Misi Perdamaian Santri
Mungkin kita melihat saat ini perang antara berbagai golongan entah yang ekstrimis maupun golongan kanan sedang gencar-gencarnya menyuarakan syiar “mereka” kepada umat Islam di Indonesia. Mungkin kita sering jumpai dari berbagai literasi kitab “Ikhtilaful aimmah rahmatul ummah/ perbedaan imam merupakan rahmat bagi umat”, namun yang terjadi tidak demikian, malahan banyak terjadi perpecahan, saling mengkafirkan, bahkan tidak jarang berujung kekerasan.
Golongan yang menjadi target utama masyarakat umum yang asal latar belakang mereka “bukan golongan pesantren”, dengan dibumbui ‘kembali kepada syariat yang benar’ masyarakat banyak yang terkecoh yang akhirnya terjerumus dan setia dalam golongan “baru” ini.
Penyebab utama adalah masih hausnya pemahaman masyarakat luar dengan ilmu agama khusunya dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan pendalaman syariat lainya, akibat sibuknya atau udzur sehingga tidak bisa untuk mengenyam ‘literasi pesantren ASWAJA’.
Lalu siapakah yang wajib meluruskan permasalahan ini? Jawabnya adalah santri dari pesantren NU. Dalam sejarah panjang Islam di bumi Nusantara selama kurang lebih 1000 tahun, hampir tidak ada pergolakan dalam tumbuh Islam, bahkan toleransi antara berbagai umat agama lain terjalin erat.
Penyebaran agama diusung dengan kedamaian melaui cinta dan kasih sayang dengan dakwah yang dipusatkan oleh Ulama Nusantara dengan pondok pesantren sebagai basis utama. Secara luas masyarakat dapat mengakses “Islam” dengan ramah tamah.
Haluan ini sudah tentu berbeda dengan kelombok ekstrimis sebelah, mereke sering kali menyebarkan dakwah mereka dengan cara yang kurang benar sehingga, hasilnya tak jarang menghakimi kafir dan sesat kepada tradisi dan amalan kaum Nahyiddin sejak dulu.
Dakwah kasih sayang ini terjalin melalui berbagai pendidikan karakter hingga keilmuan yang disampaikan kepada santri pondok pesantren. Ke-khasan ini terjalin hingga saat ini berkat dukungan penuh dari para Kiai dan ulama pesantren yang notabene-nya adalah santri juga.
Santri sebagai manifestasi gambaran pesantren, hendaknya membawa hal tersebut ketika telah keluar dan terhimpun dengan masyarakat luas. Misi penting ini erat ditunjukan agar pemahaman “keras” dari kelompok kiri tidak menjamur tubuh masyarakat, sehingga akan berakibat terjadinya pegolakan kekerasan di dalam tubuh Islam.
Setidaknya ada 2 misi besar mediasi dakwah Santri NU lulusan pesantren, yaitu meluruskan kembali syariat, khususnya dalam aqidah dan fikih, serta menyampaikan Islam yang indah secara menyeluruh, mengembalikan perdamaian kepada misi awal datangnya Islam yaitu ‘sebagai rahmat kepada seluruh alam’.
Bukan hal yang mustahil apabila santri yang digembleng di pesantren akan sukses di masyarakat, apabila ada kemauan dan semangat yang tinggi, dengan menyiram kembali kehausan masyarakat akan santri lulusan Pesantren ASWAJA.
Semangat Islam Ahlussunnah wal Jamaah hendaknya dikembalikan pada asalnya demi menjaga kedaualatan dalam NKRI, mengingat kembali salah satu Ukhuwah yang dimandatkan Nauhdatul Ulama adalah menjaga Ukhuwah Islamiyah dan Wathaniyah.
Editor: Wildan Miftahussurur