Artikel

Nikmat di Balik Musibah

Penghujung tahun 2022 seolah waktu yang begitu menyedihkan bagi masyarakat Indonesia, hanya dalam waktu 2 bulan terakhir saja, bencana alam berturut-turut datang. Di awali dengan gempa yang terjadi di Cianjur Jawa Barat (21 November), dilanjutkan dengan letusan Gunung Semeru (4 Desember), hingga kemarin Jember diguncang 3 kali gempa yang berturut-turut dalam 2 hari.

Tidak sedikit korban yang ditimbulkan, baik material maupun korban jiwa, bahkan sedihnya lagi tidak sedikit jumlah korban jiwa yang tercatat masih berusia anak kecil dan balita. Bagi yang selamat, pasti menyisakan duka mental yang tidak akan hilang bahkan melekat hingga entah sampai kapan lamanya.

Musibah atau bencana yang datang merupakan satu dari sekian banyak ujian dari Allah Swt. untuk menguji seberapa tebal iman dan rasa sabar dari setiap muslim yang tertimba. Dibalik kesedihan atas datangnya musibah atau bencana pasti akan menyiratkan hal yang baik dalam istilah yang lain “nikmat di balik musibah.” Hal ini sendiri dijelaskan di dalam Alquran:

مَآ ‌أَصَابَ ‌مِن ‌مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم 

 “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha mengetahui sesuatu.” (Q.S: At-Tabaghun; ayat 11)

Kendati cobaan yang datang berupa musibah akan berakibat menyesakan hati dan menyesatkan akal positif, dilantarkan hilangnya harta benda dan tak jarang pulang korban jiwa dari sanak keluarga. Namun demikian pula Allah mencoba menanamkan kepercayaan iman akan hal baik di masa yang akan datang apabila mampu tegar melewatinya, yaitu dengan bersabar dan mensyukur.

Dicatatakan oleh ulama besar Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghozali di dalam kitab Ihya Ulumudin, bagaiamana sebuah cobaan akan menjadi keberkahan (nikmat) tersendiri bagi yang menerimanya yakni dengan meminta kelampangan hati kepada Allah.

وروى الصديق رضي الله تعالى عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال سَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ فَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنَ الْعَافِيَةِ إِلَّا الْيَقِينَ وَأَشَارَ بِالْيَقِينِ إِلَى عَافِيَةِ الْقَلْبِ عَنْ مَرَضِ الْجَهْلِ وَالشَّكِّ فَعَافِيَةُ القلب أعلى من عافية البدن

Abu Bakar As Shiddiq RA. meriwayatkan dari Rasulullah Saw., Sesungguhnya Beliau bersabda: Mintalah kalian kepada Allah akan ampunan, tidaklah diberikannya seseorang yang paling utama dari ampunan kecuali yakin. Nabi berisyarat dengan yakin yaitu diampunkannya hati dari penyakit bodoh dan rau-ragu, dan ampunan hati lebih utama daripada ampunan badan. (Ihya Ulumudin, juz 4, hal 134).

Dalam cobaan yang menjadi sasaran utama adalah bagaimana hati sebagai pusat utama badan dan jiwa manusia mampu bertahan dan ikhlas menerima cobaan, salah satu nikmat datangnya cobaan adalah dengan dibukakanya istijabah doa, sehingga dianjurkan sendiri oleh Nabi Muhammad untuk meminta ampunan kepada Allah dari penyakit bodoh dan ragu-ragu.

Cobaan dan musibah sendiri, menurut Al Ghozali dapat menjadi nikmat berdasarkan 2 hal:

لأن ‌البلاء صار نعمة باعتبارين أحدهما بالإضافة إلى ما هو أكثر منه إما في الدنيا أو في الدين والآخر بالإضافة إلى ما يرجى من الثواب

Karena sesungguhnya bala’(cobaan) menjadi nikmat yaitu dengan 2 pertimbangan; pertama adalah dengan disandarkan kepada hal lebih banyak daripada awalnya, baik di dunia maupun di dalam agama (akhirat), sedangkan kedua adalah dengan disandarkan kepada sesuatu yang diharapkan yakni berupa pahala.

Bencana alam, cobaan, dan musibah memang tidak sedikit merenggut terhadap berbagai harta benda dan jiwa, namun apabila dijalani dengan tabah, maka bukan tidak mungkin Allah Swt akan memberikan ganti yang jauh lebih besar, jauh lebih utama, karena Allah Swt. tahu yang paling baik kepada hambanya yang beriman, dengan syarat mampu untuk benar-benar tabah dan menyukuri atas segala takdir yang telah diterima, yang terkadang sering selama ini didustakan.

Sayyidina Hasan RA. pernah berkata; “Berapa banyak dari orang yang telah diberi nikmat yang tidak bersyukur.”

Editor: Wildan Miftahussurur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *