Santri Vs Teknologi
Tidak bisa ditolak dan dipungkiri lagi, berkembangnya teknologi digitalisasi yang begitu melesat 10 tahun terakhir hingga mempercepat kecepatan perkembangnya menoju era revolusi 5.0. Semua akses kebutuhan sudah siap tersedia hampir di segala lini kehidupan hanya dengan mengklik layar gadget yang ada di genggaman tangan dengan akses internet yang hampir tidak terbatas.
Perkembangan ini nyaris hampir dirasakan dalam seluruh lini dan tingkatan masyarakat; dari yang hanya anak berusia dini hingga para generasi tua juga mengecap manisnya teknologi. Akses bebas dan terbuka ini seolah pedang bermata dua; berdampak positif bila dijalankan dengan benar dan sebaliknya berdampak naas jika tidak dipergunakan dengan baik.
Kalangan sarung; santri yang ada di pondok pesantren juga bukan pengecualian dalam menikmati akses teknologi saat ini. Kendati demikian, mayoritas pesantren sebagai pendidikan tersohor dalam mengacungkan para generasi muslim masih membatasi akses pergerakan santri untuk mengakses teknologi, dan hal ini hampir berlaku di seluruh pesantren yang ada di Indonesia.
Bukan tanpa sebab, paradigma pembatasan pesantren akan akses teknologi bertujuan untuk meminimalisir efek yang akan datang apabila seumpa terlanjur dipergunakan. Jika dalam bahas kaidah fikihnya “menolak mafsadat jauh lebih utama daripada mendatangkan manfaat.” Pernyataan dan peraturan ini memang benar serta sudah sesuai dengan rel kemaslahatan, karena jikakalu dilihat seksama usia santri masih labil, masih mengebu-gebu rasa penasaranya yang bisa saja pintu masuk dampak negatif akan terbuka lebar.
Akan tetapi, yang menjadi kendala terbesar adalah masa liburan pesantren, aturan dan pengawasan ketat dari lembaga akan diserah terimakan kepada wali santri. Oleh karena itu tentu, akses gadget dalam berteknogi sudah lepas bebas dinikmati oleh para santri. Positifkah?
Pertanyaan yang memberatkan karena bisa saja bebasnya santri dalam berteknologi malah mengarah ke dampak buruk. Walaupun demikian, apabila diusahakan seoptimal mungkin akses bebas justru akan merujuk dan mengangkat dampak yang begitu besar sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat secara umum dengan datangnya santri.
Secara tidak langsung, santri dikenal oleh masyakarat sebagai pemuda dan pemudi yang berakhlakul karimah yang berpegang pada norma-norma pesantren serta berilmu terlebih dalam bidang keagamaan. Tapi dalam usia labil santri yang masih tidak stabil bisa saja berefek buruk yang justru mencontreng label santrinya.
Masalah yang terbesar adalah adaptasi kultur santri pasca setahun full berada di ketatnya aturan dan kegiatan pesantren, sehingga tidak ayal jika menjumpai santri ketika liburan akan lebih banyak rebahan di kamar menyibukan diri dengan gadget daripada beraktivitas di luar.
Di sisi yang lain, dengan waktu yang hampir sepenuhnya dikeruhkan untuk surfing di gadgetnya masing-masing, maka tidak menutup kemungkinan akan dipergunakan kepada hal yang tidak baik. Ambil saja satu contoh, santri akan kerap kali tidak menjawab perintah orang tua disebabkan sibuk bermain gim atau bahkan yang terburuk adalah berhubungan dengan lawan jenis secara virtual.
Problem ini adalah momok yang sedikit mengiris hati orang tua, pasalnya tidak sedikit dari wali santri yang merasa gagal dengan hasil di pesantren akibat sikap dan kelakuan putra dan putrinya yang berlibur dari pesantren.
Kendati demikian, apabila akses teknologi bisa dioptimalkan sepenuhnya oleh para santri, bukan hal yang mustahil apabila mereka akan menjadi agen dakwah bagi masyarakat yang akan mengharumkan nama orang tua dan wali santri. Ini merujuk pada istilah santri yang begitu khas dengan norma dan adat kepesantrenan yang dikenal baik oleh masyarakat hampir secara luas.
Teknologi dapat dimanfaatkan santri dengan menyebarkan apa yang telah didapatkan di pesantren, karena tidak sedikit dari kalangan yang ingin belajar ilmu agama namun terkendala tidak mampu duduk di bangku pesantren, maka santri bisa menjadi juru tombak dalam hal ini.
Dakwah santri secara langsung dapat dimediasikan melalui berbagai hal salah satunya adalah dengan media sosial. Media sosial hampir diakses miliaran kali setiap saatnya oleh masyarakat, dari yang berbasis tulisan berupa beranda dan pesan, sampai dalam bentuk video.
Beberapa pesantren sudah mempraktekan hal ini, hingga tidak sedikit yang menjadikanya sebagai media promosi pesantren dengan media sosial. Bentuknya pun beragam dari menyebarkan hasil batsul masail hingga video hikmah dan keseharian di pesantren dengan dibalut video lucu.
Dengan memberikan rel baik selama di pesantren maka pembibitan nilai-nilai positif sudah tertanam sedari awal. Pembekalan dapat dilaksanakan dengan pemberian nasihat, atau jika mampu dalam fasilitas maka dapat dijalakan dengan praktek langsung secara lapangan seperti pembuatan video dan yang lain.
Dampak positif lahir dari penanaman benih yang positif pula, serta dengan proses merawat yang baik dalam masa pertumuhan. Demikian pula santri, hendaknya nilai-nilai positif dalam berteknologi juga perlu ditanamkan dan diajarkan semenjak mengenyam di masa belajar, dengan tujuan benih positif tersebut akan menghasilkan buah yang baik ketika bermasyarakat.
Editor: Wildan Miftahussurur