Berbuat Dosa: Bungkam atau Bercerita
Manusia memang diciptakan oleh Allah Swt. dengan berhias kekurangan dan kelemahan, sehingga lumrah bila manusia akan berbuat salah atau dosa. Namun, terlepas itu semua, kekurangan ini tidak diumbar atau disebarkan kepada orang ramai: tutup serapa mungkin sampai tidak ada yang mendengar hingga ditebus dengan taubat kepada Allah Swt.
Akan tetapi, semakin ke belakang dengan menjamurnya era teknologi dan membartakan budaya masyarakat Indonesia khususnya umat Islam, kesalahan dan perbuatan dosa yang berlatar negatif seakan telah dibiasakan untuk disebar-luaskan, bahkan terkadang hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi si pelaku yang tak jarang menyebarkannya di media sosial bahkan dibungkus dengan konten yang menarik agar mendapat banyak penonton. Naas memang.
Kegiatan menyebarkan perbuatan negatif sudah diperingatkan oleh Allah Swt. di dalam Alquran:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيم فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang keji tersebut tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, maka bagi mereka azab yang amat pedih di dunia maupun di akhirat. Dan Allah Swt. maha mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui (Q.S An Nur:10).
Kendati asbabunnuzul (sebab turunya) ayat di atas tertuju kepada orang-orang munafik yang menebarkan kabar fitnah Siti Aisyah RA, di Madinah, namun secara jelas pula ayat ini menerangkan secara global tentang orang yang suka menyebarkan perbuatan negatif (maksiat). Bahkan di pertengahan ayat, Allah Swt. telah menyiapkan azab yang sangat pedih bagi ‘si pelaku penyebar’ baik aibnya sendiri maupun orang lain.
Adapun bentuk gambaran dari menyebarkan perbuatan keji adalah dengan menceritakan secara lisan maupun terlebih parah yaitu melakukan secara langsung di depan orang lain agar mereka mengetahui. Terlepas dengan tujuanya yang bermacam-macam baik sebagai kebanggaan maupun yang lainya.
Rasulullah Saw. memberikan istilah terhadap orang jenis yang kedua istilah Mujahirin. Ini diketahui dari hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA.:
عن أَبَي هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ ستره الله، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ الله عنه.
Dari Abu Hurairah Ia berkata aku mendengar Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Setiap umatku dimaafkan, kecuali mujahirin(orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk dari mujahirin adalah seseorang melaukkan suatu perbuatan (dosa) di malam hari, kemudian di waktu pagi ia menceritakan perbuatan tersebut, yang mana ia berkata, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian.” Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatnya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatan (dosa) sendiri yang telah Allah tutupi. (HR. Bukhori dan Muslim).
Mujahirin atau orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa di dalam hadis tersebut, digambarkan oleh Sebagai orang yang menceritakan perbuatan dosanya serta mengingkari terhadap nikmat Allah.
Abi Hamid al Ghozali di dalam Ihya Ulumiddin mempertegas:
.لأن من صفات الله ونعمه أنه يظهر الجميل ويستر القبيح ولا يهتك الستر فالإظهار كفران لهذه النعمة
Artinya: Karena sesungguhnya termasuk dari sifat Allah Swt. dan nikmatnya adalah Allah menampakan terhadap keindahan, menutup akan kejelekan, serta tidak membuka akan penutup tersebut. Adapun menampakan (perbuatan buruk) adalah mengkufuri terhadap nikmat ini. (Abu Hamid al Ghozali, Ihya Ulumuddin, juz 4, hal 33).
Melakukan perbuatan keji memang sejatinya akan mendatangkan dosa, akan tetapi dengan menutupi perbuatan tersebut dari orang lain, maka dosa yang akan dicatat akan lebih kecil daripada menceritakannya, pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
والمستخفى بما يرتكبه أقل إثما من المجاهر المستعلن، والكاتم له أقل إثما من المخبر المحدِّث للناس به، فهذا بعيد عن عافية الله تعالى
Artinya: Adapun orang yang menyembunyikan apa yang telah dia perbuat (dosa), maka dosa baginya lebih sedikit daripada Mujahir yang terang-terangan. Dan orang yang menutupi perbutan dosanya, maka dosanya lebih sedikit daripada orang yang mengabarkan serta menceritakan kepada manusia dengan dosanya itu. Ini akan menyebabkan jauh dari ampunan Allah Swt.(Ibnu Qayyim al Jauziyah, Ighosatul Lahfani fi Mashayidis Syaithan, Juz 2, hal 147)
Akan tetapi, terdapat satu keadaan yang bisa legal untuk menceritakan perbuatan buruk tersebut, yaitu sebagai peringatan bagi orang yang mendengarkan agar tidak jatuh kedalam jurang yang sama. Keadaan ini dipertegas oleh Imam an Nawawi di dalam kitab Al Adzarnya:
يَحرمُ على المكلّف أن يحدِّث عبدَ الإِنسان، أو زوجته أو ابنه، أو غلامَه، ونحوَهم بما يُفسدهم به عليه إذا لم يكنْ ما يُحدِّثهم به أمراً بمعروف أو نهياً عن منكر
Artinya: diharamkan bagi seorang mukalaf untuk menceritakan kepada hamba seseorang, istrinya, anaknya, atau semisal mereka akan setiap sesuatu yang dapat merusak mereka atas mukalaf tersebut, jika dengan apa yang diceritakan tidak ada memberikan perintah terhadap perbuatan ma’ruf dan larangan dari perbuatan mungkar. (An Nawawi, al Adzkar, hal 368).
Apabila ditarik benang merah, pernyataan dari Imam Nawawi, menjelaskan; perbuatan buruk hendak utamanya ditutup sedemikian rupa agar tidak terendus oleh orang lain, namun boleh disebar luaskan kepada orang banyak, jikalau mereka dengan mendengar perbuatan negatif tersebut akan mendatangkan manfaat yaitu mawas diri dan berhati-hati bagi orang yang mendengar agar mereka tidak jatuh berbuat demikian rupa.
Menampakan perbuatan dosa secara terang-terangan sejatinya adalah perbuatan yang salah dan mendatangkan dosa bagi pelakukanya, serta dapat mencorengkan nama besar Islam sekaligus pihak yang diceritakan, bahkan jika sengaja mengumbar perbuatan buruk pribadi terhitung sebagai mengingkari nikmat Allah Swt yang telah menutupnya. akan tetapi apabila dengan menceritakan tersebut dapat menjadi tembok pembatas agar orang lain jatuh ke dalam lubang maksiat yang sama, maka dianjurkan. Sebagaimana salah satu pendoman dalam Islam yaitu ‘saling mengingatkan dalam untuk berbuat amal ma’ruf, serta saling melarang dalam perbuatan mungkar’.
Editor: Wildan Miftahussurur.