Artikel

Awas Ada Riba di Jastip

Jastip atau jasa titip produk yang tengah hangat digandrungi oleh masyarakat sebagai peluang bisni untuk mengisi dompet dengan mudah, pasalnya dalam jastip, usaha yang dibutuhkan hanyalah semangat menjadi eksekutor distribusi dari produsen kapada konsumen.

Secara garis besar ada dua model jastip yang dilakukan kebanyakan orang.

Pertama, jastip dengan pembayaran uang di muka. Orang yang nitip sudah membayar lunas barang yang dipesannya. Jika penerima jastip tidak ambil untung dari harga jual barang, ia ambil untung dari ongkir. Ongkir ini semacam upah untuk dirinya karena hakikatnya ia disewa oleh pemesan barang.

Jelas, praktik semacam ini tidak ada masalah. Upah atau ongkirnya halal asalkan barang yang diperjualbelikan halal.

Kedua, jastip dengan cara pembayaran di belakang. Artinya, penerima jastip nalangin dulu pakai uangnya sendiri. Substansi talangan ini adalah utang dari penerima jastip kepada pemesan barang.

Jika jastip model kedua terjadi, maka berkumpul dua akad dalam sekali tranksaksi, yaitu ijarah (sewa jasa) dan hutang. Bila hal ini terjadi, perlu diperhatikan hadis nabi berikut ini:

نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ

Artinya: Nabi melarang (gabungan) jual beli dan utang (dalam satu akad).

Siapapun tidak bisa mengelak dari hadis ini. Zahirnya memang sangat jelas melarang siapapun untuk mengumpulkan jual beli dan utang. Dalam praktik jastip, yang terjadi adalah gabungan antara sewa jasa (ijarah) dan hutang. Sewa jasa (ijarah) sendiri adalah bentuk lain dari jual beli.

Itulah sebabnya ada sekelompok orang bersikukuh menolak jastip model kedua ini. Akan tetapi, ini tidak fair karena mereka berdalil hanya menggunakan zahir hadis saja. Apa yang zahir tidak otomatis dikehendaki oleh sebuah dalil, termasuk hadis di atas.

Adalah Imam Mawardi salah seorang ulama yang enggan berhujjah menggunakan zahir hadis ini. Beliau ogah karena pada dasarnya, jual beli dan utang sama-sama boleh dilakukan secara terpisah. Sangat tidak logis bila keduanya digabung begitu saja kemudian menjadi tidak boleh. Tentu ada hal lain yang menyebabkannya tidak boleh.

Dalam hal ini, Imam Mawardi mengatakan bahwa mengumpulkan keduanya dilarang bilamana hutang menjadi syarat terjadinya jual beli atau sebaliknya. Ulama yang hidup di era Kekhalifahan Abbasiyah ini menulis:

وَلَيْسَ هَذَا الْخَبَرُ مَحْمُولًا عَلَى ظَاهِرِهِ لِأَنَّ الْبَيْعَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ، وَالْقَرْضَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ وَاجْتِمَاعَهُمَا مَعًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ جَائِزٌ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِالنَّهْيِ بَيْعٌ شُرِطَ فِيهِ قَرْضٌ.

Artinya: Hadis ini tidak bisa arahkan pada (makna) zahirnya karena jual beli dan qard boleh dilakukan secara terpisah. (Tentu) mengumpulkan keduanya secara bersamaan boleh bila tanpa syarat. Hadis (tersebut) bermaksud melarang jual beli yang dengan syarat hutang.

Maksud hadis di atas tidak bisa dipahami secara utuh tanpa me-nakdir atau menghadirkan kalimat lain. Secara redaksional, hadis nabi di atas membuang mudhaf. Bila ditampakkan, susunan lengkapnya adalah;

‎نَهَى عَنْ بَيْعٍ مع شرط سَلَفٍ

Bila dikaitkan dengan praktik jastip, talangan (hutang) bukanlah syarat. Buktinya, pemesan bebas menentukan apakah mau bayar cash di muka atau utang. Apapun pilihannya, penerima jastip akan legowo.

Jastip menjadi tidak boleh bilamana penerima jastip menyaratkan harus adanya hutang. Atau pemerima jasa jastip mengambil untung dari talangannya. Jelas ini riba karena bagian dari utang yang mendapatkan manfaat.

Oleh: Doni Eka Saputra, Founder ADEEVA Group & Dosen Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember.

Editor: Wildan Miftahussurur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *