Masih Maraknya Pernikahan Dini di Zaman Yang Serba Modern
Di masyarakat, terutama di pedesaan, masih berlangsung tradisi dimana orang tua menikahkan anak perempuannya yang masih di bawah umur, tanpa mempertimbangkan apakah anaknya sudah siap untuk menikah atau belum.
Mereka menganggap menikahkan anak dengan lebih cepat adalah lebih baik. Banyak alasan yang dikemukakan oleh orang tua yang menikahkan anaknya di usia muda. Ada yang mengatakan agar ia bisa cepat lepas dari tanggung jawab sebagai orang tua, ada juga yang mengatakan karena tekanan dari masyarakat. Namun, yang kerap kali terjadi ialah karena tekanan tradisi yang telah menjamur di masyarakat sehingga ketika anaknya tidak kunjung menikah maka akan membuat tabu nama keluarga di tengah masyarakat.
Orang tua sering kali mendapat tekanan normatif dari masyarakat sedemikian besar untuk segera menikahkan anak gadisnya, karena mereka menganggap tugas utama perempuan ialah berumah tangga, di dapur, menjadi istri dan ibu. Jadi, pernikahan dipandang sebagai semata-mata kewajiban sosial, bukan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya, dengan alasan menghindari bahaya hubungan seks pra-nikah.
Sedangkan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya sebagai cara pemenuhan hasrat seksual, namun juga sebagai upaya menjaga kelangsungan kehidupan manusia atau keturunan (hitz al-nasl) yang sehat, mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami istri, dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama. Seperti yang dijelaskan pada ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Tujuan tersebut hanya dapat dicapai melalui pemenuhan sejumlah aspek, antara lain kemampuan fisik untuk bekerja, kemampuan berpikir dan bertanggungjawab, dan yang tak kalah pentingnya ialah pertimbangan pada aspek kesehatan reproduksi.
Sekalipun ayah memiliki hak ijbar (memaksa) untuk menikahkan anak perempuannya dengan memenuhi beberapa persyaratan, namun pernikahan di usia muda ini dipandang tidak membawa kebaikan (maslahat) bagi perempuan, baik dari bidang pendidikan, kemampuan fisik untuk bekerja, terutama kesehatan reproduksi.
Dalam usia muda, ada begitu banyak kemungkinan hal-hal yang mengkhawatirkan jika terjadi kehamilan. Kehamilan perempuan dibawah usia 18 tahun rentan mengalami gangguan kesehatan dan kesulitan dalam proses melahirkan disebabkan belum sempurnanya perkembangan tulang pinggul (pelvis). Oleh karena itu, minimal usia pernikahan seseorang tidak boleh kurang dari usia 18 tahun.
Imam Syafi’i mengatakan:
وَيَسْتَحِبُّ لِلْأََبِ أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا حَتَّى تَبْلُغَ لِتَكُوْنَ مِنْ أَهْلِ الْاِذْنِ وَلِأَنَّهُ يَلْزِمُهَا بِالنِّكَاحِ حُقُوْقٌ
Sebaiknya, seorang ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia) sampai ia baligh, agar ia bisa menyampaikan izinnya, karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab).
Banyak sekali pernikahan dini yang berakhir dengan perceraian, karena kurangnya pemahaman dengan tanggung jawab masing-masing, yang mereka pahami hanya sekedar tugas seorang suami mencari nafkah dan seorang istri ialah mengurus rumah, padahal tanggung jawabnya bukan hanya sekedar itu.
Oleh : Siti Fatimah (Alumnus Pondok Pesantren Maqn’aul Ulum Sukowono).
Editor : WIldan Ms