Fikih Siyasah Pulau Rempang, antara Kebijakan Kemaslahatan dan Kesengsaraan
Akhir-akhir ini kerap kali kita disuguhi penapamakan kekerasan yang dilakukan oleh “negara” kepada kaum pribumi yang enggan hengkang dari tanah kelahirannya. Pribumi yang tidak mau untuk angkat kaki dari atap rumahnya dipaksa dengan cara keras untuk mau tidak mau pindah ke tempat yang lain. Tanah kelahirannya dihentakan sebagai lahan investor yang akan menguntungkan kepada negara.
Miris memang, tak ayal banyak dari kalangan pihak mengatakan perbuatan ini sebagai penjajahan oleh negara sendiri. Pribumi menangis dan terluka, bahkan kabarnya banyak yang terpenjara akibat menolak relokasi ini.
Sebagai ambisi, negara ingin menciptakan pabrik dari investor yang bisa menguntungkan secara finansial dan kabarnya akan mendatangkan terhadap ruang lapangan kerja bagi para pemuda asli di negara kita ini.
Tidak sepenuhnya salah, kebijakan negara ini memang secara gamblang akan mendatangkan dampat positif, akan tetapi sebaliknya tidak dibenarkan jikalau harus menggunakan tindak kekerasan untuk melakukan itu semua. Negara memang memiliki misi untuk mensejahterakan seluruh rakyat yang menjadi pemimpinnya terlebih dalam bidang ekonomi dan pendidikan, tapi tidak perlu menggusur dan bahkan melukai fisik dari para rakyat.
Pejabat dalam tanda kutip adalah pemimpin dan wakil rakyat memiliki wewenang untuk mengatur sedimikian rupa bagaimana warga serta kebijakan aturan negara yang ia pimpin. Berdasarkan kewenangan ini pula, beban tanggung jawab harus dipikul dengan sebaik mungkin, meninggalkan unsur pribadi dan berjalan demi kemaslahatan rakyat merupakan alur cerita di masa kepemimpinannya. Tidak boleh para pemimpin negara bertindak antipati kepada rakyat bahkan melakukan nepotisme demi kepentingan pribadi dan keluarga atau kelompoknya sendiri.
Lebih dalam lagi, setiap kebijakan harus berisfiat manusiawi tidak diberkenankan dengan alasan apapun selama rakyat maupun individu di bawah kekuasan negara ditindak dengan cara kekerasan oleh aparatur negara, terkacuali alasan yang telah melakukan tindak kejahatan yang meharuskan adanya kontak fisik.
Kejadian di Pulau Rempang sebenarnya tidak perlu adanya kekerasan, dan sejatinya tidak perlu ada tindakan apapun di sana. Fikih Siyasah memandang hal yang diambil oleh negara dengan “mengangkatkan kaki pribumi” dari tanah lahirnya sebagai tindakan yang tidak diperkenankan dan tidak diperbolehkan.
Sedikit mengutip dari pendapat Abu Hasan al Mawardi dalam pandangan siyasahnya di kitab Al Ahkam as Shultoniyah, tanah-tanah yang boleh dikelola oleh negara maupun pihak tertentu adalah tanah yang tidak bertuan, tidak ada pemilik di atasnya dan tanah yang telah tidak memiliki tuan akibat pengalihan warisan kepada negara, dan satu lagi adalah tanah yang ditinggalkan.
Lokasi Pulau Rempang bukan satu pun dari di atas, tanahnya ditempati, tanahnya dikelola dan tanahnya dimiliki oleh warga bahkan sebelum negara pemerintahan ini lahir berevolusi. Sehingga, sehingga sedikit pendapat dari penulis adalah tidak dibenarkan bagi negara untuk mengambil tanah warga. Terkecuali, jika telah melakukan relokasi dan mendapat izin dari warga setempat beserta ganti rugi yang telah disesuaikan.
Fikih memandang pula tindak kekerasan dari pihak aparatur kepada warga merupakan tindak yang tak dapat dibernarkan meskipun “di bawah perintah langsung negara” karena pada dasarnya pun melakukan pengusiran tidak dibenarkan sama sekali jika tak sesuai kesepakatan tanpa bentrokan.
Seengaknya, pemerintah negara harus bersikap lebih baik karena posisi negara adalah lihirasatid din wa siyasatid dunya (menjaga agama dan politik negara) dan kaidah lainnya tasarruful imam manutun lil maslahah (kebijakan pemimpin menempati untuk kemasalahatn). Rakyat tanggung jawab utama dan utama, bukan sekedar tambahan saja bagi negara, kemaslahatan bagi rakyat adalah fungsi utama adanya utama bagi investasi yang bisa saja merugikan kepada rakyat yang ia pimping sendiri.
Oleh : Wildan Miftahussurur
Editor : Fauzinuddin Faiz