, Sri. Untuk membasahi luka mereka yang terlanjur merekah. Atau sekedar membasahi jiwa mereka yang merindukan Tuhan, sang peracik evaporasi.”

            “Begitu pula perbedaan. Kau tak bisa menyalahkannya. Karna ia turun bersama hujan, sang rahmat.”

            Sri benar-benar bungkam. Obornya yang telah padam jatuh ke tanah. Mencium kerikil-kerikil yang sedari kemarin tak berhasil melengserkan kekejaman pinggiran. Ia menarik nafas dalam. Sangat dalam. Dan aku melihat, ada beban jiwanya yang lepas landas dari dadanya. Ada beban jiwa yang runtuh dan meleleh bersama air matanya. Air mata yang langsung di lenyapkan hujan.

            Ia menunduk dalam. Sedalam khidmat hujan meneduhkan jiwa-jiwa yang sedari tadi terbakar. Sedalam terkuburnya rasa gelisah dan amarahku. Sedalam kelegaan umat Paulus, karna surga mereka tak di runtuhkan. Sedalam senyum damai yang akhirnya tersemat di hati kami berdua. Aku yakin.            

Jangankan air. Angin saja bisa melapukkan batu.

Oleh : Izza Alimiyyah Prananingrum, Pengurus PC Fatayat NU Jember & Peraih Juara 1 Lomba Cerpen se-Indonesia di UGM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *