Nahdlatut Tujjar: Cermin Madzhab Ekonomi Islam Nusantara (1)
Ekonomi Islam Dulu
Ekonomi islam di Nusantara -secara akademis- masih merupakan barang baru yang perlu pengkajian lebih mendalam, sebab dalam catatan sejarah, implementasi ekonomi islam dalam wujud praktis (Bank Syari’ah) tercatat tahun 1991 berdiri di Indonesia. Sedangkan untuk level internasional berdiri pada tahun 1963 di Mesir dengan nama Mit Ghamr Local Saving Bank, Mit Ghamr adalah nama daerah berdirinya bank tersebut. Gaung ekonomi islam ini berlatar pada carut-marutnya kondisi ekonomi dunia yang tidak sesuai dengan jalur syari’ah, dan menjadikan ekonom muslim bergerak untuk menawarkan konsep ekonomi islam untuk memperbaiki ekonomi dunia.
Ekonomi Islam berdasar pada dua aspek keilmuan yaitu ekonomi konvensional dan fiqih mu’amalah. Pada aspek konvensional, ekonomi islam masih menggunakan teori-teori ekonomi modern dalam aplikasi ekonominya, dan pada spek fiqih mu’amalah digunakan sebagai aturan hukum yang berlaku pada tataran ekonomi praktis yang digunakan dalam transaksi ekonomi. Fitur-fitur yang diggunakan dalam Ekonomi Islam pun merupakan perpaduan antara ekonomi konvensional dan fiqih mu’amalah, seperti penggunaan kata supply dan demand, profit sharing, equilibrium price, mudharabah, musyarakah dan lain sebagainya. Dengan kata lain Ekonomi Islam dalam prakteknya merupakan perpaduan antara Ekonomi Konvensional dan Fiqih Mu’amalah. Sekalipun begitu ada yang tidak menyetujui pernyataan semacam ini, diantaranya golongan madzhab pemikiran Ekonomi Islam Iqtishaduna yang menyatakan bahwa ekonomi Islam sejatinya adalah ajaran ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah tanpa ada campur baur dari apapun karena ekonomi dan syari’ah adalah aspek yang berbeda, itulah sebabnya mereka menggunakan istilah “iqtishaduna” yang di pelopori oleh Baqir al-Shadr.
Sebagaimana pernyataan diatas, gerakan yang kemudian berwujud paham dan disiplin keilmuan ini, tidak jauh dari aspek-aspek pemikiran yang kemudian menyatu dalam sebuah madzhab pemikiran ekonomi islam. Madzhab itu memiliki corak pemikiran yang berbeda. Ada tiga golongan yang popular dikalangan pengkaji Ekonomi Islam, Madzhab Iqtishaduna, Madzhab Mainstream dan Madzhab Alternatif Kritis.
Mengkaji madzhab pemikiran (Manhaj al-Fikr) dalam ekonomi islam, berarti mengkaji gerakan sebagai simbol dari pemikiran. Nahdatut Tujjar pada hakikatnya memiliki pola pemikiran yang berbeda dari golongan lain. Sejarah mencatat Nahdatut Tujjar -selain Taswirul Afkar dan Nahdhatul Wathan- sebagai cikal bakal dari berdirinya organisasi Islam terbesar di Indonesia -bahkan dunia- adalah Nahdhatul Ulama’. Nahdatut Tujjar manjadi organisasi yang berisikan pedagang dan pengusaha muslim di Nusantara. Organisasi ini digawangi oleh KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1918, bertujuan untuk menggalang persatuan antara para pedagang dan pengusaha muslim di Nusantara untuk mengangkat perekonomian umat Islam yang pada saat itu mengalami monopoli oleh kolonialis Belanda. (Fatwa, 2004:vii-viii).
Jika dilihat dari perjuangan dan pemikiran ide pemikiran dari organisasi ini, maka organisasi ini bisa menjadi cermin dari munculnya madzhab pemikiran, dalam hal ini manhaj al-fikr, ekonomi di Nusantara sebab organisasi ini lahir di nusantara dan sudah tentu memahami kondisi dan seluk-beluk ekonomi nusantara. Organisasi tersebut -paham ekonominya- bisa dijadikan sebagai patokan untuk memakmurkan ekonomi di Nusantara.
Nahdhatut Tujjar Simbol Ekonomi Nusantara
Sejarah mencatat, Nahdhatut Tujjar didirikan oleh KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1918 untuk menanggulangi sistem monopoli ekonomi yang dilakukan oleh Kolonialis Belanda. (Ridwan: 2010). Tujuan dari gerakan ini adalah agar ekonomi masyarakat pribumi tidak selalu tergantung pada tekanan kekuasaan kolonialisme, dan kekayaan Nusantara harus dinikmati oleh masyarakat pribumi sendiri, bukan oleh bangsa lain.
Sebelum abad 17 perekonomian di Nusantara dikuasai oleh para pedagang muslim yang memiliki jalur perdagangan seperti, Jalur Malaka digunana untuk jalur perdagangan menuju Aceh, Jambi, Banten dan Gresik, Pelabuhan Pantai Utara Jawa, dan Pelabuhan Banten menjadi pertemuan pedagang asing, diataranya Arab, Cina, Gujarat, Malabar dan Bengali. Namun sejak kolonialisme datang ke Nusantara, bukan hanya merubah jalur perdagangan, tetapi juga merubah orientasi perdagangan laut kepertanian, dari yang awalnya bangsa pelaut menjadi agraris. Hal ini mereka lakukan untuk membenahi negara asalnya yang hancur lebur sebab Perang Dunia Kedua. (Jauharudin, 2008:17-25)
Janji manis yang diberikan oleh Kolonialis Belanda hanya menjadikan para saudagar muslim Nusantara sebagai alat untuk memenuhi ambisi mereka. Program-program politik Kolonialisme Belanda menambah kesengsaraan masyarakat pribumi, oleh karenanya para pedagang yang berada di daerah Cukir Jombang memprakarsai berdirinya Nahdhatut Tujjar yang menginginkan persoalan masyarakat ini selesai.
Didirikannya Nahdhatut Tujjar agar kepedulian boemi putra bangkit setelah semakin sedikitnya boemi putra yang belajar syari’at Islam, sedangkan sekolah-sekolah belanda tidak menghargai agama dengan artian bahwa tidak diajarkannya muatan Keislaman dalam sekolah-sekolah tersebut. Pola pikir dari masyarakat pada waktu itu adalah untuk mendaptkan uang untuk kehidupan sehari-hari tanpa bersusah payah, akhirnya mereka menopang hidup dari bantuan orang-orang kaya sekalipun terlihat bodoh. Mereka terkesan menjauhkan diri dari para kiyai, syaikh atau ulama-ulama yang sebagai sumber ilmu syari’ah tersebut. Akibatnya mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, mengacuhkan agamanya sendiri dan sudah merasa pintar tanpa harus belajar syari’ah kepada orang-orang tersebut. (Fatwa, 2004:15-16)
Hal lain yang mendorong berdirinya Nahdhatut Tujjar adalah kesulitan untuk berdakwah sebab dorongan ekonomi yang lemah ditengah masyarakat yang menyebabkan dikebirinya nasehat-nasehat yang diberikan oleh para Ulama. Sedikitnya pengetahuan masyarakat tentang syari’ah Islam membuat iman mereka lemah. Dengan kata lain didirikan Nahdhatut Tujjar untuk menumbuhkan kesadaran ekonomi dan sarana dakwah untuk masyarakat muslim ketika itu.
Nahdhatut Tujjar tidak hanya untuk mensejahterakan basis ekonomi, tetapi untuk mempertahankan tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum colonial datang ke Nusantara. Cita-cita yang diusung oleh Nahdhatut Tujjar adalah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan dan kedodohan. Pusat perekonomian terletak di tiga kota yaitu Surabaya, Kediri dan Jombang yang memiliki komoditas pertanian yang baik.
KH. Wahab Hasbullah sebagai pelopor berdirinya Nahdhatut Tujjar memiliki pemikiran untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat muslim khususnya Jawa, karena pulau jawa menjadi sasaran kolonialis sejak datangnya mereka ke Nusantara pada abad 17 untuk marealisasikan politik ekonominya. Disamping itu populasi masyarakat Jawa adalah yang terbesar di Nusantara serta transaportasi yang cukup mudah untuk dilalui. Kondisi ini memungkin untuk menggerakkan ekonomi masyarakat melalui sarana organisasi.
Berdasarkan pada fatwa KH. Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa: “Wahai pemuda bangsa yang cerdik pandai dan para ustad yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana disetiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom.” Dari pernyataan ini berdirilah Syirkah al-Inan sebuah koperasi yang dibentuk oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bertujuan untuk memperkuat jaringan ekonomi dikalangan masyarakat muslim di Indonesia. (Jauharuddin, 2008:59). Koperasi ini didirikan untuk mengimbangi bank-bank yang didirikan oleh oleh bangsa colonial, bahkan menyaingi bang asing yang berdiri ketika itu, yaitu Bank Taiwan yang membuka cabang di Surabaya. (nu.or.id). Akan tetapi Nahdhatut Tujjar hanya berumur 8 tahun (1918-1926) disebabkan regulasi dari pemerintahan kolonila Belanda yang menuntut proses legalitas notaris yang mahal dan penggunaan bahasa Balanda.
Fatwa Khadratussyaikh Hasyim Asy’ari diatas jika dirinci dengan seksama, terdapat beberapa konsep yang bisa ditemukan.
Pertama, penggunaan dual sistem sebagai motor penggerak dari konsep ini, yaitu dengan memadukan kalangan agamawan dan professional dengan visi yang sama dengan tujuan agar sistem perekonomian ini berjalan dengan baik sebagaimana sistem ekonomi yang berjalan dan sebagaimana sistem syari’ah Islam untuk mengawasi jalannya sistem ekonomi tersebut. Sampai saat ini masih berlaku dalam sistem perbankan syari’ah yang menggunakan.
Kedua, lokasi pendirian usaha ekonomi tersebut juga menentukan perkembangan dari usaha tersebut. Dalam fatwanya, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan untuk dilekatkkan di wilayah kota, sebab kota menjadi pusat peradaban dan perekonomian masyarakat. Kiblat dari perekonomian desa adalah kota, bahkan kebudayaan yang pada akhirnya merambah kedesa asalnya dari perkotaan. Jadi sangatlah logis jika asal mengawali usaha ekonomi yang diharapkan berkembang dan berkelanjutan dimulai dari perkotaan.
Ketiga, badan usaha tersebut harus dikelola secara otonom, dengan kata lain menerapkan sistem Good Corporate Governance. Sistem penglolaan semacam ini akan mengahsilkan kinerja yang mapan, sebab pengawasan, evaluasi dan tindakan pembenahan lanjut dan berkesibnambungan akan secara langsung ditangani dengan baik. Keempat, pendirian badan usaha akan membantu pembiayaan Pendidikan agar terhindar dari kemaksiatan. (nu.or.id)
Dengan demikian sangat jelas bahwa konsep Pemikiran pendirian Nahdhatut Tujjar berprinsip pada ekonomi kemasyarakatan dan perjuangan keislaman. Jika diambil poin-poin dalam konsep pemikiran tersebut, untuk meningkatkan perekonomian yang maju dan berkembang, setidaknya dalam pendirian Lembaga penggerak ekonomi harus memenuhi beberapa hal yaitu: kolaborasi ilmuan dan agamawan, bersifat otonom dan berada di pusat peradaban. Sekalipun Nahdhatut Tujjar tidak berumur panjang dalam mewarnai sejarah perekonomian Nusantara, tetapi juga memiliki efek yang cukup signifikan terhadap pola pemikiran ekonomi di Nusantara, khususnya Ekonomi Islam.
Oleh : Ahmad Afif, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Pengelola Jurnal IJIEF Pascasarjana IAIN Jember.