Artikel

Pesantren sebagai Jantung Moderasi Islam Nusantara

Kiai Makmun (paling kiri berpeci), dalam forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019

Suatu ketika penulis terlibat aktif dalam forum “Konferensi Internasional dan Pertemuan Nasional Alumni Al-Azhar Indonesia ke-4” (al Mu’tamar al-‘Alamiwa al-Multaqa al-Wathoni al-Rabi’ li Khirrij al-Azhar bi Indunisia) di Mataram NTB (17-20/10/2017).Saat itu, penulis merasa tersanjung sekali dengan apresiasi para guru besar Universitas Al-AzharKairo, dan sejumlah cendikiawan muslim dari Lebanon, Syiria, Yaman, India, Thailand, Malaysia dan Australia atas keberhasilan Indonesia dalam menampilkan satu model keberagamaan dan ke-Islam-an yang moderat.

Apresiasi tersebut di satu sisi merupakan bentuk pengakuan riil atas keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan cita-cita luhurnya sebagaimana tertera dalam pedoman hidupnya, pancasila,juga dalam rangka melaksanakan ketertiban dunia. Namun di sisi lain apresiasi tersebut menurut hemat penulis juga menyisakan satu tantangan yang berat, mampukah Indonesia mepertahankan “budaya moderat” yang merupakan warisan luhur budaya bangsa sejak zaman kerajaan Hindu dan Budha dan makin kokoh setelah Islam memimpin budaya dan peradaban nusantara?.

Tantangan tersebut kini makin berat, pasalnya kita masih saja mendapati banyak peristiwa yang menunjukkan adanya penurunan budaya moderat di kalangan anak bangsa. Meskipun tanggal 22 Oktober sudah ditetapkan pemerintah pada tahun 2015 sebagai Hari Santri Nasional (HSN) yang merupakan pengakuan atas jasa para santri dalam perjuangan kemerdekan dan mewarnai bentuk Keislaman yang moderat dan ramah tradisi lokal ini, nyatanya juga masih dicederai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan aktifitas-aktifitas yang tidak mencerminkan nilai kemoderatan.

Bahkan bentuk pemahaman dan pengamalan ke-Islam-an di Indonesia (baca: Islam Nusantara) yang dikenal sangat substantif, santun dan menghargai perbedaan-sebagaimana dipraktekkan oleh para Wali Songo yang bertahan hingga sekarang dan dijaga dengan baik oleh para santri di pesantren dan warga masyarakat– kini juga mulai dirusak oleh munculnya ideologi-ideologi keagamaan ekstrim yang seringkali berujung pada tindakan kekerasan atas nama agama sehingga sangat mencederai nilai-nilai luhur kemajemukan, keberagamaan dan ke-Islam-an di Indonesia itu sendiri.

Landasan Moderasi Islam Nusantara

Disadari atau tidak, Islam Nusantara memang memiliki satu kekhasan yang bisa jadi tidak dimiliki oleh Islam di negara-negara lainnya khususnya Negara-negara Arab, yaitu tradisi dan budaya Islam yang moderat. Moderasi Islam Nusantara sejatinya bukanlah hal baru, melainkan sudah dimulai sejakmasuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Berbeda dengan penyebaran Islam kenegara-negara Arab yang ditempuh dengan penaklukan politik melalui pedang, Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang sangat santun yaitu melalui politik “dakwah kebudayaan”.

Oleh karenanya, selain sangat halus dan santun, juga dibutuhkan satu strategi kebudayaan yang jitu dan ampuh dalam berdakwah pada penduduk pribumi yang belum masuk Islam.

Untuk mewujudkan misi tersebut, para Wali Songo lebih memilih simbol-simbol budaya sebagai sarana membumikan ajaran Islam (sebagaimana yang terkandung Al-Qur’an dan Hadis) dibanding mengutip secara langsung kedua sumber tersebut sebagaimana slogan “Back to Al-Qur’an and Sunna”.

Raden Said (Sunan Kalijogo) misalnya lebih memilih menggelar “gamelan sekaten” yang diiringi dengan “upacara sekatenan dalam mengajak orang-orang Hindu danBudha untuk masuk Islam dibanding mengutip secara langsung dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis tentang kewajiban bertauhid.

Pola dakwah Sunan Kalijogo ini ternyata medapat respon yang sangat positif dari masyarakat Hindu dan Budha yang memang pada dasarnya mereka menyukai dan menikmati gamelan-gamelan. Namun demikian, gamelan-gamelan yang ditampilkan Sunan Kalijogo adalah gamelan-gamelan khusus yang sudah diramu dengan nilai ajaran Islam, sebagaimana istilah sekatenan juga merupakan simbol dari kata syahadatain yang artinya dua kalimah syahadat.

Cara Sunan Kalijogo dalam membumikan ajaran al-Qur’an dan Hadis secara moderat melalui dakwah budaya ini justru mengilhami masyarakat untuk berhias diri dengan sikap dan watak moderat yang juga sejalan dengaan warisan luhur dan budaya mereka. Oleh karenanya, Slogan “Back to Al-Qur’an and Sunna” oleh Sunan Kalijogo dimaknai ulang sebagai upaya pemaknaan ajaran Islam secara substansial dan membumikannya secara kontekstual dan proporsional sesuai dengan taraf pemahaman dan bentuk tradisi lokal masyarakat setempat.

Metode dakwah budaya Sunan Kali jogo ini kemudian menyebar ke Nusantara dan dipertahankan dengan baik oleh para penerus dengan memusatkan dakwah mereka di berbagai padepokan, pondok, dan surau sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikenal secara umum dengan pesantren.

Pesantren sebagai Role Model dalam Meneguhkan Moderasi Islam

Dunia pesantren adalahd unia yang sangat unik. Meski pesantren seringkali disudutkan dan dianggap sebelah mata sebagai lembaga pendidikan tradisional yang terbelakang, namun dengan semangat dan visi moderasinya, pesantren justru mampu menampilkan satu sikap yang sangat modern.

Di pesantren, para santri tidak hanya dibekali dengan jiwa dan sikap moderat (al-tawassut), tetapi juga sikap toleran (al-tasaamuh), dan keseimbangan serta proporsional (al-tawaazun wa al-i’tidal). Sikap-sikap tersebut menghiasi setiap kehidupan keseharian yang tersistem di pesantren dengan bimbingan langsung seorang kiai sebagai figur panutan.

Moderasi Islam di pesantren tidak hanya dalam visi dan aksi semata, melainkan secara utuh juga menghiasi pola pembelajaran (aktifitas tafaqquh fi al-din) di dalamnya. Dalam pembelajaran fikih misalnya, para santri dibekali dengan perbedaan cara istinbath al-ahkam (menggali hukum) dari masing-masing mazhab dalam Islam. Lebih jauh lagi, santri juga dikenalkan dengan pola pikir dan background yang melalatarbelakangi munculnya mazhab-mazhab tersebut dan perbedaan-perbedaan pendapat yang menyertainya. Dengan demikian, adanya perbedaan hasil ijtihad dapat difahami oleh santri sebagai sebuah keniscayaan darik eragaman cara pandang yang berbeda.

Pemahaman keagamaan yang utuh ini pada gilirannya dapat mengantarkan santri untuk menempatkan diri secara proporsional dengan salah satu mazhab yang diikuti dengan tanpa menghina dan menjelek-jelekkan atau bahka nmenyalahkan mazhab yang lain.

Contoh di atas meskipun tampak sederhana namun sarat akan nilai dan kebijaksanaan dalam menampilkan moderasi Islam di dunia pesantren yang juga mencerminkan pola moderasi Islam Nusantara pada umumnya. Oleh karenanya sangat tepat kiranya jika moderasi Islam Nusantara ‘ala pesantren ini bisa dijadikan sebagai role model sekaligus solusi untuk menghadapi ideologi-ideologi trans-nasional ekstrim dan aktifitas-aktifitas radikal yang menyertainya yang selama ini mengotori moderasi Islam Nusantara.

Moderasi Islam ala pesantren terbukti mampu menjadi jembatan bagi Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI) dalam mengukuhkan falsafah “Bhineka Tunggal Ika”nya. Karena pada dasarnya “paradigma moderat” pesantren mampu membekali santri, masyarakat muslim dan para pemeluk agama secara umum dengan sudut pandang kemajemukan atau keragaman.

Sudut pandang kemajemukan dan kesadaran akan adanya perbedaan dan keragaman yang tidak harus diseragamkan tapiharus dikelola dengan sebaik mungk ininilah yang pada gilirannya mampu menghilangkan berbagai bentuk kecongkaan yang ada dalam setiap elemen masyarakat. Moderasi Islam Nusantara yang bahu membahu dengan falsafah “Bhineka Tunggal Ika” inilah sebenarnya hal yang dicita-citakan Nabi Muhammad sebagaimana tercermin dalam “Piagam Madinah” juga dalam seluruh pola dakwah beliau yang selalu mengedepankan kasih sayang untuk semua (rahmat li al-‘alamin).

Islam Nusantara dan Bhineka Tunggal Ika senantiasa mengajaran bahwa adanya keragaman dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat tersebut semakin dinamis, penuh warna, dan membuat antara yang satu sama lain saling membutuhkan, melengkapi dan saling menghargai. Bahkan andaikan terjadi satu konflik pun, maka konflik itu akan mudah ditengahi, karena dalam paradigma moderasi Islam Nusantara semua perbedaan merupakan sunnatullah yang jika dikelola dengan baik justru akan mendatangkan rahmat.

*Tulisan ini juga terbit secara cetak di Majalah Pendidikan Islam (PENDIS) Kemenag RI Edisi No.10/ Juli/VI/ 2018

Oleh : Muhammad Makmun Abha, Pengurus LDNU Jepara dan Dosen Ilmu Tafsir UIN Walisongo Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *