Bagaimanakah Shighat yang Benar dari Dzikir ke 12 Rathibul Haddad?
Rathibul Haddad adalah rangkaian bacaan yang terdiri dari Alquran, Sholawat Nabi, Dzikir, Syair, dan beberapa doa. Diyakini oleh sebagian besar umat Muslim di Indonesia dengan membaca Ratibul Haddat akan mendatang berbagai keberkahan terlebih yang istikamah membaca, sehingga banyak dari pesantren, masjid-masjid, dan organisasi kumpulan masyarakat menjadikanya sebagai bacaan rutin.
Namun, di dalam Rathibul Haddad apabila diteliti lebih terdapat bacaan yang ditengarai masih menjadi perbincangan di manakah yang benar, yaitu pada dzikir:
يا ذا الجلال والإكرام . . . مِتْنَا على دين الإسلام
Ataukah,
يا ذا الجلال والإكرام . . . أَمِتْنَا على دين الإسلام ؟
Pada banyak cetakan Rathibul Haddad, rata-rata dzikir ke 12 di atas ditulis dengan penambahan hamzah qatha’ sebelum lafazh مِتْنَا (MITNAA), sehingga terbaca أَمِتْنَا (AMITNAA).
Penambahan hamzah ini mengikuti penulisan Imam Al Ahsa-iy, murid Shahibur Rathib Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad. Beliau menuliskan dzikir ke 12 di atas dengan menambahkan hamzah qatha’ sebelum lafazh MITNAA.
Dalam kitab Syarah Rathib ini, Muallif(Pengarang) menyatakan pendapat, “Ketahuilah!, bahwasanya penambahan hamzah qatha’ oleh Al Ahsa-iy sebelum lafazh MITNAA itu apakah atas inisiatif beliau sendiri karena mengikuti kaidah bahasa ataukah atas perintah dari Sayyidina Al Haddad Shahibur Rathib?, Wa Allah a’lam.”
Hal ini menjadi pertanyaan karena shighat dzikir ke 12 yang masyhur ‘kewarid’-nya dari Al Habib Abdullah Al Haddad adalah tanpa hamzah qatha‘, sebagaimana yang saya tulis di atas. Lalu bukankah itu justru menyalahi aturan bahasa Arab?, banyak para Ulama Sadah yang menjawab pertanyaan terakhir ini. Diantaranya :
Pertama, Al Habib Abdullah bin Ja’far Mud-hir mengatakan, “Menurut para Nuhat (Ahli Nahwu) memang fi’il amr, wazan ini harusnya terdapat hamzah qatha’ di awal, akan tetapi ada juga lughat gharibah yang tidak memakai hamzah, dan mungkin saja Sayyidina Al Haddad memakai lughat yang ini.”
Dalam kitab Syarah Ratibul Haddat, Muallif kitab ini mengatakan, “Jika memang sudah shahih riwayat dari Shahibur Rathib lafazh MITNAA tanpa hamzah, maka ya sudah, berilah i’tidzar/ biarkanlah seperti itu. Karena sebagaimana kata Al Imam As Suyuthi dalam sebuah kitab karya beliau, ketika menjelaskan i’rab (susunan) kalimat dalam kitab Al Minhaj yang dinilai kurang tepat secara kaidah bahasa Arab, beliau berkata, “Sungguh, seorang yang bukan Arab asli ketika mengarang sebuah kitab (berbahasa Arab) maka ia seharusnya ditolerir bila masih mencampurkan bahasa daerahnya. Karena jika ia dibebani harus menggunakan bahasa Arab yang murni, maka hal itu akan mempersulitnya.”
Terkadang hamzah qatha’ juga dibuang ketika ingin takhfif atau mempermudah ucapan, seperti ucapan Syech Bamakhramah radhiyallahu ‘anhu, “با جبير ادن من دار الحبائب”, aslinya adalah أبا جبير / Aba Jubair.
Dan Al Imam Al Haddad radhiyallahu ‘anhu sendiri juga pernah berkata :
إنا قد قلنا كثيرا من القصائد وفيها أخطاء نحوية ولكنا لم نغيرها بعد أن تعلمنا النحو وتمكنا فيه، لأننا قلناها بنية صالحة والنية الصالحة هي أساس كل عمل
Artinya:”Sungguh aku telah menggubah banyak qasidah dan di dalamnya terdapat beberapa kesalahan dalam segi nahwu, namun aku tidak mau merubahnya setelah aku belajar ilmu Nahwu dan menguasainya. Karena aku menggubahnya dahulu dengan niat yang baik, dan niat yang baik adalah pondasi setiap amal.”
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai kemuskilan lafaz dzikir di atas, hendaklah tidak akan menyebabkan menurunya keistikamah membaca Rathibul Haddad, melainkan sebagai pengetahuan tambahan wawasan umat Muslim, serta hendaknya tetap membaca Ratibul Haddad sesuai dengan yang telah diajarkan di pesantren dan para Kiai kita.
Oleh: Ustaz Ahmad Atho (Khuwaidimul Qur’an)
Editor: Wildan Miftahussurur