Opini

Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi Covid-19?

Per 13 Juli 2020, data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia mencapai 76.981 (positif), 36.689 (sembuh), dan 3.656 (meninggal dunia). Angka tersebut menjadi bukti bahwa tingkat penyebaran virus tersebut di Indonesia sangat tinggi daripada negara tetangga (ASEAN). Sehingga menjadi pertanyaan besar apa yang melatarbelakangi fakta empiris tersebut?

Memang, Covid-19 mengubah segala lini kehidupan yang begitu normal menjadi hal yang baru. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial dan politik, semuanya terombang-ambing seperti butiran debu yang tertiup oleh angin kencang. Maka dari itu, semua penyelenggara negara di belahan dunia mengambil sikap untuk mengambil terobosan (alternatif) agar negaranya tidak mengalami keterpurukan (chaos). Tak hanya itu, beberapa negara juga menggunakan strategi khusus bagaimana dapat menghalau penyebaran Covid-19 ini. Termasuk Indonesia yang juga menggunakan APBN dengan angka yang sangat fantastis.

Sejak pertengahan Juni 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan adanya kenaikan penanganan Covid-19. Biaya penanggulangan pandemi tersebut kini mencapai Rp 695,2 triliun yang sebelumnya Rp 677,2 triliun. Selain kesehatan ada beberapa preferensi alokasi anggaran oleh pemerintah dalam menggunakan dana penanganan tersebut seperti bantuan sosial, stimulus ekonomi, dan lain-lain. Rincian dari anggaran tersebut ialah sebesar Rp 87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, anggaran perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan insentif usaha sebesar Rp 120,61 triliun.

Hal tersebut disikapi oleh Presiden Joko Widodo dengan mengakomodasi ruang yuridis bagi siapapun yang menjalankan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Yakni dengan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Akan tetapi dalam substansinya ada beberapa pasal dalam Perppu tersebut menuai banyak kontroversi. Sehingga ada beberapa pihak yang melakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi yang pada pokok gugatannya bahwa Perppu tersebut memuat kesemena-menaan imunitas absolut penguasa. Kendati di tengah caruk maruknya polemik tersebut akhrinya DPR RI mengesahkan Perppu menjadi Undang-undang.

Berbicara mengenai anggaran (keuangan) dalam kapasitas apapun, bangsa ini memiliki track record yang sangat buruk. Terutama banyaknya penyelewengan oleh beberapa elite yang cerdik dalam memainkan peranan. Maka dari itu, anggaran penanggulangan Covid-19 ini sangat berpotensi untuk dijadikan objek korupsi. Jeremy Pope (2003) menduga bahwa korupsi akan lebih mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, nilai-nilai sosial yang melemah, prioritas kepentingan pribadi dibanding kepentingan umum, dan kepemilikan barang secara pribadi menjadi kode etik perilaku sosial. Kedua, hilangnya transparansi dan tanggung gugat sistem integritas publik. Dalam konteks tersebut, banyaknya kritik oleh beberapa kalangan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan terhadap rincian laporannya. Padahal pada Pasal 9 ayat (2) huruf c Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan bahwa badan publik diwajibkan untuk mengumumkan secara berkala laporan keuangannya. Banyaknya spekulasi terhadap kecurangan penggunaan anggaran tersebut semakin liar. Ide dasar dalam hukum bagaimana aturan tersebut ditegakkan yakni untuk mencapai dua hal; perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Sampai detik ini, tindak pidana korupsi di berbagai lini masih merajalela.

Tak lama Perppu tersebut dikeluarkan, selang beberapa waktu adanya dugaan korupsi penanganan Covid-19 oleh Gugus Tugas Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat (Sumbar). Walaupun masih dalam proses penyelidikan oleh Kejaksaan setempat. Tetapi fakta tersebut mengindikasikan bahwa tindak pidana korupsi dalam situasi dan kondisi apapun kerap dilakukan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan warning kepada elemen pemerintah jika tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. KPK melalui pimpinannya yakni Firli Bahuri mengancam menindak tegas pelaku korupsi anggaran penanganan bencana Covid-19 dengan tuntutan hukuman mati. Walaupun secara historis masih belum ada satupun koruptor yang divonis hukuman mati. Padahal sejak awal UU Tipikor diundangkan telah memuat hukuman mati sebagai salah satu hukuman bagi koruptor. Dapat dikatakan bahwa efektivitas UU Tipikor masih belum maksimal dalam penindakan kasus korupsi seperti halnya singa ompong.

Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pada frasa “keadaan tertentu” dijelaskan kembali bahwa dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Secara regulasi, hukuman mati telah memiliki ruang yuridis untuk diberlakukan kepada koruptor jika telah memenuhi syarat “keadaan tertentu”. Akan tetapi dalam aplikasinya masih banyak keraguan yang dirasakan baik oleh KPK, Jaksa, dan Hakim. Perlu adanya akselerasi baru baik secara regulasi atau penegakan hukum yang berhaluan hukum progresif. Salah satunya degan menggunakan politik hukum pidana agar hukuman mati dapat dilakukan. Tentu dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, serta sosiostruktural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Walaupun banyaknya perdebatan mengenai hukuman mati perlu diingat bahwa hukuman mati masih menjadi hukuman pokok  di negara ini. Hal tersebut diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2/PUU-V/2007 tanggal 23 Oktober 2007 menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi.

Sebagai harapan, orientasi hukuman mati dalam kasus tindak pidana korupsi bukan hanya sebagai tindakan represif melainkan juga preventif. Karena konsep dasar dalam hukuman hukum pidana ialah detteren effect (efek jerah) baik bagi pelaku atau yang memiliki keinginan untuk melakukan tindakan korupsi.   

Oleh: Moh. Abd. Rauf, S.H. Pengurus LTNNU Cabang Jember dan Pengurus Pusat Kajian Anti Korupsi dan Hukum Pidana Islam (PUSKAPIS) IAIN Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *