NU dari Pesantren untuk Indonesia
Genap satu abad kemarin organisasi terbesar keislaman Indonesia; Nahdlatul Ulama melangsungkan ulang tahunya. Jamaah membeludak hingga sekian juta. Tidak mengherankan, euforia nahdliyin nusantara sangat tinggi yang tentu saja latar dari mereka adalah mayoritas pernah berseragam pesantren.
Tidak dapat dipungkiri memang, keberadaan Nahdliyin di bumi Indonesia merupakan sigma mayoritas, menurut penilitian yang dimuat oleh CNN Indonesia.com pada akhir tahun 2022, umat muslim yang beraliran NU yang mencapai 59 persen dari seluruh jumlah penduduk muslim atau mencapai sekitar lebih dari 95 juta jiwa.
Bukan tanpa sebab, keberadaan NU bukan hanya sebagai bias organisasi keagamaan saja, melainkan NU lahir dan beranak-pinak dengan berbagai otonom di bawahnya adalah untuk menfasilitasi dan mempertahankan ke-Aswajaan para umat muslim. Mewadahinya NU bukan hanya sebatas dari masalah ‘agama atau aqidah saja’ namun NU juga mendorong berbagai perekonomian, sosial, pendidikan bahkan politik di tengah masyarakat sebagaimana titah pertama tujuan NU lahir.
Lahir 100 tahun yang lalu, NU datang untuk memberikan pertahanan bagi umat Muslim Indonesia karena pada saat itu di timur tengah begejolak aliran baru yang sering kali mendeskriminasi bahkan men-justice yang tidak sejalan dengan tuduhan kafir dan halal darahnya, bahkan makam para ulama dan nabi hancur terkena ibasnya. Demikian dengan umat muslim yang berada di Indonesia yang tidak luput dari tuduhan tersebut.
Umat muslim di Indonesia yang kokoh mempertahankan ajaran Islam yang dibawa oleh Wali Sanga sekian abad yang lalu. Ajaran yang diajarkan turun temurun tersebut, selain mempertahankan ajaran Islam, namun tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan sosial setempat. Tradisi keislaman tersebut terus diturun-temurunkan oleh muslim nusantara yang salah satunya adalah melaui pola pendidikan yang ada di pondok pesantren.
KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahab Hasbullah beserta para kiai ulama yang berkumpul dan merembukkan bagaimana Islam Nusantara tersebut dapat bertahan dari ancaman ajaran baru tersebut. Tuntasnya pada tanggal 16 Rajab 1344 yang bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 organisasi berbendera hijau sebagai ciri khasnya lahir.
Nahdlatul Ulama berikut dengan para tokoh sukses pendirinya tidak lain adalah berlatar belakang pesantren. KH. Hasyim Asyari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, mbahkan KHR. As’ad Syamsul Arifin Pengasuh kedua Ponpes Salafiyah Syafi’yah Sukorejo sebagai pembawa pesan di kala itu adalah santri sekaligus khadim dari KH. Cholil Bangkalan.
Dari pesantren untuk Indonesia, sebagaiamana judul di awal, keberadaan NU tidak hanya sebagai bias keorganisasian semata, namun peranan NU jauh lebih luas daripada itu semua. Terlepas melalui partai politik maupun keorganisasian otonom lainya, NU tetaplah NU yang lahir dari pesantren. Melalui pesantren inilah cita-cita para pendiri NU sedikit demi sedikit terwujudkan.
Sekitar 3000 pesantren yang berlatar NU kokoh berdiri dari ujung barat hingga timur Indonesia. Melaui pondok pesantren inilah ajaran NU terus dipertahankan dengan mengajarkan serta pengamalan yang kuat kepada generasi ‘santri’ di dalamnya secara bertahap dan estafet dengan pendidikan dzahiriyah maupun batiniyah. Lebih daripada itu, pondok pesantren juga berperan sebagai tempat mengadu dan rujukan para masyarakat ketika tanda tanya besar mengenai Islam muncul dibenak mereka, bukan sekedar itu, tonggak perekonomian masyarakat di sekitar juga tekena imbas positifnya.
Akan tetapi, santri sebagai produk utama dari pesantren juga turut andil dalam bermasyarakat. Alumnus dari pesantren ditempatkan oleh masyarakat sebagai wasilah keilmuan dari pesantren untuk masyarakat dengan menjadikan dengan berbagai pengajian dan ‘yang mengetuai’ pelaksanaan tradisi keaswajaan seperti tahlil dan sejenisnya di tengah masyakatat. Sebagaimana di paragraf sebelumnya yakni melalui ekonomi, akademisi pesantren membangun usaha, membangun lembaga pendidikan yang tentunya mengarah terbukanya lapangan pekerjaan bahkan kepada masyarakat Indonesia yang notabene-nya bukan berasal pesantren.
Dalam segi perdamian dan keamanan publik dan kesatuan Indonesia pun terjamin di bawah tentramnya warga NU. Ajaran NU yang sifatnya tawassut, tidak terlalu longgar bahkan tidak terlalu ekstrimis dianut dan dipegang kuat masyarakat. Dibuktikan warga nahdliyin senantiasa menjaga perdamaian kepada umat yang aqidah bahkan latar belakang agamanya pun berbeda. Warga NU aktif menjaga kedaulatan sebelum bahkan pasca kemerdekaan hingga saat ini terlebih mencegah ajaran Islam garis keras yang sering mempropagandakan tidak sahnya demokrasi dan pemerintahan Indonesia.
Keterlibatan NU kepada Republik Indonesia melalui jaringan pesantren tidak hanya itu saja, bahkan sangat tidak cukup bila hanya dijarbarkan melalui satu tulisan saja. Namun, yang jelas keberadaan NU dan pondok pesantren beserta para santri di dalamnya tidak dapat dipisahkan semuanya dan sejatinya adalah satu tubuh yang memilki satu arah tujuan untuk Indonesia. Wakil Ketua PBNU KH. Zulfa Musthafa dalam ceramahnya pernah mengatakan “NU dan Pesantren adalah satu, pondok pesantren adalah miniatur daripada NU itu sendiri dan santri di dalamnya kelak adalah generasi estafet pewaris NU kelak.”
Penulis: Wildan Miftahussurur
Editor: Fauzinuddin Faiz